Media Untuk Pembelajaran Anda

Media Referensi dan Pembelajaran yang disajikan secara menarik dan mempunyai keilmuan yang tidak di ragukan lagi keberadaanya - Junaidi Pandanwangi Soko - Tuban - Jawa Timur 085257958985.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Media Sarana Pembelajaran

Media Referensi dan Pembelajaran yang disajikan secara menarik dan mempunyai keilmuan yang tidak di ragukan lagi keberadaanya - Junaidi Pandanwangi Soko - Tuban - Jawa Timur 085257958985.

Minggu, 08 Maret 2009

Menggapai Merah Putihku

Namaku Surya Prakoso atau biasa dipanggil Ako usiaku kini 21 tahun dan aku adalah seorang mahasiswa tingkat 3 fakultas ilmu komputer jurusan sistem informasi. Suatu kebanggaan untukku karena sebagai seorang anak tukang sayur aku bisa menikmati bangku kuliah. Aku sangat bangga dengan kedua orang tuaku meskipun hanya berjualan sayur tidak menyulutkan semangat mereka untuk mendidik anak – anaknya. Mereka memang pekerja keras aku tak mau menyia – nyiakan kesempatan yang telah Tuhan berikan padaku. Aku tidak mau main–main dalam kuliah ku. Orang tuaku selalu berpesan agar aku serius dalam menjalani kuliah agar nantinya aku mempunyai bekal ilmu dan kehidupan yang lebih baik dari mereka.

Pagi ini pukul 03.00 WIB langit masih gelap, hanya semilir angin dan suara jangkrik yang bersautan. Seperti hari–hari sebelumnya aku membantu kedua orang tuaku yang sedang bersiap–siap untuk pergi ke pasar induk untuk membeli sayur mayur segar yang nantinya akan dijual kembali. Ya kami memang harus selalu bangun sepagi ini karena pukul 06.00 WIB warung kami harus sudah dibuka.

“Ko, nanti jangan lupa sepulang kuliah ke rumah Pakli’ dulu ya,” ucap Bapakku

“Memang Pakli’ sudah pulang Pak??” tanyaku.

“Sudah, kemarin sore. Kamu disuruh ke sana buat mengambil oleh–oleh, trus bilang sama Pakli’ dan Bulek mu, Bapak dan Ibu belum bisa ke sana, mungkin minggu depan,” ucap ayahku.

“Oya, salam dari Bapak dan Ibu,” ucap Ibuku menambahkan.

“Ya udah, Bapak dan Ibu berangkat dulu ke pasar bersihkan warung ya,” ucap Ibu.

“Iya Bu,” ucapku.

Aku menarik napas panjang udara pagi langsung menyergap seluruh tubuhku. Rasanya segar sekali karena belum terkontaminasi oleh polusi udara. Kedua orang tuaku sudah berangkat menuju pasar induk dengan motor tua milik ayahku. Motor itu kelihatannya memang sudah tidak bagus lagi tapi kehadirannya sangat membantu keluarga kami. Aku menunggu mereka sambil membersihkan warung dengan ditemani adikku Wina yang baru duduk di bangku SMA. Koko adik bungsuku yang saat ini masih duduk di bangku sekolah dasar masih tertidur lelap di kamar. Warung sayurku ini memang bisa dibilang sangat laris karena kami menjual berbagai macam sayur, bumbu–bumbu masakan juga lauk pauknya dan warung kami ini juga selalu menjual sayuran yang segar.

Suatu hari nanti aku ingin sekali membalas jasa mereka mungkin dengan memberikan mereka warung yang lebih bagus sehingga tidak kalah bersaing dengan pasar modern. Kedua orang tuaku sudah tiba di rumah dan dengan sigap aku dan adikku Wina membantu mereka menyusun sayur–sayur itu di warung. Jam sudah menunjukan pukul 04.30 WIB setelah menyelesaikan tugasku, aku bergegas untuk melakukan ibadah. Ibuku membangunkan Koko adik bungsuku untuk segera bersiap – siap untuk pergi sekolah. Nampaknya hari ini adalah hari yang istimewa baginya karena untuk pertama kalinya dia mendapat tugas untuk menjadi petugas upacara sebagai pembaca UUD 1945.

Aku masih ingat ketika aku bertanya kepadanya kenapa dia harus upacara setiap hari Senin dan kenapa semua anak di sekolah harus hormat kepada bendera merah putih? Dan dengan lugu dia menjawab dia harus upacara dan harus hormat kepada bendera merah putih karena Koko tidak mau perang lagi dan karena Koko tahu kalau buat bendera itu susah. Haha, aku tertawa mendengar penjelasan Koko. Tapi aku selalu bangga padanya karena dia selalu antusias bila upacara, apalagi kali ini dia ditugaskan untuk membacakan UUD 1945. Meskipun usianya baru 8 tahun Koko sudah pintar membaca dengan suara lantang, makanya dia terpilih sebagai petugas upacara pagi ini.

“ Mas, gimana penampilan Koko?” tanya adikku sambil mematut–matutkan dirinya di cermin.

“Wah gagah banget kamu,” ucapku.

Memang setiap patugas upacara wajib mengenakan seragam khusus untuk petugas upacara lengkap dengan semua atributnya.

“Gagah mana Koko apa Kakek?” tanya Koko sambil menunjuk foto kakekku di dinding. Pada foto itu kakek memang terlihat sangat gagah dengan seragam tentaranya. Beliau adalah salah satu pejuang yang juga pernah merasakan perang melawan penjajah. Tapi sayang Koko belum sempat melihatnya, beliau sudah meninggal 10 tahun yang lalu.

“Sama gagahnya!” jawab Wina, adikku.

“Koko mau jadi tentara seperti Kakek,” ucap Koko.

“Bisa, tapi kamu harus pintar dan kuat,” ucap Wina.

“Iya benar, kamu juga harus patuh sama Bapak dan Ibu,” ucapku.

“Ah.. Gampang,” jawab Koko sambil memandang foto Kakek.

“Memang Mbak Wina mau jadi apa?” tanya Koko.

“Mbak mau jadi dokter,” jawab Wina.

“Wah, kalo gitu nanti kalau Koko kena tembak Mbak Wina yang ngobatin Koko,” ucap Koko.

Aku dan wina tertawa. Koko pun tersenyum bangga. Koko terlihat sangat gagah. Aku sangat berharap kelak dia bisa menjadi anak yang berguna bagi bangsa ini.

* * *

Aku menapaki anak tangga menuju kelasku. Hari ini adalah mata kuliah favoritku yaitu perancangan sistem. Suasana kampus hari ini tidak berbeda dengan biasanya ada yang lalu lalang, mengerjakan tugas atau sekedar berbincang.

“ Hallo Ako,” sapa Ruly teman sekelasku.

“Hallo juga Rul,” balasku.

“Kamu sudah dengar ada ribut–ribut mahasiswa fakultas Ekonomi dengan fakultas Teknik?” tanya Ruly.

“Tidak, aku belum mendengar tetang itu,” jawabku.

“Iya, kemarin aku dengar ada anak Ekonomi yang marah dengan anak Teknik karena diejek,” jelas Ruly.

“Memang diejek bagaimana?” tanyaku.

“Kemarin tim futsal Ekonomi tidak terima dengan hasil pertandingan kemarin. Mereka menduga wasitnya memihak kepada tim futsal Teknik. Karena tidak terima dituduh menyogok wasit, tim Teknik marah dengan mengejek dengan menyinggung masalah RAS karena seperti kita tahu fakultas Teknik banyak yang berasal dari luar Jawa,” jelas Ruly.

“O begitu, lantas bagaimana sekarang?” tanyaku.

“Saya juga tidak mengerti tapi kita berharap semuanya bisa diselesaikan dengan baik-baik,” jawab Ruly.

Aku mengangguk setuju, kami pun tiba di kelas yang terletak di lantai 3. Aku dan Ruly masih asyik memperbincangkan masalah pertengkaran itu. Tiba – tiba saja aku mendengar orang yang berteriak – teriak. Aku berlari menuju jendela dan, ya Tuhan….. Sungguh di luar dugaan terjadi bentrok antara fakultas Ekonomi dan fakultas Teknik. Banyak orang berlarian sebagian dari mereka menggunakan helm dan membawa senjata seperti kayu atau bambu.

Fakultasku letaknya bersebelahan dengan fakultas Ekonomi yang diserang oleh fakultas Teknik. Aku sungguh tidak menyangka masalah sepele ternyata bisa menyulut emosi dan sepertinya kali ini tidak hanya melibatkan anggota tim futsal tetapi juga seluruh anak fakultas Ekonomi dan juga fakultas Teknik. Entahlah apakah ini bentuk solidaritas mereka?? Sungguh solidaritas yang salah kaprah!

Banyak mahasiswi yang berlari ketakutan dan menyelamatkan diri dengan memasuki gedung fakultas Ilmu Komputer. Suasana semakin kacau terdengar suara kaca – kaca yang pecah karena terkena lemparan batu. Mahasiswa dari fakultas lain mencoba melerai namun sebagian juga ada yang ikut dalam bentrok. Entah apa yang ada di pikiran mereka, mengapa mereka malah ikut – ikutan. Apa mereka mengetahui duduk perkara yang sebenarnya?? Apa mereka pikir ini ajang unjuk bakat?? Pihak kampus tidak bisa berbuat banyak. Para dosen mencoba meredamnya namun sia - sia. Memang sulit untuk menenangkan hati yang sedang dikuasai setan.

Bentrok semacam ini jarang terjadi di kampusku. Kejadian serupa terjadi kira 1 tahun yang lalu dan lagi – lagi bentrok ini terjadi antara fakultas Ekonomi dan fakultas Teknik, hanya saja waktu itu ada silang pendapat mengenai acara malam dana. Aparat mulai berdatangan namun sepertinya kedatangan mereka tak mampu meredam bentrok. Beberapa mahasiswa ada yang terluka karena terkena lemparan batu. Aku segera bergegas membantu mereka yang terluka. Mereka hanya dibaringkan di lobby fakultasku.

Sesaat kemudian terdengar suara tembakan polisi tetapi tembakan ke udara ini hanya mampu meredam emosi sesaat. Ya Tuhan mengapa begini moral mahasiswa? Apa mereka tidak malu dengan anak–anak SMA yang sekarang sudah tidak pernah tawuran lagi?? Mereka seharusnya bisa menjadi contoh bagi pelajar–pelajar bahwa tawuran itu tidak baik. Mengapa hanya karena hal sepele mereka rela melukai saudara mereka sendiri, rela membuang waktu yang seharusnya mereka gunakan untuk belajar bukankah banyak orang–orang yang ingin berada di sini dengan sebutan MAHASISWA! Lantas kenapa mereka tidak mensakralkan lembaga pendidikan ini?? Mereka hanya memperlakukannya seperti RING TINJU!

Aparat berhasil menangkap beberapa mahasiswa yang diduga menjadi provokator dalam bentrokan ini. Entah apa yang ada di pikiran mereka. memperlakukan kampus seperti sasana tinju, memperlakukan saudara seperti musuh. Apa mereka tidak tahu bahwa banyak yang harus dilakukan ketimbang berkelahi! Bukannya tidak pernah aku terlibat bentrok tapi waktu itu aku dan BEM kampus berunjuk rasa di depan gedung DPR/MPR guna menyuarakan aspirasi rakyat, guna memperjuangkan nasib orang tua kami para rakyat kecil karena semakin terpuruk dengan kemiskinan dan menuntut keadilan.

Awalnya unjuk rasa berlangsung tertib namun suasana memanas ketika perwakilan kami tidak diizinkan masuk ke gedung DPR. Tapi bentrok dengan aparat itu tidak berlangsung lama. Tetapi ada hal yang kami pelajari bahwa berjuang tidak selalu dengan berunjuk rasa. Bentuk protes itu kini tidak lagi berakhir dengan ricuh karena kami membentuk aksi sosial, melakukan protes melalui kesenian dan kegiatan yang lebih bermanfaat.

Aku menarik napas lega ketika suasana sudah mereda. Aparat masih berjaga – jaga di sekitar kampus. Mengapa mereka harus mempersoalkan hal sepele apalagi harus dikaitkan dengan masalah RAS. Bukankah kita satu? Kita warga negara Indonesia!! Kita saudara. Bukankah ini sudah ditanamkan semenjak kita duduk di sekolah dasar?? Dengan mata pelajaran yang menyangkut dengan Indonesia dan kewarganegaraan. Bukankah setiap upacara kita selalu diingatkan akan persatuan Indonesia. Ah, apakah semua itu sia–sia??

Mungkin kita perlu diingatkan kembali atau bahkan upacara bendera tidak hanya sampai di SMA saja. Aku jadi teringat Koko adikku, dia begitu bersemangat melaksanakan upacara. Paling tidak dia hormat kepada bendera Merah Putih karena dia tahu kedamaian begitu sulit untuk diraih dan betapa sulitnya untuk memperjuangkan kemerdekaan dan mengibarkan bendera merah putih menjadi bendera kebangsaan Republik Indonesia.

Perjuanganku

Aku adalah anak keempat dari lima bersaudara di keluargaku. Aku terlahir dari keluarga yang dapat dibilang cukup berada. Kedua orang tuaku adalah pengusaha batik yang cukup sukses dan terkenal di kotaku, Yogyakarta. Usaha batik yang dijalani oleh kedua orang tuaku tidak diperoleh karena warisan dari orang tua mereka tetapi mereka peroleh dari kerja keras dan ketekunan mereka selama bertahun-tahun menjadi buruh batik di tempat seorang pengusaha batik lokal. Setelah cukup lama menjadi buruh batik, kedua orang tuaku mulai memberanikan diri membuka usaha batik sendiri dengan modal pengetahuan yang telah mereka miliki dan diperolehnya sebagai buruh batik. Dengan penuh keyakinan dan percaya diri yang kuat akhirnya usaha batik mereka mulai berkembang sampai sekarang. Dan saat ini usahanya sudah merambah ke luar negeri.

Latar belakang pendidikan kedua orang tuaku tidak sehebat anak-anaknya, mereka hanya lulusan bangku SMA. Tetapi walaupun mereka hanya lulusan SMA, mereka tetap berkeinginan kelak suatu hari nanti anak-anaknya dapat duduk di bangku perguruan tinggi. Keinginan dan doa mereka yang kuat menjadi kenyataan, kakak tertuaku, Sandra kuliah semester akhir fakultas kedokteran di perguruan tinggi negeri yang cukup terkenal di kotaku, kakak kedua dan ketigaku, Vero dan Rike, kuliah di perguruan tinggi yang sama dengan kakakku Sandra, hanya saja beda fakultas, Kak Vero kuliah di fakultas Ekonomi sementara Kak Rike kuliah di fakultas Sastra. Sementara aku, Rina, kuliah di perguruan tinggi swasta fakultas Teknik Informatika dan adikku, Andri duduk di kelas 3 SMA. Walaupun aku tidak dapat mengikuti jejak ketiga kakak-kakakku, aku tidak bersedih dan berkecil hati karena ayahku selalu memberiku semangat dan dorongan agar aku dapat lebih baik dari kakak-kakakku yang kuliah di perguruan tinggi negeri.

Aku sangat dekat dengan ayahku, tetapi ayahku tidak pernah membeda-bedakan anak-anaknya, berbeda dengan ibuku yang sangat penuh perhatian dengan adikku. Ya maklumlah, adikku adalah anak laki-laki satu-satunya di keluargaku yang menurut mereka akan menjadi penerus usaha mereka kelak. Walaupun ibuku sangat sayang dan perhatian terhadap adikku tetapi kami tidak kurang kasih sayang dan perhatian dari mereka. Kesibukan mereka berdua di usaha batik tersebut tidak membuat mereka lupa akan tanggung jawabnya sebagai orang tua, sehingga kami sebagai anak-anaknya merasa bangga dengan mereka berdua.

Empat tahun kemudian, tanpa penyebab yang jelas ayahku meninggal dunia di usia 55 tahun. Menurut dokter, ayahku meninggal karena terkena serangan jantung. Kami sekeluarga tidak percaya semua ini, karena selama ini ayah kami selalu terlihat sehat-sehat saja. Kami sekeluarga sangat kehilangan beliau karena tidak akan ada lagi figur seorang ayah yang sangat bijaksana dan bertanggungjawab terhadap keluarga ini. Kepergian beliau membuat aku benar-benar terpukul dan tak kuasa menghadapi semua ini tetapi aku harus berusaha keras untuk dapat menerima semua ini dan mencoba untuk mengikhlaskan kepergiannya, mungkin ayahku akan senang di alam sana dan mendoakan kami di sini.

Setahun kepergian ayahku, kakak ketigaku, Rike, pergi menyusul ayahku. Kami sekeluarga benar-benar terpukul terutama ibuku. Karena kehilangan suami dan anak tercintanya ibuku jatuh sakit, beliau terkena stroke sehingga dokter menyarankan agar Ibu diberikan perawatan intensif untuk dapat sembuh total. Untuk dapat menyembuhkan ibuku yang sedang sakit kami terpaksa menjual semua barang-barang berharga yang dimiliki oleh orang tuaku. Tetapi kami tidak menjual rumah yang kami huni selama belasan tahun ini. Karena Ibu sakit, usaha batik yang ditekuni bersama almarhum ayahku mulai goyang sampai akhirnya kami harus menutup usaha tersebut untuk membiayai pengobatan ibuku dan untuk dapat memulai kembali usaha tersebut sepertinya kami anak-anaknya tidak memiliki kemampuan untuk itu. Saat ini yang terpenting adalah kesembuhan ibuku.

Kedua kakakku sudah bekerja, penghasilan yang mereka dapat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan diri mereka dan biaya pengobatan ibu, sementara aku baru lulus kuliah dan ingin sekali mencari pekerjaan untuk membantu kakak-kakakku membiayai pengobatan ibuku yang sedang sakit, sementara adikku Andri baru tingkat dua di sebuah perguruan tinggi negeri. Berbulan-bulan aku mencari kerja, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan sebagai seorang sekretaris di suatu perusahaan swasta, tetapi pekerjaan yang kudapat tidak sesuai dengan latar belakang pendidikanku yang sarjana informatika. Walaupun demikian, aku tetap menjalani pekerjaanku tersebut dengan iklas dan penuh tanggung jawab karena aku terdesak oleh kebutuhan ekonomi untuk membiayai pengobatan ibuku yang sakit.

Karena niat, kerja keras dan perjuangan kami bekerja untuk membiayai ibuku yang sakit, akhirnya ibuku berangsur-angsur dapat pulih dari sakitnya. Kami sekeluarga sangat bersyukur kepada Tuhan karena telah memberikan kesembuhan untuk ibu kami tercinta. Kesembuhan ibuku memberikan dorongan dan semangat bagiku untuk meneruskan kembali usaha batik orang tuaku. Dan ternyata kakak-kakaku dan adikku merespon baik keinginanku untuk membuka kembali usaha orang tuaku tersebut. Setelah tiga tahun aku bekerja, aku memutuskan untuk berhenti bekerja dan berencana untuk membuka kembali usaha batik orang tuaku yang sudah hancur tersebut. Dengan modal keyakinan dan percaya diri yang kuat serta bantuan pengetahuan yang dimiliki oleh ibuku aku membuka usaha batik kembali dibantu oleh ibu, kakak-kakakku, dan adikku, tetapi hanya aku dan ibuku yang terjun langsung ke usaha batik ini. Tahun pertama, kedua dan ketiga usaha batikku belum menunjukkan kemajuan bahkan usahaku selalu mengalami kerugian. Aku sempat putus asa menjalani usahaku ini karena aku benar-benar tidak pandai dan mahir untuk menjalani usaha ini tetapi ibu, kakak-kakakku, dan adikku selalu memberikan dorongan dan semangat kepadaku untuk terus bersabar dan berusaha dengan keras.

Aku berharap di tahun keempat usahaku, aku akan berhasil setidaknya usahaku jangan mengalami kerugian berkelanjutan, tetapi apa yang aku dapat, usahaku terus mengalami kerugian di tambah musibah yang menimpa keluarga kami. Kami mendapat musibah yang paling memilukan dan menyedihkan hati kami sekeluarga yaitu kepergian adikku menyusul ayah dan kakak ketigaku. Adikku meninggal dunia akibat tertembak peluru nyasar aparat polisi yang hendak melerai perkelahian teman adikku di jalan raya. Kepergian adikku membuat ibuku shock dan beliau menderita sakit kembali, beliau merasa terguncang dan tidak percaya akan semua ini. Setelah diperiksa ke rumah sakit, dokter mengatakan beliau terkena stroke berulang dan ditambah penyakit baru yaitu serangan jantung. Dokter menyarankan agar ibuku diberikan perhatian dan perawatan yang lebih intensif agar beliau dapat sembuh seperti sediakala. Aku dan kakak-kakakku merasa sangat bingung harus berbuat apa dan harus bagaimana.

Kedua kakakku menyarankan agar aku menghentikan usaha batikku yang tidak menghasilkan itu dan menyuruh aku untuk mengurus ibuku yang sedang sakit ketika mereka sedang bekerja karena, jika aku juga bekerja ibuku tidak ada yang merawatnya. Di sini terjadi konflik batin. Aku merasa kakak-kakakku tidak adil kenapa harus aku yang merawat ibu kenapa bukan mereka atau kenapa mereka tidak memanggil perawat saja untuk merawat ibu yang sedang sakit. Setelah kurenungi itu semua dan sebagai baktiku terhadap ibuku, aku terima saran kakak-kakakku walaupun dengan berat hati yaitu menutup usaha batikku tersebut. Setahun sudah aku merawat ibu dengan penuh kesabaran tetapi Tuhan masih belum memberikan ibuku kesembuhan. Kami sekeluarga tetap bersabar dan masih berharap Ibu dapat sembuh seperti sedia kala.

Setahun kemudian kakak tertuaku, Sandra, menikah dengan seorang pemuda asal kota lain, ia juga seorang dokter yang bekerja di rumah sakit swasta terkenal di kotanya, Jakarta. Pernikahan kakak tertuaku membuat kami sekeluarga senang dan bahagia. Setelah menikah, kakak tertuaku tidak lagi tinggal bersama kami, ia tinggal bersama suaminya di kota suaminya tinggal. Aku merasa kesal dan sakit hati dengan kakak tertuaku, kenapa ia tidak membawa ibu yang sedang sakit untuk tinggal bersama mereka. Mereka berdua kan dokter, mereka lebih mengetahui bagaimana merawat orang sakit daripada aku yang hanya sarjana informatika.

Kakak tertuaku tidak lagi membantu ekonomi keluarga kami lagi termasuk biaya pengobatan ibu, terpaksa kami menjual rumah yang telah kami huni selama belasan tahun ini. Setelah mendapat ijin dari semua, Ibu dan kakak-kakakku, kami akhirnya menjual rumah itu dan membelikanny sebuah rumah yang kecil di kota Solo dan untuk biaya pengobatan Ibu. Di rumah kecil dan mungil itu tinggal aku, kakak keduaku, Vero, dan ibuku yang sedang sakit. Aku masih beruntung aku masih mempunyai satu kakak lagi, yaitu kakak keduaku. Verolah yang mencukupi semua kebutuhan hidup kami sekeluarga, mulai dari pengeluaran rutin bulanan rumah sampai biaya pengobatan ibu yang sakit. Aku sedih melihat Kak Vero yang bekerja keras membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup kami sekeluarga.

Aku masih kesal dan benci akan sifat kakak tertuaku yang tidak mau membantu lagi ekonomi keluarganya sendiri. Setelah aku bermusyawarah dengan kakak keduaku, Vero akhrnya aku memutuskan untuk mencari pekerjaaan, tetapi saat ini dunia sedang mengalami krisis global banyak perusahaan-perusahaan yang mem-PHK karyawannya pasti akan sangat sulit bagiku untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan yang sesuai dengan apa yang aku mau. Hari demi hari aku mencoba untuk melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan dari satu tempat ke tempat lain, tetapi aku belum juga mendapatkannya.

Tidak jauh dari rumah ku ada sebuah rumah yang membuka home industri batik, walau hanya usaha home industri tetapi produk-produknya sudah dikenal di beberapa kota besar di negara ini. Aku datangi saja tempat tersebut dan mencoba meminta kepada sang pemilik untuk bekerja di sana, akhirnya aku diijinkan untuk bekerja di sana tetapi sang pemilik tidak dapat membayar aku dengan gaji yang besar. Walaupun dengan gaji yang kecil aku coba untuk menjalani pekerjaan tersebut dengan tekun dan penuh tanggung jawab.

Aku bangga aku dapat membantu kakak keduaku, Vero, membiayai kebutuhan rumah dan biaya pengobatan Ibu. Walau dengan gaji yang kecil, aku bangga dan senang karena aku dapat menghasilkan uang dari jerih payahku sendiri. Aku tidak mengabari kakak tertuaku kalau aku sudah bekerja, percuma saja menurutku jika aku kabari Kak Sandra, pasti beliau akan marah karena aku tidak merawat ibuku yang sedang sakit.

Di tempat ku bekerja saat ini, aku mendapat banyak pengetahuan mengenai bagaimana teknik membuat batik yang baik dan bagaimana strategi memasarkan produk-produk yang telah dihasilkan tersebut. Dua tahun aku bekerja di home industri tersebut aku diberi kepercayaan oleh sang pemilik untuk mengurus usahanya di luar kota karena menurut sang pemilik aku sudah menguasai mengenai batik dan aku dinilai memiliki jiwa berwirausaha yang baik. Tetapi aku tidak dapat menerima kepercayaan yang diberikan sang pemilik karena aku tidak mau meninggalkan kakak keduaku, Vero, dan ibuku yang belum pulih dari sakitnya. Sang pemilik marah dan kecewa akan keputusanku tersebut akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja.

Setelah aku berhenti bekerja aku pun kembali merawat ibuku yang belum pulih dari sakitnya. Perlahan-lahan Ibu sudah mulai berangsur sembuh, beliau sudah dapat mengerakan kedua tangannya dan sudah dapat berjalan walaupun masih terbata-bata. Melihat itu aku pun bersemangat untuk membuat ibuku sembuh seperti sedia kala. Kabar baik ini aku sampaikan ke kakak tertuaku, Sandra. Aku berharap beliau dapat datang menengok Ibu walaupun tidak harus menginap di rumah kami yang sangat kecil dan sederhana ini. Tetapi harapanku tak kunjung terwujud, kakak tertuaku tidak juga datang menengok Ibu di rumah, kakak tertuaku ingin kami yang datang mengunjungi beliau di sana. Kebencianku sangat memuncak mendengar beliau mengucapkan kata-kata itu. Akhirnya aku berniat dan bertekad dalam hati, suatu saat nanti jika ibu sudah sembuh dan dapat berjalan seperti sedia kala dan aku mempunyai uang yang cukup, aku akan datang menemui beliau di rumahnya. Aku tidak mengatakan niatku ini ke Ibu maupun ke kakak keduaku, Vero. Niatku ini akan kusimpan baik-baik di dalam hatiku.

Kakak keduaku, Vero, akhirnya menikah dengan seorang pengusaha terkenal dari kota sebrang, Makasar. Di pernikahan kakakku Vero, kakak tertuaku datang. Ibu cukup senang melihat kedatangan kakak tertuaku, aku pun cukup senang walaupun masih terbesit sedikit kebencian di hatiku. Seperti kakak tertuaku, Sandra, setelah menikah Kak Vero tidak tinggal bersama kami, beliau tinggal dengan suaminya, jadi di rumah hanya ada aku dan ibuku. Walaupun kami hanya berdua tapi aku bangga dan bahagia karena Ibu sudah sembuh seperti sedia kala. Karena Ibu sudah sembuh aku menyatakan niatku kepada ibuku bahwa aku ingin membuka usaha batikku kembali yang dulu hancur, ditambah aku sudah cukup memiliki kemampuan dan teknik membatik yang baik yang kuperoleh selama dua tahun bekerja di home industri batik di tempat tinggalku.

Ibuku ingin tinggal di kampung halamannya karena ia memiliki rumah yang sudah tidak dihuni lagi. Walaupun berat akhirnya aku ikuti saja kemauan ibuku. Rumah yang kami tinggali kami jual dan kami pindah ke kampung halaman ibuku di Pekalongan. Uang hasil penjualan rumah aku pakai untuk modal usaha batikku. Untuk memulai usaha ini aku tetap meminta doa restu dari Ibu dan kakak-kakakku yang tidak tinggal lagi bersamaku. Walaupun mereka sedikit pesimis dengan usahaku tersebut tetapi aku tetap optimis bahwa aku akan dapat menjalankan usaha batikku ini dengan baik dan sukses.

Tahun demi tahun aku menjalani usaha ini, akhirnya aku dapat merasakan jerih payahku selama ini. Usahaku melesat pesat bak roket yang baru saja diluncurkan dari landasan. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan atas karunia yang diberikanNya kepadaku dan aku sangat berterima kasih kepada ibuku karena beliaulah yang sangat mendorong dan memberi semangat untukku, untuk terus berjuang dan berusaha dengan keras. Terima kasih, Ibu.

Arti Hidup Februari 22nd, 2009

Bagai katak di ujung tanduk. Itu adalah keadaanku sekarang. Berjuta pikiran melayang dalam angan tanpa bayang. Antara racun, obat, caci maki, dan duri-duri tajam yang menyerang. Entah kapan ini akan berakhir. Atau akankah memang bisa berakhir. Tapi mungkin saja akan segera berakhir jika aku mengakhirinya sekarang. Haruskah ada strategi utama dan paling berbahaya? Sungguh, hari panjang yang melelahkan. Aku harus memutuskan satu hal yang akan merubah seluruh kehidupan. Hari ini ulang tahunku ke-13. Tapi siapa peduli. Jangankan kado, ucapan selamat saja tertutup rapat dari mulut orang-orang yang mengenalku. Bukan hal aneh bila itu terjadi. Mana ada orang dengan ikhlas memberikan hadiah, meski sebenarnya sangat kuharapakan, begitu saja melemparkannya ke arahku. ”Anak cacat tak pantas mendapatkannya ”, bisa jadi mereka akan mengatakan itu.

Lagi-lagi suara menggelegar, ”To, mbok ya ngamen sana! Cari duit yang banyak! Jangan jadi anak males!”

Seperti biasa sambil membawa sapu lidi, ibu menakutiku, mungkin juga siap memukulku jika aku membantah. Bahkan, untuk menatapnya saja aku malas. Malas karena bosan dengan segala ocehan yang menyurutkan setiap langkahku.

”Iya Bu, tapi aku lagi cape. Tadi kan habis potong kayu.”

”Eh… ga usah alesan.”

Kalau sudah begini aku, suasana rumah seperti kayu yang sedang dibakar. Panas. Hingga penghuninya ingin keluar mencari angin. Tentu saja angin segar.

”Bu, saya bener-bener cape.”

”Kamu tu ya, disuruh gitu aja ngga mau.”

”Bu, kapan Ibu ngerti keadaanku.”

”Dah ga usah jadi anak manja. Mau pergi ngga!” Ibu mengangkat sapu dengan tatapan penuh amarah.

Tak pantas aku menyebutnya Nenek Lampir. Bagaimanapun dia seorang wanita yang telah rela mengadungku sembilan bulan, melahirkanku dengan bertaruh nyawa, dan kini harus membesarkan anak cacat.

”Kenapa kalo Adi atau Tani yang sakit, Ibu pasti cemas. Ibu akan pergi ke warung cari obat. Tapi kalo aku yang sakit, jangankan tanya kenapa, malah ngomel-ngomel ngga dapet uang. Bukannya aku juga anak Ibu.”

”Mau kamu tu apa ? Hidup kita itu lagi susah. Apalagi kamu kayak gini. Emang apa kata orang nanti. Udah miskin, punya anak cacat lagi.”

” Jadi ibu nyesel punya anak sepertiku.”

”Mana ayahmu yang penggangguran itu. Dia ngga pernah datang.”

Aku menunduk sejenak. Apa yang dikatakan Ibu memang benar. Ayah tidak peduli lagi denganku. Semua tampak asing. Mereka orang tuaku, tapi nampak makhluk dari planet lain.

”Ya, aku ngerti semuanya sekarang. Aku pergi!”

Aku berlalu meninggalkan Ibu yang masih mengangkat sapu. Ingin sekali aku berlari sekencang kilat. Tapi apa dayaku. Aku hanya punya satu kaki. Akibat kecelakaan itu. Ketika aku berlari karena dimarahi ibu, aku tertabrak mobil. Kaki kiriku diamputasi. Kini, hanya tongkat kecil sebagai teman membantuku berjalan. Melangkah, menapaki setiap kehidupan.

Teriakan ibu membuatku berpikir lebih dalam tentang arti hidup. Aku pernah melihat jurang sedalam tiga ratus meter. Begitu mengerikan, tapi lebih mengerikan lagi di dalam rumah. Dengan gitar kecil pemberian sahabatku, Eri, sebelum ia pergi melanjutkan sekolah di tanah kelahirannya, Bukittinggi, Sumatra Barat, aku menjadi pengamen remaja yang malang. Anak cacat yang tak pernah diurus orang tuanya.

” Oh….kapan teriakan itu terhenti. Akankah Ibu sadar bahwa aku butuh kasih sayang bukan makian atau perintah setiap hari. Bukan aku benci Ibu, hanya saja aku sadar Ibu tak suka padaku. Kecacatanku ini terlalu membuat Ibu susah,” pikirku.

Aku menelusuri jalan-jalan. Menerobos keramaian kota Yogyakarta. Dengan lagak pengamen, aku bernyanyi lagu tentang keceriaan seorang anak bersama orang tuanya. Aneh, semua lagu bertemakan dunia bahagia. Sedangkan keadaanku sebaliknya. Ini bukan pekerjaan. Tapi derita keseharian. Lihat saja penampilanku. Baju kumal yang jarang dicuci. Kalau pun sampai dicuci, tidak dengan air kran atau air sumur. Air sungai keruh telah menjadi tempat laundry bagiku dan teman-teman seperjuangan. Memang bajuku dicuci, tapi malah semakin kumal akibat lumpur sungai yang melekat menutupi pori-pori kain. Lain lagi dengan tubuhku. Badan kurus kering bagaikan anak kekurangan gizi. Tak khayal, banyak julukan untukku akibat bentuk tubuh ini. Kadang teman-teman memanggilku Cungkring, Garing, atau Krempeng. Aku menerima saja. Kalau dibilang marah. Aku sungguh terhina dengan julukan itu. Akan tetapi, jika dilihat dari keadaanku, memang begitu keadaannya.

Temanku banyak mengamen di bus-bus yang lewat. Berbeda denganku. Aku hanya keliling sehingga uang yang kudapat lebih sedikit. Bagaimana mungkin aku akan naik bus. Berjalan saja sudah sulit apalagi pakai tangga segala. Aku tahu pasti ada orang yang membantu. Tapi apakah kita harus selamanya bergantung pada pertolongan orang lain. Padahal, kita masih sanggup mengerjakannya sendiri. Sepreman-premannya orang pasti mereka punya rasa kemanusiaan bagi sesama. Apalagi untuk anak sepertiku.

Tibalah aku di depan rumah mewah. Menyanyi semerdu mungkin agar orang yang mendengarnya merasakan apa yang ingin kusampaikan. Meski sebenarnya lagu itu hanya untuk menyemangati hidupku yang sedang galau.

Hidupmu indah
bila kau tahu,
jalan mana yang bena…ar
harapan ada
harapan ada
bila kau percaya

Seorang pembantu rumah tangga yang sudah kukenal, keluar lewat samping rumah. Ia memberiku dua keping lima ratusan dan sebungkus nasi.

”Terima kasih, Bi”

”Iya, Bibi tahu kamu belum makan. Cuma ada tempe sama sambal.”

”Ini sudah lebih dari cukup, Bi. Dari baunya saja, hemmm…….. pasti lezat. Ya udah Bi, saya pergi dulu.”

”Hati-hati. Jaga kesehatan. Kalau kamu lapar, bilang saja ke Bibi.”

”Ya Bi. Assalamu’alaikum.”

”Wa’alaikumusssalam.”

Aku jadi bahagia setelah bertemu Bi Minah. Bukan karena aku dapat uang dan makanan, tapi aku bisa bertemu dengan orang yang sangat menyayangiku. Bi Minah punya tiga anak di desa. Semuanya sudah bekerja sebagai buruh pabrik. Saat teristimewa baginya adalah berkumpul dengan semua anggota keluarga. Namun malangnya, ia harus berjuang sendiri setelah suaminya meninggal akibat kecelakaan tujuh tahun yang lalu ketika mengantarkan Bi Minah ke pasar. Peristiwa itu selamanya tak bisa dilupakan. Sama halnya dengan kejadianku saat itu. Bedanya, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk tetap hidup.Walau kaki kiriku harus diamputasi. Makanya, Bi Minah sangat sayang padaku.

* * *

Sambil makan, aku mengkhayal tentang dunia impian. Menjelajahi naluri seorang manusia. Berimajinasi setinggi mungkin. Adakalanya, mimpiku terlampau tinggi. Ini membuatku tersenyum sesaat. Lalu kembali ke dunia nyata. Aku sadar bahwa itu bukan duniaku sekarang.

”Seandainya ibuku mengerti persaanku, pasti aku akan betah tinggal di rumah. Sekolah, bukan ngamen. Cukup belajar dan belajar,” khayalku mulai bergerak cepat.

Tiba-tiba, ”Wei, To, dari mana aja lu! Dapet duwit berape? Wah, makan siang nih!” kata Olen, membuyarkan semua lamunanku.

Khayalanku hilang seketika. Gertakan Olen membuat suasana sepi menjadi ramai. Olen langsung saja menyantap makanan. Ia memang seperti itu. Walau kelakuannya kadang kurang mengenakkan, tetapi hatinya sangat mulia. Apalagi dengan temannya yang sedang tertimpa musibah. Jika ia seorang prajurit, pasti ia sudah berada di barisan paling depan. Dia berbeda nasib denganku. Hubungan dengan orang tuanya sangat dekat. Sekarang Olen berumur 18 tahun. Ia duduk di kelas 2 SMA Nusa Bakti. Olen mengamen hanya untuk bermain. Sedangkan bagiku, mengamen adalah mata pencaharian. Kalau sedang malas ngamen, aku jualan koran atau jadi tukang bersih kaca mobil di jalan.

” Dari Bi Minah lagi. Besok minta dua ya? ” kata Olen.

”Ah lu, malu dong. Dikasih aja ngga enak, apalagi minta. Bi Minah kan juga susah kayak kita. Nih buat lu aja, gue dah kenyang.”

”Beneran ? Gue makan ya.”

”Yoi!”

Tanpa cuci tangan, Olen langsung menyantap semua makanan. Tak peduli ada kotoran atau tidak yang menempel. Padahal, ia selalu bermain di jalanan. Entah berapa kali ia sakit perut gara-gara ulahnya ini. Walau mulutnya penuh dengan nasi, tetap saja ia menyempatkan diri untuk ngobrol.

”Lu lom jawab pertanyaan gue. Dapet berapa jute gini hari?”

”Dikit, nih cuma lima ribu.”

Tangan Olen menyodorkan uang lima ribu untukku. Kebisaannya ini paling kubenci. Aku tahu, aku memang sangat butuh uang, tapi tidak mungkin aku tega mengambil hasil jerih payahnya seharian.

”Buat lu.”

”Apaan ni. Ngga usah.”

”Gue marah ni kalo lu ngga mau.”

”Len, lu lebih butuh ini buat sekolah.”

”Bokap gue ngga bakalan buat gue kelaperan.”

”Ah masa. Ko makannya lahap gitu. Jangan-jangan lu ngga dikasih makan ama ortu lu.”

”Sapa bilang? Gue emang lom makan tadi pagi. Tapi bukan karna gue ngga dikasih makan. Gue tadi bangun kesiangan jadi ngga sempet sarapan.”

”Trus napa ngga langsung pulang? Malah ikut ngamen segala.”

”Buat ketemu elu-elu pade. Emang ngga kangen, kalo gue ngga ada.”

”Kangen ama nenek moyang lo!”

”Ni ambil !” Olen menyodorka uang lima ribu ke arahku.

”Lain kali aja Len , kalo gue butuh uang. Lu tabung aja dulu.”

”Ya udah deh. Gue ngga maksa. Tapi kalo lu butuh, ngomong gue aja ye.”

“Okelah. Wei, dah sore, gue cabut dulu ya.”

“Hati-hati.”

”Da…”

Aku pun meninggalkan Olen yang masih makan. Sebenarnya aku ingin menceritakan masalahku dengannnya. Namun, aku berusaha hidup lebih dewasa dalam masalahku sendiri. Tak tahu kapan badai ini surut. Aku hanya yakin, aku bisa hadapi semua.

* * *

Rumahku cukup mungil. Kami tinggal berlima. Ibu, dua adik, dan ayah tiriku. Saat aku berumur 7 tahun. Ibu minta cerai dari ayah kandungku. Alasannya karena Ayah sering mabuk dan main judi. Utangnya pun melimpah. Akhirnya Ibu minta cerai. Setelah itu, jarang sekali Ayah mengunjungiku. Tidak pernah tanya kabar. Apalagi saat kecelakaan, Ayah seperti menghilang. Aku sempat menanyakan keberadaan Ayah pada beberapa anggota keluarga. Namun, mereka tidak ada yang tahu Benarkah Ayah tak mau lagi melihatku. Apakah ia sangat menyesal dengan kondisiku yang cacat. Mungkin aku memang memalukan.

Aku pulang dengan berjuta perasaan. Antara marah, lelah, dan lapar. Semua membuatku tak nyaman masuk rumah. Apalagi kalau Ibu marah lagi.

” Mana uangnya ?” tanya Ibu saat aku baru tiba di depan pintu.

” Ini,” kataku sambil mengeluarkan uang dari saku.

”Segini!”

” Aku cape, Bu.”

”Bilang aja males. Ngga usah buat alesan.”

”Masa cuma lima ribu. Jatah makan siang kamu terpaksa diundur jadi makan malem.”

Tanpa pikir panjang aku segera masuk kamar. Ruangan kecil ukuran 3 meter x 3 meter. Dulu kamarku ini adalah gudang. Setelah Adi dan Tani, adik tiriku semakin besar, kamarku diberikan untuk mereka sehingga aku harus membersihkan gudang sebelum menempatinya menjadi kamar. Atapnya berlubanng dengan diameter dua sepuluh centimeter. Makanya, kalau hujan aku harus siapkan ember. Lantainya beralaskan tikar bambu. Tanpa bantal dan selimut. Hanya sarung robek yang setia melindungiku dari dingin sekaligus kain untuk solat walaupun itu jarang kulakukan. Bukan karena aku tidak mau mengerjakan perintah Tuhan. Aku sadar Tuhan pasti selalu melihatku. Akan tetapi, aku tidak tahu bagaimana caranya solat apalagi baca Al Quran yang benar. Orang tuaku belum pernah mengajari. Aku belajar agama dari buku-buku bekas di pasar loakan, kertas-kertas yang beterbangan di jalan atau tanya teman yang lebih pintar.

Pintu kututup rapat-rapat. Lalu tidur dengan mata terbuka dan perut keroncongan. Aku mencoba mencari cara untuk lepas dari teriakan ibu. Bagaimanapun juga aku adalah anaknya, bukan musuhnya. Ya, meskipun Ibu telah mempunyai anak dari laki-laki lain yang telah menjadi ayah tiriku. Ayah baruku ini sama dengan Ibu. Bahkan lebih ganas. Penderitaanku bertambah karena Adi dan Tani sangat manja. Mereka selalu minta barang-barang mewah. Hidup boros layaknya orang kaya yang serba ada. Padahal, ayah tiriku hanya supir angkot. Aku pernah minta uang padanya. Dan itu untuk pertama sekaligus terakhir. Karena ia marah-marah. Katanya, aku hanya bisa menyusahkan orang saja. Perkataannya itu membuat ceriaku luluh lantak. Hentakan hebat berhasil merobohkan tiang-tiang ketegaranku. Sejak saat itu, aku tak lagi minta uang. Aku berusaha mencari pekerjaan. Tapi untuk seorang anak cacat sepertiku, adakah pekerjaan yang bisa kulakukan layaknya orang normal? Hanya mengamen yang ada dalam otak. Meski hasilnya tidak seberapa, aku masih punya banyak teman yang bisa membantu. Betapa tersiksa dengan keadaanku sekarang. Hidup satu rumah bersama monster-monster yang setiap saat bisa mematahkan sel-sel tubuh tawamu.

Jam dinding menunnjukkan pukul 9 malam.

”Prakk..!” Ibu membuka pintu kamar dengan keras.

” Ni jatahmu! Habis makan cuci semua alat dapur yang masih kotor.”

” Lo kok aku lagi.”

”Kamu mau dipukul, ha !”

”Iya Bu.” Tiga detik. Aku menyesal mengatakan itu.

”Ingat harus bersih. Jangan sampe sabun berceceran kayak kemaren.”

Aku cemberut. Marah. Kesalnya bukan main.

”Mau dipukul lagi!”

”Ya. Pukul aja. Aku dah kebal dengan pukulan itu. Ngga mempan!”

”Dasar anak kurang ajar! Pokoknya kalo nanti belum bersih semua, kamu tahu akibatnya,” ancam Ibu.

Keadaan ini membuat hidupku seakan tak berharga. Ibu pergi meninggalkan aku yang masih pusing. Tak ada senyum.Yang ada hanya wajah penuh geram. Aku duduk di pojok kamar. Nasi itu tak sempat kusentuh. Pikiranku menjurus satu cara.

”Aku harus pergi sekarang. Ngga mungkin aku hidup seperti ini selamanya. Jalanku masih panjang.”

Kuputuskan untuk pergi. Semua baju aku masukan dalam sarung, lalu kuikat keempat sudutnya. Aku melihat situasi. Suasana sepi. Kamarku memang terletak paling belakang. Itulah kenapa walaupun aku berteriak belum tentu mereka dengar. Orang-orang sedang nonton TV. Aku keluar lewat jendela dapur. Bebaslah jiwa dari penjara kegelapan. Dunia tersenyum bangga padaku.

”Selamat datang kebebasan. Benar apa kata Soekarno bahwa cintailah perdamaian tapi lebih cintailah kemerdekaan. Aku tahu ini pilihan hidup yang sangat sulit. Namun, aku rasa masih banyak orang-orang yang lebih suram hidupnya daripada aku.”

Jam dinding selalu kubawa kalau pergi jauh. Walau anak jalanan tapi aku kenal waktu. Setiap detik hidup harus bernilai bagiku. Hidup hanya sekali. Tak peduli apa kata orang tentangku. Aku harus tetap melangkahkan kaki. Mungkin saat ini aku gagal dalam mencari kebahagiaan. Namun, tidak untuk besok karena aku yakin bahagia akan datang menghampiri. Aku akan memenangkan pertempuran ini.

Hari mulai cerah. Secerah senyum yang kupaparkan pada dunia. Tidur di pinggir jalanan ternyata tidak enak. Selain banyak nyamuk.Udara dingin membuatku sakit kepala. Setelah mencuci muka di sungai, aku melanjutkan perjalanan. Sampai di sebuah masjid aku disambut seorang kakek berjenggot putih. Walau sudah tua, senyumnya seperti masih muda. Ia heran melihat kedatanganku.

”Dari mana Nak ? Kau mau ke mana?”

”Saya dari sana,” tanganku menunjuk arahku datang.

”Sekarang masih jam 3 pagi, di mana rumahmu? Sepertinya kamu bukan anak sini,” Kakek melirik jam dinding yang kubawa.

”Saya….saya dari sana,” tanganku kembali menunjuk arah yang sama.

”Dari sana? Sananya mana ?”

”Anu, saya….saya sendiri Kek.”

Akhirnya kami duduk di mimbar masjid. Serangkaian kisahku terukir. Kakek itu terlihat sangat antusias mendengarkan ceritaku. Beberapa kali ia bertanya. Aneh, meski baru kenal kami sudah sangat akrab. Ia jelmaan orang yang selama ini aku tunggu. Orang yang bersedia mendengarkan keluh kesah hidupku. Tak pernah kutemui orang seperti kakek ini. Begitu bijak ia memberi nasehat.

”Siapa namamu?”

”Saya Toto Iskandar.”

”Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang ?” tanya Kakek.

”Aku tidak mau menjadi air yang mengalir. Aku ingin menjadi arus. Hidup dengan kemauan sendiri. Tanpa paksaan. Tanpa teriakan orang-orang yang menyuruhku ini itu. Bolehkah aku bertanya Kek, apa arti hidup itu?”

”Hidup. Hidup adalah tentang bagaimana kita menghargai pemberian orang lain, mencintai apa yang menjadi milik kita, proses bagaimana kita menyelesaikan tugas di dunia, mencari bekal untuk nanti di akhirat, menerbangkan imajinasi kita untuk terus berkarya, dan masih banyak arti hidup yang lain. Semua itu akan kau temukan ketika kau menjalani kehidupan. Jangan biarkan dirimu dipermainkan oleh hidup, tapi kau harus bisa merasakan hidup.”

”Lalu apa itu bahagia ?”

”Kakek rasa, kau pernah merasakannya. Bahagia. Sulit dijelaskan. Bahagia akan datang karena kau merasa bahwa sekaya-kayanya, semiskin-miskinnya, sesukses-suksesnya, sehancur-hancurnya, sebodoh-bodohnya, sehebat-hebatnya orang itu, mereka MEMERLUKANMU.”

Aku mencoba menyerap ucapannya. Meski bingung, aku mulai mengerti.

” Terima kasih atas jawaban Kakek.”

”Lebih baik kamu pulang dulu dan selesaikan masalahmu dengan Ibu. Atau perlu Kakek bantu.”

”Tidak usah Kek. Mungkin saya bisa sendiri.”

”Kamu yakin ?”

Aku mengangguk. Anggukanku itu penuh tanda tanya. Apakah aku bisa hadapi semua sendiri atau tidak.

”Kalo begitu, ayo solat sama Kakek!”

”Saya belum hafal doanya, Kek. Lagi pula saya tidak tahu bagaimana caranya solat yang benar. ”

”Solat tahajud namanya. Tidak apa-apa, kamu sering-sering saja ke sini. Nanti Kakek ajarin. Kamu boleh menggunakan bahasa apa pun yang kamu bisa. Tuhan Maha Mendengar.”

Sebelum masuk masjid aku berkata, ”Kakek, aku punya dua permintaan.”

”Apa itu?” langkah Kakek terhenti.

”Bolehkah aku memeluk Kakek? Aku tidak punya Kakek selama ini.”

”Tentu, kau juga akan punya banyak Kakek suatu hari nanti.”

Aku segera memeluknya. Merasakan kedamaian yang selama ini belum aku temukan. Kasih sayang.

Inikah bahagia itu Tuhan? Aku berhasil menemukannya. Aku telah menang.

Kupeluk kakek itu sangat erat. Tak ingin aku melepaskannya. Hingga tangisku pun meledak.

”Lalu apa permintaanmu yang kedua ?” tanya Kakek sambil membalas pelukanku.

”Bolehkah aku tinggal sehari saja di rumah Kakek.”

Aku melepaskan pelukannya untuk menatap mata yang sudah keriput.

”Iya, kamu boleh tinggal bersama Kakek kapanpun yang kamu mau.”

Banjir bandang meluap. Membasahi pipi. Kupeluk lagi tubuh yang sudah renta itu dengan sangat erat. Erat sekali. Kemudian Kakek mengusap rambutku. Seandainya tadi aku keramas pakai sampo, pasti aku takkan malu karena rambutku yang berminyak dan bau ini. Tangan yang selalu kurindukan. Kedamaian terus mengalir dalam kalbu. Laksana tanah gersang yang tersiram air hujan. Termasuk amarahku pada Ibu. Tak ingin aku berpisah darinya. Ternyata Tuhan masih menyayangiku meski aku semakin jauh dari-Nya.

Kami pun masuk masjid. Mengambil air wudhu dan solat bersama. Kakek mengajariku banyak hal. Ilmu yang selama ini belum pernah aku dapatkan, dalam waktu singkat telah berada di dekatku. Aku sangat bersyukur. Ini adalah keajaiban Tuhan untukku. Aku memang cacat. Namun, di balik kekuranganku, ada banyak kebahagiaan yang jauh lebih berharga. Mengapa selama ini aku selalu mengeluh? Betapa bodohnya aku. Ini bukan Toto Iskandar. Aku harus berubah. Aku masih punya kaki satu untuk berjalan, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan kedua tangan ini masih bisa kugerakkan.

Selama dua hari di rumah Kakek, aku sangat senang. Aku pun tahu kalau nama kakek itu adalah Kakek Soleh. Kakek pernah bercerita bahwa sebelum istrinya meninggal, ia berpesan jika suatu hari Kakek bertemu dengan orang yang sedang susah, ia harus sebisa mungkin membantunya. Karena ingat pesan itulah, Kakek berusaha membantuku. Kakek punya dua anak perempuan. Karena sudah menikah, mereka hidup bersama keluarga sang suami. Kakek juga pernah diajak untuk ikut, tapi ia tidak mau sebab baginya rumah ini adalah tempat terindah. Banyak kenangan manis yang harus ia jaga. Sebisa mungkin aku berusaha membantu Kakek. Pergi ke ladang. Mencabuti rumput dan menanam palawija. Hasil panennya sebagian dijual untuk membiayai hidup. Kakek juga sering membuat makanan kecil seperti singkong rebus dan lalaban untuk dibawa ke masjid. Biasanya saat kajian rutin. Aku belajar bagaimana ia menjalani hidup.

Lima hari yang indah itu akan menjadi pengalamanku paling berharga. Setelah berpamitan dengan kakek, aku memutuskan untuk pulang. Kembali ke rumah yang dulu kuanggap neraka. Entah kekuatan apa yang mendorongku ke sana. Tiba di gang menuju rumah, aku tampak ragu. Aku ingat bagaimana Ibu menungguku di pintu sambil berdiri dan bersiap memarahi. Kutarik nafas dalam-dalam. Lalu kukeluarkan perlahan. Tekad bulat masih tetap kokoh. Langkahku maju. Ingin aku membuka pintu yang telah lama kutinggalkan. Pintu yang sering Ibu pukul-pukul saat marah. Dengan perasaan was-was aku menapaki setiap turbin halaman rumah. Suasana sepi. Tiba-tiba ada tiga orang tetangga keluar dari dalam. Terlihat juga Adi dan Tani yang sedang merapikan baju yang keluar dari tas yang dibawa mereka. Aku langsung mendekati mereka menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

”Eh, ada apa, Di?”

”Elu To. Masih inget rumah ini juga.”

”Ibu jatuh dari tangga. Dan sekarang ada di rumah sakit.”

”Apa ! Ibu…….. Aku ikut kalian.”

”Terserahlah, ikut juga boleh asal ngga nyusahin aja,” jawab Tani.

Aku tahu mereka tak menyukaiku sejak dulu. Hal itu wajar karena memang aku bukan kakak kandung mereka. Meski begitu, sebagai kakak aku tetap mecoba bersabar. Menunggu saat mereka mau memanggilku ” Kakak”.

* * *

Sampai di rumah sakit kulihat Ibu yang terbaring lemah. Wajahnya pucat. Matanya tertutup rapat. Ayah, Adi, Tani, dan beberapa tetangga menatapku. Arah pandangan penuh keheranan dan kebencian. Namun, aku tak peduli dengan reaksi itu. Yang kupedulikan hanya keadaan Ibu sekarang.

”Ibu, maaf. Memang anak durhaka sepertiku ini, tidak pantas untukmu. Tapi asal Ibu tahu, aku sangat menyayangi Ibu.”

Senyumku melebar. Ternyata Ibu membuka mata. Ada suara kecil. Kudekati.

Aku mendengar ia bercerita, ”To, kamu harus tahu, kalau…..kalau sebenarnya, kamu bukan anak kandung Ibu. Dulu ayahmu pernah menikah dengan wanita lain. Lalu ibumu pergi meninggalkan kalian karena ayahmu bangkrut. Saat itu, kamu baru berumur enam bulan. Dan akhirnya…..ayahmu menikah lagi dengan Ibu.”

”DEG”

”Apa. Apa ini. Lelucon seperti apa yang baru aku dengar barusan.”

Kalimat ibu terhenti karena oleh iask tangis. Aku pun larut dalam nuansa yang sama. Ibu juga tampak menahan rasa sakit.

”Betulkah cerita ini?” Hatiku mulai bimbang.

”Ibu juga sayang kamu. Maafkan kesalahan Ibu ya,” Ibu melanjutkan ucapannya.

”Ibu, kau tetap Ibuku.”

Menangis. Menangis lagi. Kenapa Ibu terlalu banyak menangis. Air matanya semakin deras. Lalu segera kupeluk Ibu.

Jantungku terasa berhenti berdetak. Petir yang menyambar membuatku sejenak tak sadar bahwa aku masih hidup. Apa yang terjadi? Aku tak paham satupun. Atau aku sudah sangat paham. Sekarang aku tahu mengapa Ibu lebih sayang Adi dan Tani yang merupakan anak kandungnya sendiri.

Tiba-tiba Ibu berteriak kesakitan. Orang-orang di sekitarku panik. Tak tahan dengan keadaan ini, aku keluar menuju ruangan dokter dengan susah payah karena kakiku yang cacat.

”Dokter! Tolong ibuku!” teriakku sambil berlari kencang.

Walau hanya dengan sebuah tongkat, tapi benda ini sangat membantuku berlari semakin kencang. Beberapa kali aku jatuh, tetapi kembali berdiri. Seluruh orang di rumah sakit ikut panik. Aku langsung menarik tangan seorang dokter yang baru kulihat.

”Ada apa ini. Tunggu dulu!”

”Cepat Dok!”

Tanpa peduli permintaanya aku tarik kuat-kuat tangan itu.

”Tolong Ibu, kumohon,” kataku sambil terus berlari menuju kamar ibu terbaring.

Betapa kagetnya aku. Tubuh Ibu telah tertutup kain putih. Semua orang di sekitarnya menangis.

”Tuhan, kenapa Kau ambil ibuku sekarang.”

Dunia tampak gelap. Aku pun jatuh dan tak tahu apa yang terajadi selanjutnya.

Pemakaman berlangsung lambat. Selambat langkahku meninggalkan makam yang masih merah itu. Tak ada keceriaan lagi. Aku kehilangan semua. Lemas. Terlalu sakit untuk menyadari bahwa Ibu telah menghilang. Dia pergi ke dunia asing. Tapi, suatu hari nanti aku juga akan ke sana. Dunia abadi yang sebenarnya. Akhirnya aku kembali ke rumah Kakek. Tinggal bersama orang yang menyayangiku. Mencari ilmu setinggi-tingginya tentang arti hidup.

Andai Aku Bisa Sepertimu

Kamu memang perempuan yang sempurna. Cantik, anggun, pintar, keibuan, populer, kaya, dan mapan. Kamu juga pintar merawat keluarga. Sungguh, kamu benar-benar perempuan sempurna. Semua kelebihanmu itu membuat aku merasa amat cemburu dan tak berharga di hadapanmu. Andai aku bisa sepertimu?

Akhir-akhir ini aku memang sering mengamatimu, diam-diam dan dari kejauhan. Aku ingin tahu, apa kiatmu sehingga Mas Han tunduk padamu. Sangat mencintaimu dan tak mampu meninggalkanmu. Aku ingin belajar darimu, bagaimana merawat Mas Han dan anak-anaknya. Karena suatu saat nanti, jika aku berhasil menggantikan posisimu, aku akan berlaku seperti kamu!

Sudah hampir dua tahun ini aku menjalin hubungan gelap dengan mas Han. Perkenalanku dengan laki-laki itu berawal di sebuah klub malam. Mas Han duduk sendirian di meja sudut. Kulihat wajahnya tampak muram dan tak bersemangat. Aku lalu menghampirinya. Dia tak menampik kehadiranku. Kami ngobrol. Lama. Tentang apa saja. Selanjutnya kami menjadi akrab. Kami menemukan chemistry!

Malam-malam berikutnya, aku jadi sering bertemu dengan Mas Han. Kami hanya minum-minum dan ngobrol. Aku merelakan diriku menjadi keranjang sampah. Mas Han butuh tempat untuk mencurahkan isi hati. Dia amat kesepian. Tak ada teman bicara. Dia memang sudah beristri, tapi istrinya terlalu sibuk di kantor. Anak-anaknya juga masih kecil.

Untuk melarikan kepenatan dia lalu pergi ke klub malam. Mencari hiburan, sekaligus teman. Mas Han punya banyak masalah di kantor. Sering ditekan atasan, tugas menumpuk, hasil kerja tidak sesuai target, ditambah intrik dan persaingan tidak sehat diantara sesama rekan kerja. Mas Han tidak punya teman yang bisa dipercaya. Mau bicara pada istri, khawatir nanti malah menambah beban. Lia, istrinya, sudah cukup repot mengurus rumah tangga dan pekerjaannya sendiri.

Akhirnya, larilah dia ke sini. Ke dalam pelukanku. Entah, kenapa dia merasa enjoy bersamaku. Dia mengakui kalau aku enak diajak bicara, tidak bawel, tidak nyinyir, mau mendengar, peduli, dan perhatian. Aku jadi tersenyum malu. Aku tak menganggap pujiannya gombal, karena aku tahu dia orang jujur –pertama kenalan dia terus terang mengaku sudah beristri dan punya dua anak yang manis-manis—, aku hanya merasa aneh saja. Baru kali ini ada orang memujiku. Padahal selama ini lebih banyak orang mencemoohku, bahkan menganggapku najis!

Sejak lahir hingga tumbuh dewasa sekarang, hidupku jauh dari belaian kasih sayang orang tua. Ayah dan ibuku bercerai saat aku masih berumur satu tahun. Konon, suami ibuku meragukan keabsahanku sebagai anak biologisnya. Aku dianggap anak hasil perselingkuhan. Malu oleh peristiwa itu, Ibu lalu lari ke luar negeri. Menjadi TKW di negeri jiran. Aku dititipkan pada nenek di desa. Nenek amat mengasihi dan memanjakanku. Tapi sayang, nenek tak bisa terlalu lama mendampingiku. Saat usiaku lima tahun, nenek dipanggil Tuhan.

Aku lalu diambil oleh Bibi, kerabat jauh Ibu. Aku dibawa ke kota dan tinggal bersama keluarganya. Suami Bibi seorang pedagang dan jarang berada di rumah. Sejak pagi buta dia berangkat ke pasar yang berada di luar kota, pulang ke rumah saat matahari sudah tenggelam, bahkan terkadang hingga larut malam. Anak Bibi berjumlah tiga, semuanya perempuan. Mereka sudah besar-besar. Watak mereka persis Bibi. Keras, judes, cerewet, malas, dan suka main perintah.

Bibi memperlakukan aku seperti pembantu. Meski aku disekolahkan, diberi makan, dan pakaian, tetapi aku juga harus bekerja. Sebelum berangkat ke sekolah, aku mesti bersih-bersih rumah dulu. Menyapu, mengepel, mencuci piring, dan pekerjaan rumah lainnya. Bila lalai atau berbuat kesalahan sedikit saja, Bibi langsung mencak-mencak. Aku diomeli, dimarahi, dicaci, bahkan sampai dipukul. Pernah aku dihajar pakai gagang sapu hingga patah gara-gara memecahkan vas bunga kesayangannya. Aku hanya bisa menangis dan merintih pilu.

Bukan hanya Bibi saja yang sering menderaku, ketiga anak perempuannya juga begitu. Bahkan putri bungsunya yang usianya dua tahun lebih tua dariku pernah menyiksaku. Suatu ketika aku dituduh menghilangkan barang mainannya. Tanpa ampun dia langsung menginjak-injak tubuhku, menendang, memukul, dan puncaknya menggunting telingaku hingga berdarah. Perbuatannya itu dibiarkan saja oleh Bibi. Ketika kemudian barang mainan itu ditemukan terselip di kolong ranjang, alih-alih mereka minta maaf malah aku disalahkan karena teledor waktu membereskan kamar. Sungguh, betapa pedihnya hatiku!

Hidupku memang jauh dari kebahagiaan. Hari-hari yang kujalani penuh coba-derita. Aku sebenarnya tak tahan diperlakukan seperti ini, tapi aku tak tahu ke mana mesti lari. Aku sudah tak punya keluarga. Ibu kandungku tak ketahuan di mana rimbanya. Waktu pemakaman Nenek dia tidak hadir. Konon, ibuku sudah kawin lagi dengan orang asing dan tinggal di Malaysia. Bahkan ada yang bilang sudah mati. Entahlah, yang jelas aku sebatang kara.

Saat usiaku beranjak dewasa, perlakuan Bibi dan ketiga putrinya tak berubah. Aku pun tumbuh menjadi sosok pendiam, minder, dan tertutup. Aku jarang bergaul di luar, karena Bibi sering melarangku pergi. Hidupku hanya berputar dari rumah, sekolah, dan warung tempat belanja. Hanya itu saja. Bahkan di sekolah pun aku sering mendapat perlakuan buruk, karena aku tampak berbeda. Teman-teman suka mengolok-olok dan mengejekku. Tapi aku hanya diam saja dan tak mau membalas.

Perlakuan kejam keluarga Bibi agak berkurang ketika satu persatu putrinya dilamar orang dan kemudian hidup terpisah dari orang tua. Bibi sendiri mulai dimakan usia, tenaganya lemah, dan sering sakit-sakitan. Tapi umpatannya masih terdengar lantang di telinga. Seruan ‘anak haram jadah’, ‘anak tak tahu diuntung’, ‘pemalas’, atau ‘lemot’ menjadi intro wajibnya bila memerintahku. Telinga dan perasaanku sudah cukup kebal mendengarnya. Asal tak menyebut ibuku pelacur saja, hatiku bisa cukup bersabar.

Aku tadinya merasa lebih tenang setelah ketiga putri Bibi pergi dari rumah dan hari-hari Bibi lebih banyak terkapar di ranjang karena stroke. Tapi ketenanganku terusik ketika suatu malam, saat aku sedang lelap di kamar, tiba-tiba aku merasakan tubuhku seperti ada yang menindih. Saat kubuka mata, jantungku seperti disambar petir. Wajah seram paman melekat di pelupuk mata. Dengan desis suara yang mendirikan bulu roma, paman meminta aku melayani syahwatnya. Dan malam jahanam itu menjadi malam kelam yang tak akan pernah terlupakan dari benakku.

Sejak kejadian itu, paman sering menyambangi aku malam-malam. Saat Bibi sudah terlelap di kamarnya. Apalagi belakangan usaha dagang paman menurun. Dia jarang lagi pergi ke pasar. Aku tak kuasa melawan kehendak paman, karena dia mengancam akan membunuhku bila berani buka mulut. Aku hanya bisa terpekur kelu. Perasaan pedih, tertekan, dan takut mendera jiwaku. Sungguh, hidupku serasa di dalam neraka. Aku cemas kebobrokan ini akan terbongkar. Aku bisa bayangkan, bagaimana murkanya Bibi dan ketiga putrinya bila mengetahui kejadian ini.

Setelah kupikir masak-masak, akhirnya aku memutuskan lari dari rumah Bibi. Pergi ke ibukota. Dengan peta buta aku menjelajah sudut-sudut kota Jakarta. Seperti burung yang terbang lepas aku hirup udara kebebasan. Kutemukan dunia yang selama ini kucari. Aku tak peduli bagaimana mencari makan, ke mana bersarang. Kebetulan ada pengelana malam berbaik hati menampungku. Dikenalkannya aku pada kehidupan malam. Meski sadar, dunia yang kujalani ini jauh dari norma-norma susila dan agama, tapi peduli setan. Toh, hidupku sudah terlanjur kotor dan hancur. Sekalian saja aku tenggelam!

Telah banyak lelaki hilir mudik menyambangiku. Namun dari semua yang hadir itu tak ada yang seperti Mas Han. Sungguh, dia lelaki istimewa. Dia bukan sekadar teman berkencan, tapi juga seperti sahabat, pacar, sekaligus belahan jiwa. Aku menemukan kecocokan dengannya. Mas Han orangnya lembut, romantis, sabar, dan tenang. Beda dengan laki-laki kebanyakan yang kasar, egois, dan temperamen. Dengan Mas Han aku seperti menemukan surga. Tak kupungkiri aku jatuh cinta padanya.

Ketika aku mencurahkan isi hatiku ini, dia malah tertawa.

“Kenapa, Mas? Aku benar-benar mencintaimu. Apakah kamu tidak cinta padaku?” rajukku.

“Ya, ya. Aku juga mencintaimu,” ucapnya datar.

“Kalau begitu, kenapa kamu tertawa?”

“Tidak kenapa-kenapa. Lucu saja!”

“Tidak lucu, Mas. Ini serius! Aku bahkan ingin menikah denganmu!” tegasku menekankan.

“Inilah yang lucu. Aku tak mungkin menikah denganmu. Apa kata orang nanti? Lagian, aku tak ingin menghancurkan keluargaku. Aku tak mungkin meninggalkan Lia. Aku tak mungkin meninggalkan anak-anak! Aku sangat mencintai mereka!” jawabnya.

Aku tertegun. Tiba-tiba aku tersadar. Hatiku serasa tertampar keras. Benar juga! Mas Han sudah punya istri, punya anak. Dia tak mungkin meninggalkan keluarganya demi manusia kotor sepertiku. Tapi aku seakan tak bisa menerima kenyataan ini. Aku kembali merajuk.

“Lalu, apa artinya hubungan kita ini, Mas?”

“Hubungan kita ya, seperti ini saja. Aku akan menemuimu saat aku membutuhkanmu. Kita tak perlu bikin komitmen apa-apa. Kita saling percaya saja bahwa kita saling mencintai. Bukankah cinta tidak harus saling memiliki? Karena cinta cukup untuk cinta!”

Dia menyitir sebuah ungkapan puitis seorang pujangga. Aku meneguk liur, pahit. Aku tak ingin sekadar mencinta, Mas. Aku juga ingin memiliki. Aku ingin diakui. Sejak lama aku hidup sebatang kara. Tak ada yang mengasihiku dengan setulus hati. Tak ada yang mau menerimaku apa adanya. Hanya kamu, Mas, yang bisa mengerti diriku, mau menerimaku dengan sepenuh hati.

Tiba-tiba aku dibelit rasa cemburu pada Lia. Aku ingin seperti dirinya, agar aku bisa mengecap kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga yang utuh. Keinginan itu yang mendorong aku akhir-akhir ini sering mengikuti Lia. Menyelidikinya. Mengamatinya dari jauh. Aku ingin tahu, di mana kekuatannya sehingga Mas Han tak berani melepasnya. Aku ingin belajar padanya bagaimana mengurus keluarga.

Tapi semakin aku mengenalnya, semakin banyak hal kutahu tentang dirinya, semakin ciut nyaliku. Kerdil jiwaku. Kamu begitu sempurna, Lia. Sangat sempurna. Kamu perempuan ideal dambaan semua pria. Cantik, anggun, pintar, seksi, berkelas, keibuan, dan pandai merawat keluarga. Sungguh, kamu memiliki segala yang diimpikan perempuan. Bila ada yang kurang pada dirimu hanya satu; kamu lalai menjaga suamimu!

Andai aku menjadi kamu, tak kubiarkan suamiku kelayapan di klub malam. Tak kubiarkan dia mencari teman bersandar di luar rumah. Tak kubiarkan dia menanggung beban sendirian. Tak kubiarkan dia kehilangan arah tujuan. Karena dia tidak hanya butuh cinta dan kepercayaan, tapi juga belaian kasih sayang, perhatian, dan kelembutan. Setangguh-tangguhnya lelaki, mereka juga punya sisi lemah!

Tapi itulah… aku tak mungkin menjadi kamu. Aku tak mungkin menggantikan kedudukanmu. Karena kutahu, sebuah kemustahilan melawan kodrat. Aku terlahir sebagai laki-laki, meski jiwaku perempuan. Entah, siapa yang patut disalahkan atas keadaanku ini. Tapi satu hal pasti, aku tak mungkin menggantikan kedudukanmu. Tapi ingin sekali kubisikkan padamu; jagalah suamimu agar dia tidak lari ke pelukan manusia sepertiku!

Kilasan Hati Pak Guru Ahmad

Terdengar suara pintu ruang tamu diketuk. Entah siapa malam-malam begini bertamu. Pak Ahmad melirik ke jam dinding yang tergantung. Jam 20.00. Hening sunyi di kampung ini. Dibukanya pintu, terlihat beberapa anak muda dengan pakaian rapi. Tersenyum sambil mencium tangan Pak Ahmad.
“Assalaamu ‘alaikum Pak. Maaf kami mengganggu istirahat Bapak,” salah seorang di antara mereka memberi salam dengan santun.

“Wa ‘alaikum salam. Eeh… Anto, Udin, Johan. Mari masuk. Sudah lama kalian tak berkunjung kemari. Bagaimana kabar kalian? Baik-baik saja kan?”
“Alhamdulillah, atas doa Bapak kami tetap dalam lindungan Allah.”
Ketiga anak muda itu masuk dan duduk di bangku ruang tamu yang sudah memudar warnanya. Temaram lampu tak mampu menyembunyikan lubang-lubang yang mulai muncul di sana-sini. Ruang tamu yang sempit makin sesak dengan motor tua yang terparkir di sudut ruangan.
“Ada perlu apa kalian kemari. Bapak pikir kalian telah lupa dengan rumah ini. Kalian kemari saat masih SD dulu kan? O ya… kalian sudah kuliah di mana?”
“Anto di UI, Pak. Kuliah di arsitektur,” Udin mendahului sebelum Anto membuka mulut.
“Iya Pak. Saya sekarang di semester 6,” Anto membenarkan.

“Kalau kamu sendiri kuliah di mana, Din?”
“Saya dagang di kios pakaian di Tenabang, Pak. Saya gak begitu seneng kuliah. Orang tua saya tidak memaksa saya untuk kuliah. Kebetulan Oom saya dagang pakaian di Tenabang. Saya ikut Oom saya dua tahun sambil belajar dagang. Otodidak Pak, belajar sendiri, sambil ngumpulin uang buat modal dagang. Alhamdulillah, dua bulan kemaren saya bisa nyewa kios sendiri. Kebetulan ada kios yang disewain sama yang punya dan letaknya deketan dengan kios Oom saya. Barang dagangan sebagian punya Oom saya yang dititipin ke kios saya,” jelas Udin panjang lebar. Memang dari dulu si Udin banyak omong dan berbakat dagang. Apa saja yang bisa dijual, dia akan jual. Pensil, permen, biji karet cuma segelintir barang dagangan Udin waktu SD.
“Wah bagus itu. Masih muda sudah punya jiwa bisnis. Bapak doakan bisnismu makin lancar dan makin berkembang. Bu, tolong buatkan minum buat Anto, Udin dan Johan. Johan kamu kuliah atau kerja?”
“Saya ambil kuliah D3 komputer Pak. Emang dari dulu saya seneng komputer. Gak cuman seneng gamenya, saya juga seneng utak-atik komputernya. Saya niatnya mau ambil Fasilkom di UI tapi gak tembus pas SPMB-nya. Jadi saya ke D3 aja. Niatnya sih biar langsung bisa kerja.”
“Anak Bapak yang masih SMA, si Hamid, minta dibeliin komputer. Katanya buat bikin tugas sekolah. Tapi Bapak belum bisa ngebeliin. Belum ada duit. Yah… gaji Bapak sebagai guru SD agak kurang sehingga setiap pengeluaran harus dihemat.”
“Silakan diminum, Nak. Wah sekarang sudah besar-besar ya? Gimana kabar kalian?” Bu Siti, istri Pak Ahmad masuk dan meletakkan empat gelas teh manis hangat di meja tamu.
“Alhamdulillah, baik Bu,” serentak Anto, Johan dan Udin menyahut.
“Silakan diminum. Mumpung masih hangat. Ibu tinggal dulu ya?”
“Hamid sekolah di SMA mana Pak?” tanya Johan, kembali teringat dengan pembicaraan sebelumnya.
“Di SMA 2 deket Gedung Balaikota.”
“Wah kebetulan tuh Pak. Saya dengan beberapa teman membuka rental komputer dan internet. Ada temen yang bapaknya punya ruko deket Gedung Balaikota, belum ditempatin. Satu ruko diserahin ke temen saya itu. Dari pada kosong ruko itu kami jadikan rental komputer dan internet. Deket situ kan juga ada kampus Universitas Putra Bangsa. Mahasiswanya cukup banyak. Yah… banyak juga yang dateng untuk internetan. Kalau Hamid butuh make komputer datang aja Pak. Nanti saya bilang ke temen saya biar disediain satu komputer buat dipake Hamid.” Johan menawarkan bantuan.
“Terima kasih, Jo. Nanti Bapak bilang ke Hamid supaya dateng ke rental kamu. Apa namanya?”
“Namanya PUBLIC.NET.”
“Pak, Bapak masih ngajar di SDN 03?” Anto yang sedari tadi diam ikut angkat bicara.
“Masih. Bapak masih senang mengajar. Sambil menjaga ilmu yang Bapak dapet dulu. Bapak masih inget nakalnya kalian bertiga. Banyak guru yang ngeluh ke Bapak. Bapak kan wali kelas kalian waktu di kelas 4. Inget waktu kalian ngerjain Pak Anjas? Kalian taruh bekas permen karet di bangkunya sampai-sampai dia kesulitan untuk melepaskannya? Wuah dia marah besar waktu itu.”
“Ha…ha…ha…! Iya Pak. Kami memang bandel banget waktu itu. Ketika kami minta maaf, dia masih saja memarahi kami. Untungnya nilai matematika kami tidak dimerahin di raport.”
“Sekarang Pak Anjas masih ngajar di situ, Pak?”
“Masih. Yah … sekarang cari kerja makin susah, nak. Kami para guru nasibnya tidak pernah berubah. Bertahun-tahun kami menyaksikan anak didik kami datang dan pergi. Silih berganti. Yang waktu SDnya bebel, susah diajarin, sekarang sudah jadi dosen. Yang dulunya bandel, sekarang jadi bos perusahaan raksasa. Kalo Wati sekarang di mana? Dia pintar, cantik lagi. Selalu rangking 3 besar di kelasnya.”
“Wati sekarang kuliah di Kedokteran UI, Pak. Ngikutin kayak papanya yang juga dokter,” sahut Udin.
“Baguslah. Sebenarnya Bapak iri dengan kalian.”
“Iri kenapa Pak?” Johan penasaran.
“Bapak iri dengan keadaan kalian yang punya harapan cerah. Dengan ilmu yang kalian dapatkan kalian akan maju menjadi orang-orang yang berhasil dan sukses. Kalau Bapak bandingkan dengan keadaan guru-guru, hati Bapak sedih . Nasib rekan-rekan guru dari tahun ke tahun begini-begini saja. Tidak ada kemajuan yang berarti. Apalagi yang masih jadi guru honorer. Bapak sendiri masih mendingan. Bapak sekarang sudah diangkat menjadi pegawai negeri. Jadi ada harapan untuk dapat uang pensiun.”
“Sering Bapak ngobrol dengan guru-guru lain. Anak Pak Anjas terpaksa putus kuliahnya karena tidak sanggup bayar uang semesteran sekitar enam juta rupiah padahal sebentar lagi skripsi. Bu Nur, guru kesenian kalian, masih ingat? Harus merelakan kepergian anaknya ketika anaknya yang paling kecil terkena demam berdarah. Meski sudah mencari utangan ke sana sini tetap belum bisa menutupi biaya pengobatan. Pak Juned, guru bahasa Indonesia, terpaksa narik ojek sepulang ngajar sampai malam sekedar untuk mencukupi uang beli sayur.” Pak Ahmad mulai membicarakan keadaan para guru.
“Bapak bersama teman-teman guru sudah mengadukan nasib kami ke Kepala Sekolah, terus ke Diknas kecamatan. Bahkan sampai ke Diknas Pusat. Kami ingin kesejahteraan kami dapat ditingkatkan agar kami dapat mengajar dengan tenang dan lebih berkualitas. Bagaimana kami dapat mencari tambahan ilmu kalau buku-buku berkualitas harganya tak dapat kami jangkau? Uang gaji kami paling hanya dapat menutupi kebutuhan selama 15 sampai 20 hari. Sisanya mencari tambahan.Tapi entahlah. Sampai sekarang tetap belum ada tanggapan.”
“Beberapa hari yang lalu kami datang ke gedung dewan untuk demo menuntut hal sama. Waktu itu kami memaksa untuk bertemu dengan anggota dewan, tapi gak ada yang mau nemuin kami. Makin sedih hati kami, Nak. Sudah capek-capek teriak, kepanasan, duit abis buat ongkos demo tapi gak ada hasil yang memuaskan.”
“Giliran mau deket-deket pemilu, para caleg rajin ngedeketin para guru. Ngasih bingkisan lah, kaos lah, segala macem dengan tujuan supaya para guru milih dia. Ngomong kesana kemari mau memperjuangkan aspirasi para guru dan meningkatkan kesejahteraan. Eeh… begitu naik jadi anggota dewan, lupa dengan guru yang dulu milih dia. Sakit hati juga Bapak. Apa mereka gak merasa kalau tanpa didikan guru gak bakal mereka seperti itu. Dulu yang bikin mereka bisa baca dan nulis ama ngitung kan para guru. Kalo bukan guru yang ngajarin gak bakal mereka bisa sekolah sampai setinggi itu.”
“Mungkin ini yang menjadi salah satu alasan kenapa tidak banyak yang tertarik untuk menjadi guru. Andaikata menjadi guru, itupun terpaksa karena tidak bisa lulus di jurusan yang bergengi seperti teknik, komputer ataupun kedokteran. Padahal jasa seorang guru sangat luar biasa, terutama guru SD. Guru SD itu guru yang paling berat tantangannya. Anak-anak yang tadinya gak bisa baca, tulis dan berhitung diajari sampai bisa dan pandai. Kalo anaknya pintar, mendingan, gak terlalu sulit ngajarinnya. Tapi kalo anaknya biasa-biasa aja bahkan cenderung o-on dan olot, bandel lagi, para guru harus banyak bersabar.”
“Orang tua juga ikut nyalahin guru kalau anaknya gak naik kelas. Padahal pendidikan pertama dan paling utama berawal dari lingkungan rumah. Di rumah gak pernah diajarin, langsung nyerahin ke sekolah untuk dididik. Kita hukum sedikit karena kekurangajaran si murid, orang tua lapor ke polisi.”
Anto, Johan dan Udin terdiam sambil mendengarkan uneg-uneg dari guru SD mereka yang mereka sayangi. Dalam hati mereka turut merasakan kepedihan yang melanda para guru. Menjelang hari guru*) yang akan jatuh sebentar lagi mereka datang ke rumah Pak Ahmad untuk menyampaikan sedikit hadiah sebagai tanda terima kasih atas jasanya dalam mendidik mereka. Itupun karena anjuran guru ngaji mereka, Ustadz Sholihin.
Baru sekarang mereka tahu betapa berat beban yang harus ditanggung oleh para guru berkaitan dengan penghasilan mereka yang sering tidak mampu menutupi kebutuhan hidup sehari-hari serta pengorbanan yang diberikan dalam mendidik mereka. Rasa sesal meliputi hati mereka karena baru sekarang mereka datang setelah sekian tahun lulus dari sekolah dasar sambil membawa hadiah yang tidak seberapa dibanding kerja keras guru mereka dulu.

*****

Para guru menghantarkan anak didiknya untuk menuju masa depan yang cemerlang. Tapi kecemerlangan masa depan itu bukan milik para guru. Kecemerlangan itu milik anak-anak kecil yang dulu dididik dan diajari tentang ilmu pengetahuan, yang sekarang entah di mana kepeduliannya.

*) Di Indonesia Hari Guru Nasional diperingat setiap tanggal 25 November bersama hari ulang tahun PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Hari Guru Nasional bukan hari libur resmi, dan dirayakan dalam bentuk upacara peringatan di sekolah-sekolah dan pemberian tanda jasa bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Hari_Guru)

Pak Kos

Aku sudah tidak mungkin protes lagi. Bagaimanapun aku sudah terlalu banyak merepotkan Mbak Yani, kakakku. Memang, mencari indekos bulanan sangat sulit saat ini. Entah karena apa, para pemilik indekos lebih memilih menawarkan jasa kamarnya untuk tahunan, atau empat bulanan. Kalau pun ada yang bulanan, harganya sangat melangit.

Ya sudah, Mbak! Tak apa, aku nge-kos di sini saja, toh tempatnya tidak terlalu jauh dari kampus. Yang penting harganya murah.

Sebenarnya aku tidak begitu puas dengan kamar itu. Letaknya di sebelah ruang tamu keluarga pemilik indekos, tidak seperti kamar-kamar yang lain, yang berada di belakang rumah. Rasanya kurang bebas jika berada di tengah-tengah keluarga Pak Kos. Masih mending kalau ada kamar mandi dan tempat jemuran sendiri, tetapi tidak, kamar mandi dan tempat jemuran yang bisa kugunakan sama dengan yang digunakan keluarga Pak Kos. Ya sudah, dapat kos-kosan yang sebulan hanya seratus limapuluh ribu saja sudah untung.

“Kamu harus berusaha menjadi bagian dari keluarga Pak Kos, setidaknya berusaha akrab,” kata Mbak Yani sebelum meninggalkan kamar baruku.

Sore itu aku ingin merebahkan tubuhku yang capek karena mengangkut barang-barang dari kontrakan lama dan menatanya di kamar baru. Kunyalakan musik slowrock di komputer. Tiba-tiba aku teringat kampung halaman. Aku menjadi sangat rindu dengan kampungku, rindu dengan keluargaku, Ayah-Ibu di Sumatera, kangen dengan teman-teman di kampung, terutama dengan Anni Sa’diyah, putri Haji Rafles. Sudah hampir dua tahun semenjak aku menerima surat terakhir dari Anni. Surat yang menghancurkan semua harapan dan cintaku. Surat yang benar-benar selalu kutakutkan dan akhirnya menjadi kenyataan. Anni menikah dengan orang lain. Aku ingat, saat itu, ketika aku membaca suratnya, aku menangis dan seharian mengunci diri di kamar, bahkan seminggu tidak masuk kuliah, tidak ingin ke mana-mana, tidak ingin bertemu siapa-siapa. Hanya ingin menangis, menangis saja. Huh! Dasar cengeng!

**

Suara pintu diketok, membuyarkan lamunanku, aku bergerak ke arah pintu, membukanya. Wajah ramah Pak Kos menyembul dari balik pintu.

“Lagi nganggur, Mas?” tanya Pak Kos

“Ya, Pak. Lagi santai.”

“Bisa main catur?”

“Bisa sih, Pak. Sedikit.”

Tidak seperti yang kubayangkan, ternyata tidak sulit untuk akrab dengan keluarga Pak Kos. Sore itu aku menghabiskan waktu dengan main catur, isteri Pak Kos membuatkan kami kopi dan bakwan goreng. Anom, anak lelakinya yang masih SD kelas lima ikut melihat permainan catur kami, sekali-dua kali ikut komentar. Sedang Hanung, anak keduanya yang masih berumur tiga tahun bermain puzzle yang berserakan di lantai.

Kumandang adzan Maghrib terdengar dari kejauhan, disusul sesaat kemudian suara suara adzan dari masjid-masjid sekitar, bersaut-sautan. Lampu ruang tamu sudah menyala. Isteri Pak Kos menyuapi Hanung makan. Anom masuk ke kamarnya, kemudian keluar lagi sudah membawa sarung kotak-kotak berwarna hijau. Sarung itu dilipat memanjang dan dikalungkan di leher.

“Anom ke Masjid dulu, Bu! Salamualaikum…!” pamitnya sambil mencomot bakwan goreng di atas meja, di samping papan catur.

Pak Kos tidak menjawab, dia terlihat serius menatap bidak-bidak catur. Sebenarnya aku ingin segera menyudahi permainan, break dulu untuk Shalat, tapi melihat wajah Pak Kos yang serius begitu, aku jadi tak enak.

Ah, mungkin sebentar lagi Pak Kos dulu yang mengajak break, pikirku dalam hati.

Seperempat jam berlalu, Pak Kos masih serius menatap bidak catur. Aku semakin gelisah, sebentar lagi waktu Maghrib habis. Kutatap isteri Pak Kos yang dari tadi duduk di depan televisi bersama Hanung. Aku berharap isterinya itu yang akan mengingatkan kami untuk Shalat dulu. Tetapi tidak! Sampai setengah jam berlalu dari kumandang adzan tadi. Mungkin Bu Kos sedang berhalangan sehingga lupa mengingatkan kami. Aku semakin gelisah, aku sudah berusaha mengalah, meletakkan bidak-bidak catur pada posisi yang mudah diserang, tetapi memang dasarnya Pak Kos saja yang berpikir lamban.

“Skak mat! Kali ini saya menang lagi, Mas. Bagaimana? Lanjut?” kata Pak Kos dengan bangga sambil menyalakan sebatang rokok yang sudah dari tadi dipegang.

“Istirahat dulu, Pak! Kapan-kapan kita lanjutkan. Saya sudah capek kalah tiga kali.”

“Hahaha… kalah menang sudah biasa. Ini sebatas permainan, yang luar biasa itu belajar bermain dengan cantik, betul kan?” Pak Kos menyodorkan rokok, tapi aku menolak.

***

Sudah tiga minggu aku tinggal bersama keluarga Pak Kos, di tengah-tengah keluarga kecil itu. Semua berjalan baik-baik saja. Mungkin hanya beberapa hal yang cukup menggangguku. Yang tak seberapa adalah tangis Hanung di pagi hari. Hampir setiap pagi, sekitar jam setengah lima, Hanung selalu menangis tak tahu karena apa. Ibunya memang selalu ada untuk menenangkannya, tapi butuh waktu cukup lama. Tak jarang malah Bu Kos sendiri yang kuwalahan sehingga dia sendiri marah-marah dan mengomel. Meski terganggu, diam-diam aku berterimakasih karena ada yang membangunkanku pagi-pagi. Alarm tak pernah ampuh untuk membangunkan. Berbunyi sih berbunyi, tapi aku hanya bangun untuk mematikan alarm. Niatnya tidur sebentar lagi, tapi nyatanya keterusan sampai siang.

Yang paling mengganggu sekaligus membuatku khawatir adalah kebiasaan Pak Kos dan teman-teman Pak Kos. Jika malam, mereka sering mabuk di ruang tamu. Main poker dan berisik sekali. Anehnya, suara berisik mereka tidak mengganggu tidur Hanung, mungkin karena sudah terbiasa. Memang beberapa kali Bu Kos pernah mengingatkan agar mereka jangan terlalau berisik atau pindah ke teras rumah.

Suatu malam, Pak Kos yang mabuk itu mengetok pintu kamarku, sedikit berteriak.

“Mas Malik! Sudah tidur belum?”

Aku memang belum tidur, tapi aku diam saja, berharap Pak Kos mengira aku sudah tidur pulas. Pintu diketok lebih keras. Aku tetap diam. Suara ketokan menjadi semakin keras dan berubah menjadi gedoran, aku segera mematikan komputer dan mengacak-acak rambutku, bertingkah seperti bangun tidur kemudian membuka pintu.

“Ada apa?”

“Bergabung, Mas! Malam ini ada lima botol, kita minum sampai puas, gimana?” Pak Kos memegang pintu dengan sedikit terhuyung.

“Iya, Mas. Sekali-kali mbok gabung, jangan di kamar terus!” sahut lelaki berambut gondrong di ruang tamu. Dadaku berdebar keras, tapi aku berusaha tenang. Menghadapi orang-orang seperti itu bukanlah hal asing bagiku.

“Maaf, Pak! Saya tidak minum, saya terkena penyakit dalam yang sudah akut, tidak boleh minum alkohol.”

“Penyakit yang sudah akut?” tanya Pak Kos menyodorkan mukanya. Aku sedikit menepis karena bau minuman keras.

“Iya, Pak. Bahkan aromanya saja bisa memicu jantung saya berdetak kencang. Jadi saya tidak bisa menemani bapak-bapak sekalian. Maaf, ya!”

Untunglah, meski merepotkan, mereka akhirnya mengerti dan tidak memaksaku bergabung dalam pesta minuman keras itu. Di dalam kamar, aku menghela nafas, lega, meski di hatiku masih tersisa rasa khawatir. Masalah penyakit itu aku berbohong. Yang lebih mengkhawatirkan adalah aku tidak tahu sama sekali penyakit apa yang tidak boleh meminum alkohol. Jantungkah? Liver? Paru-paru? Ah, sudahlah, toh tadi mereka tidak bertanya penyakit apa. Ngomong dengan orang mabuk sih tak perlu ilmiah, asal bisa meyakinkan saja.

Malam berikutnya, Pak Kos mengajakku main catur lagi. Karena hari Sabtu aku tak ada kuliah, aku tidak keberatan. Sampai pagi juga tak apa-apa. Kurang lebih jam duabelas lebih tiga puluh menit, dua orang teman Pak Kos datang dan mengajak Pak Kos pergi.

“Besok kita main lagi, Mas Malik. Saya suka gaya permainan Mas Malik.” Kemudian Pak Kos pergi bersama kedua temannya. Aku kembali ke kamar dan langsung tidur.

Paginya, seperti biasa aku bangun karena suara tangis, tapi bukan tangis Hanung, melainkan suara tangis ibunya, meraung-raung. Aku segera keluar dari kamar dan melihat Bu Kos sedang maratapi sesosok tubuh yang berlumur darah, tergeletak di ruang tamu. Ya, Allah! Itu tubuh Pak Kos! Aku berteriak minta tolong dan sesaat kemudian orang-orang berdatangan….

Cerita Mata Pada Hati

mata ini bercerita pada hati
tentang hidup seorang janda miskin
yang selalu masuk keluar lorong
menelusuri gang-gang sempit
mengetuk pintu demi pintu
di setiap pagi hingga petang
jajakan sagu di atas dulang

melangkah tiada beralas kaki
di atas beribu kerikil yang menghampar
di sepanjang jalan hidupnya

kadang pulang membawa berkah
kadang juga menenteng hampa
tapi tak pernah ada kecewa
memancar dari wajahnya

mata ini juga bercerita pada hati
tentang nasib anak-anaknya
yang menanti tak pasti datangnya sesuap nasi
bersama petang yang menuntun pulang ibunya

mata ini kemudiann bertanya pada hati
Adakah yang bisa berbagi?

Maaf untuk Diandra

Diandra, aku sengaja datang hari ini untuk menemuimu. Tapi kenapa kamu tak ada? Kamu ada di mana, Diandra? Lalu aku melongok ke kamarmu. Hm, kamar kita, tempat di mana kita selalu habiskan malam berdua, bercerita tentang indahnya hari, bercinta demi hadirnya sang buah hati. Tapi tetap tak kulihat kau di sana. Tak ada kau di pembaringan yang selalu menyambutku dengan senyum mesra dan tatapan hangat. Kamar itu kosong, bahkan selembar kain spreipun tak terlihat menempel di singgasana cinta kita itu. Kuhela nafasku panjang, merasakan perihnya dadaku.

Diandra, aku kembali ke sini, hanya ingin utarakan sepotong maaf yang nyatanya selalu kelu berhenti di ujung lidahku. Tapi sepertinya kini telah terlambat, kau telah pergi meninggalkan aku. Dan airmataku pun menetes di antara penyesalanku.

Lalu aku pun melangkah ke luar dari rumah, dan aku melihatmu Diandra. Tapi kamu tak sendiri. Seorang pria menemanimu. Siapa dia, Diandra? Begitu marahkah kamu sehingga kamu meninggalkan aku dengan cara begini? Yah, kuakui aku memang keterlaluan! Tak pernah mau mendengarkan nasehatmu untuk berhenti meracuni diriku dengan kekasih lamaku, lintingan ganja, yang dulu pernah kujanjikan padamu untuk berhenti kuhisap. Parahnya aku bahkan rela pergi menjauh darimu karenanya. Tapi setidaknya aku kini kembali, dan berharap kamu memberi aku kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki semuanya. Aku menyesal dan sungguh ingin berubah, Diandra! Tapi masih adakah aku di hatimu, masih adakah ruangnya yang lega untuk memaafkan aku? Karena jujur aku akui, bahwa ternyata aku lebih tak bisa hidup tanpamu dibanding tanpanya.

Dan apa yang terjadi ketika aku mendatangimu, Diandra?

Kudengar kamu berkata pada pria itu, “Rumah ini saya jual, karena saya tak ingin terus hanyut dalam kesedihan setelah suami saya tiada, kira-kira berapa tawaran anda?”

Ternyata maaf itu hanya akan berada di ujung lidahku saja. Selamanya.

Sapaan Lembut Dari-Nya

“Pagi Monaa!”

“KYAAA!”

GUBRAKK!! JDUKK!!

“Aww!” pekik Mona seraya mengelus-elus belakang kepalanya yang terbentur tepi ranjang. Tangan kirinya meraih tiang dipan untuk berpegangan, dan bangkit. Ia mengambil handphone yang bergetar seru di ranjang, kemudian mematikan alarmnya. Sambil meringis, ia keluar kamar. Ringisannya seketika berubah menjadi teriakan nyaring saat ia melihat jarum jam di dinding ruang makan sudah menunjukkan pukul setengah tujuh tepat.

Barisan teman-temannya yang berkostum olahraga menyambut Mona di pinggir lapangan upacara. Ia melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul setengah delapan. Sambil meringis untuk kedua kalinya, ia melesat ke ruang ganti sambil berusaha menghindari tatapan guru olahraganya.

Akhirnya pelajaran hari itu berakhir. Dering bel disambut desahan lega seluruh murid, walaupun bunyinya sangat memekakkan telinga. Mona mengemasi buku-bukunya ke dalam tas, dan bergegas keluar. Di saat itulah Ririn, teman sekelasnya memanggilnya.

“Ada apa?” tanya Mona tak sabar. Ririn mengangsurkan beberapa helai dokumen ke tangan Mona.

“Kuharap bermanfaat. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.” Mona mengamati sekilas lembaran kertas itu, kemudian tersenyum simpul. Ia pun segera melangkahkan kakinya keluar kelas.



“Pagi Monaa.”

“Pagi.” Mona mematikan alarm suara dari handphone-nya. Kali ini ia sudah memastikannya berbunyi lebih pagi.

Pukul setengah tujuh, ia sampai di ruang kelasnya. Di depan pintu ia disambut oleh Fika yang tersenyum ramah.

“Madingmu bagus lho. Aku suka gambarnya,” ujar Fika setelah Mona meletakkan ranselnya dan duduk. Mona tersenyum.

“Hari ini aku sudah membawa artikel yang baru, nanti tinggal ditempel. Kamu temani aku, ya?”

Fika mengangguk semangat.

“Eh, ngomong-ngomong aku boleh melihat artikelnya tidak?” Mona mengangguk, lalu mengulurkan beberapa lembar kertas yang dimaksud.

Beberapa saat kemudian, Fika berkata,

“Isinya bagus. Aku suka ini.” Mona melihat judul artikel yang dipegang Fika.

‘Dingin, menghangatkan. Tahajjudlah hai kawan..’

“Aku juga suka,” balas Mona.

“Kamu suka?” Fika menatapnya penuh arti. Mona bingung.

“Suka. Artikelnya. Apanya sih?”

“Tahajjud. Kamu suka melakukannya?”

“Oh itu, belum.” Mona tertunduk malu. Fika tersenyum.

“Nanti malam kita tahajjud yuuk, aku akan kirim SMS supaya kamu bisa bangun pagi.”

“Eh, aku sedang tidak sholat. Kapan-kapan saja ya.” Fika mendesah kecewa, tapi kemudian mengangguk pelan. Dalam hati, rasa tidak senang Mona muncul. Ia tak suka hal pribadinya diungkit-ungkit.

Seminggu berlalu. Kertas-kertas bertebaran di meja belajar Mona. Semua kewajibannya untuk mengganti mading akan terselesaikan besok pagi. Ia memberesi sisa-sisa guntingan, lalu beranjak ke tempat sampah. Saat itu matanya menangkap sebuah artikel yang terselip di antara tumpukan kertas mading edisi lalu. Judul yang itu. Mona merasa ada sesuatu yang belum dikerjakannya, tapi ia ingin mengabaikannya. Toh itu sunnah. Ia pun memasukkan edisi yang baru ke dalam boks plastik, siap untuk dibawa besok pagi, dan meletakkan edisi yang lama di dalam almari, terkubur bersama puluhan arsip-arsip lain yang terlupakan.

“Mbak Monaa.” Mona menoleh ke belakang. Ia sedang sibuk menyusun artikel di mading ketika dilihatnya Anti, adik kelasnya mendekat. Gadis itu tersenyum dan mengulurkan tangannya.

“Assalamu’alaikum,Mbak. Mau nanya boleh tidak?” tanyanya polos.

“Wa’alaikumsalam. Ya bolehlah. Ada apa?”

“Begini Mbak, boleh tidak sih kalau kita sholat tahajjud karena ingin keinginan kita terkabul? Dan, Anti dengar kalau tahajjud itu bisa membuat wajah kita bercahaya ya, Kak, lalu orang tertentu bisa membedakan wajah orang yang selalu tahajjud dengan yang tidak pernah.”

Mona terdiam.

“Dan satu lagi. Boleh tidak Anti sholat tahajjud karena takut kalau ibadah Anti belum sempurna? Anti takut kalau itu membuat Anti tahajjud bukan karena Allah.”

Dan Mona pun merasa seperti dihempas ke jurang ketika mendengarkan pertanyaan lugu gadis kecil itu.

“Mbak, Mbak Mona, kenapa?”

Mona tertunduk. Satu per satu air matanya menetes. Kemudian tanpa bisa ditahan, air matanya semakin membanjir deras. Mona berlari ke kamar mandi mushola saat itu juga, meninggalkan Anti yang berdiri terpaku di depan kotak mading. Ia menumpahkan segala sesalnya di sana.



Assalamu’alaikum..

Dear Anti, adikku sayang..

Maafin Mbak yang tadi menangis dan meninggalkanmu tanpa sebab. Sebenarnya Mbak tadi hanya merasa khilaf.

Sekarang, Mbak ingin berterima kasih. Kalau bukan karena pertanyaan Anti tadi, mungkin sampai sekarang Mbak belum sadar bahwa selama ini apa yang Mbak lakukan adalah salah. Selama ini Mbak terlalu meremehkan ibadah sunnah, terutama sholat malam. Mbak begitu menyesal telah merasa sempurna, padahal Mbak tahu masih banyak kekurangan dalam beribadah.

Untuk pertanyaan Anti tadi, jawabannya adalah tidak apa-apa. Malah, Mbak bangga kalau Anti rela melakukan sholat tahajjud Itu artinya Anti telah berusaha semaksimal mungkin, dan Mbak harap, setelah keinginan Anti tercapai, ibadah tersebut tetap berlangsung. Doakan Mbak ya Anti, mulai malam ini Insya Allah Mbak ingin meluruskan pemahaman Mbak. Mbak ingin lebih giat berikhtiar. Mbak doakan, semoga cita-cita Anti terkabul. Amin.

Wassalamu’alaikum warahmatullah.

Peace and love from Mona

Mona menekan tombol enter, dan surat elektronik itu pun terkirim. Ia bangkit dari kursinya, dan meraih ponsel yang tergeletak di ranjang. Ia memperbarui alarmnya sehingga akan berbunyi jam tiga pagi. Malam itu, waktu masih menunjukkan pukul delapan. Bukan jam yang biasa baginya untuk beristirahat, namun detik itu ia telah memutuskan untuk melakukan sesuatu yang luar biasa nanti malam. Ia pun meletakkan ponselnya, dan beranjak ke kamar mandi. Setelah berwudhu dan sholat Isya’, ia merebahkan tubuhnya ke kasur, menarik selimutnya hingga ke dada, dan memejamkan mata. Dalam hati, ia berdoa kepada Tuhannya agar dibangunkan oleh malaikat esok dini hari. Dan ia pun menekan saklar lampunya padam.

Akhir Sebuah Penantian

”Wi…Dewi…ayo bangun! Hari sudah siang, nanti kamu terlambat ke sekolah,” teriak ibu Dewi.

“Iya Bu, tunggu sebentar,” jawab Dewi sambil lari terbirit-birit ke kamar mandi karena sebentar lagi Putri sahabatnya akan datang menjemput. Pagi itu Dewi mendapat omelan yang tak putus-putus dari ibunya karena terlambat bangun sampai-sampai tidak sempat membantu ibunya membersihkan rumah. Tapi Dewi tidak pernah memperhatikan omelan ibunya karena ia sudah terbiasa mendengar omelan ibunya sebelum ia berangkat ke sekolah. Tak lama kemudian, suara klakson motor Putri terdengar dari luar pagar pertanda kalau Putri sudah datang. Putri dan Dewi adalah sahabat. Meskipun baru kenal saat masuk SMA, tapi mereka sudah seperti saudara.

Seperti biasa, mereka berdua yang saat ini duduk dikelas 1 SMA mengikuti pelajaran mereka. Di dalam kelas, Dewi lebih akrab dengan teman cowok daripada teman cewek. Memang sih, Dewi agak sedikit tomboy dari pada cewek lain karena ia memang tidak pernah diajarkan untuk menjadi anak yang manja dalam keluarganya. Dia satu-satunya anak perempuan di antara lima saudaranya.

Suatu hari, sepupunya datang kerumah. Dan pada hari itulah kisah cintanya bermula. Salah satu teman sepupunya yang bernama Rudi jatuh cinta pada pandangan pertama (kayak lagu aja). Rudi pun mulai melakukan PDKT mulai dari SMS, perhatian, telpon, dan lain-lain. Mereka berdua merasa nyaman dengan keberadaan mereka masing-masing.

Suatu hari yang tak pernah Dewi sangka, Rudi mengungkapkan perasaannya pada Dewi. Dewi bingung harus menjawab apa dan ia pun meminta waktu satu minggu untuk memikirkan jawaban atas cinta Rudi. Dewi merasa bingung karena ia tidak pernah percaya dengan cinta dan kesetiaan. Ia menganggap semua cowok itu playboy yang hanya suka mempermainkan perasaan cewek. Meskipun ia belum pernah sekalipun pacaran, tapi ia sudah tahu bagaiman kriteria cowok. Tapi bila berada di dekat Rudi, ia merasa nyaman. Ia tidak tahu mengapa dan ini membuatnya bingung. Apakah dia harus mengikuti kata hatinya untuk tidak percaya pada cinta atau mencoba membuka hatinya untuk Rudi. Tapi ia berusaha untuk tidak memikirkannya dulu karena besok adalah hari pertama ujian semester kedua yang menentukan Dewi naik kelas atau tidak.

Tak terasa semester sudah berlalu, tapi Dewi belum lega karena dia harus memberikan jawaban kepada Rudi. Ia mencoba bertanya kepada tantenya dan juga sepupunya tapi Dewi masih belum yakin akan cinta Rudi. Hingga saatnya tiba, mereka bicara berdua. Dan untuk pertama kalinya ia bicara berdua dengan seorang pria. Selama ini, orang tuanya selalu melarangnya terlalu dekat dengan cowok walaupun itu sepupunya sendiri. Dan hal yang membuat Rudi kecewa, ternyata Dewi menolak cintanya dengan alasan orangtua yang melarangnya pacaran. Tapi Rudi tetap berusaha meyakinkan Dewi, namun Dewi tak bisa merubah keputusannya. Malam itu Rudi sangat kecewa.

Tapi Rudi tidak mau menyerah begitu saja. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia menemukan seorang cewek yang ia inginkan. Cewek yang seperti Dewi. Meskipun namanya Dewi tapi sifatnya tomboy, selalu menjaga kepercayaan orang tua, dan yang jelas menurutnya Dewi adalah cewek yang selama ini dia cari.

Akhirnya Rudi memilih untuk menunggu Dewi sampai Dewi mau menerima cintanya. Entah sampai kapan itu akan berlangsung tapi Rudi tak pernah menyerah. Padahal Rudi tak tahu kalau Dewi hanya memanikan perasaannya saja untuk membalas dendam pada makhluk yang namanya cowok.

Setelah lama selalu bersama dengan Rudi, Dewi pun merasa aneh. Ia selalu merasanya nyaman, kadang merasa rindu, kadang merasa sepi jika Rudi tidak menghubunginya. Ia kadang bertanya apakah ini yang dinamakan cinta??? Satu hal yang membuat Dewi merasa nyaman karena Rudi tak seperti cowok yang lain. Menurutnya Rudi bukan tipe cowok yang membosankan alias cuek tapi butuh. Dia tahu kalau Rudi sayang padanya tapi Rudi tak mau terlalu memanjakannya hingga tidak membuat Dewi merasa bosan. Rudi juga bukan tipe cowok yang romantis karena Dewi sangat benci dengan cowok romantis. Setiap ditelefon mereka tak pernah cerita serius dan Rudi selalu membuat Dewi tertawa gembira. Kalau nggak curhat mereka saling mengejek satu sama lain.

Setiap pagi, Dewi dan Rudi selalu pergi jalan-jalan bersama dan yang pastinya Putri dan sepupunya Dewi juga ikut karena Dewi nggak mau berdua-duaan dengan Rudi. Mereka selalu pergi ke pantai melihat sunrise. Saat itu Dewi sangat senang sekali. Itu adalah saat yang tak terlupakan oleh mereka berdua. Saat melihat sunrise Rudi menanyakan bagaimana sebenarnya perasaan Dewi pada Rudi. Dan akhirnya tanpa Dewi sadari, ia telah jatuh cinta pada Rudi. Kejujuran itu membuat Rudi sangat senang dan menambah semangatnya untuk menunggu sang pujaan hatinya dan yang pastinya cinta Rudi semakin besar pada Dewi.

Hari-hari mereka lewati dengan canda tawa meskipun kadang-kadang Dewi marah pada Rudi, tapi itu semua hanya sekejap saja. Dewi kini mulai mencoba percaya pada cinta dan kesetiaan. Hingga di suatu malam, Dewi menelpon Rudi. Tanpa ia sangka ternyata saat itu Rudi sedang mabuk untuk yang pertama kalinya. Dewi sangat kaget tapi juga senang karena Dewi tahu bahwa segala sesuatu yang dikatakan oleh seseorang yang sedang mabuk adalah sesuatu yang benar yang tersimpan sejak lama. Selama Rudi mabuk, ia hanya mengatakan sesuatu yang membuat Dewi merasa bersalah. Rudi terus bertanya mengapa Dewi tidak menerima cintanya, padahal Rudi sangat mencintainya. Dewi sangat senang mendengar hal itu tapi juga membuatnya merasa bersalah. Karena dirinya Rudi menjadi mabuk.

Keesokan harinya, Dewi kembali menelpon Rudi. Ia menanyakan apakah semalam Rudi mabuk atau tidak, dan ternyata Rudi tidak ingat apa yang terjadi pada dirinya semalam. Dewi hanya tertawa kecil mendengar Rudi yang kebingungan.

Tanpa terasa kedekatan mereka sudah berjalan beberapa bulan dan sekarang Dewi sudah duduk dikelas 2 SMA. Meskipun tanpa status tapi mereka tetap merasa nyaman. Yah bisa dibilang mereka berdua HTS. Setiap hari mereka lalui dengan cerita bahagia, cerita sedih, dan lain sebagainya. Ada satu hal yang membuat Dewi menyukai Rudi yaitu karena Rudi sangat pandai membuat puisi. Setiap saat, Rudi selalu membuatkan puisi yang indah untuk Dewi. Meskipun Dewi adalah tipe cewek yang tomboy, tapi dia sangat suka dengan puisi dan kata-kata mutiara.

Kemudian pada suatu malam, Rudi menelfon Dewi. Rudi mengatakan sesuatu hal yang membuat Dewi merasa terpukul. Suatu kejujuran dari Rudi yang sangat menyakitkan bagi Dewi. Rudi mengatakan bahwa saat ia mengungkapkan perasaannya pada Dewi, saat itu Rudi memiliki pacar. Namun Rudi mengatakan jika saat itu Dewi mau menerimanya maka ia akan memutuskan pacarnya itu.

Rudi pun mulai bercerita yang sejujurnya pada Dewi. Ternyata selama ini Rudi sudah pernah pacaran. Kata Rudi saat cintanya diterima memberikan kepuasan tersendiri. Terpikir dibenak Dewi bahwa kata hatinya yang mengatakan bahwa cowok itu playboy ternyata benar. Tapi Rudi berusaha untuk tidak kehilangan Dewi. Dia merasa bahwa Dewi beda dari cewek yang lain dan rasa cintanya pada Dewi itu tulus dari hati yang terdalam dan dia tidak mau kehilangan Dewi. Tapi Dewi terlanjur kecewa akan kejujuran Rudi.

Andai saja Rudi jujur sejak awal mungkin Dewi akan mengerti, tapi mengapa setelah hampir setengah tahun kedekatan mereka, baru saat itu Rudi jujur padanya. Dewi betul-betul kecewa pada Rudi. Mengapa di saat Dewi mulai mempercayai cinta dan kesetiaan, saat itu juga kejujuran Rudi membuyarkan kepercayaan itu. Dewi sangat bersyukur tidak menerima cinta Rudi dulu sehingga hatinya takkan terluka. Tapi meski begitu, tetap saja Dewi merasa sakit yang begitu dalam karena dia telah jatuh cinta pada Rudi. Orang yang selama ini telah membohonginya, orang yang selama ini telah memberikan arti dalam hidupnya, orang yang selama ini mengisi hari-harinya dengan canda dan kegembiraan.

Keesokan harinya, ia menelpon sepupunya dan mengungkapkan rasa kecewanya itu pada sepupunya. Dewi sangat marah pada sepupunya yang tak pernah memberi tahunya tentang hal tersebut. Tapi sepupunya mencoba meyakinkan Dewi kalau Rudi benar-benar sayang padanya. Sepupunya berkata bahwa Dewi harusnya bersyukur mendapatkan orang sebaik Rudi. Sangat jarang ada cowok yang ingin jujur pada orang yang dia sayang tentang segala perbuatan buruknya dimasa lalu.

Seminggu kemudian, Rudi meminta ijin untuk pergi ke Makassar selama enam bulan karena sudah kewajiban di sekolahnya bagi jurusannya yang sekarang menduduki kelas 3 SMA harus melaksanakan kegiatan penelitian ke Makassar. Dewi pun memberi ijin. Buatnya, Rudi sekarang tak lebih dari sekedar sahabatnya. Walaupun sekarang Rudi jauh, namun tak membuat Rudi menyerah untuk mendapatkan hati Dewi. Segala cara ia lakukan untuk mengembalikan kepercayaan Dewi yang telah hilang. Memang sulit mengembalikan kepercayaan seseorang apalagi ini bukan yang pertama kalinya Rudi berbohong pada Dewi namun hal ini adalah kebohongan terbesar bagi Dewi. Tapi Rudi tak mau menyerah begitu saja setelah ia tahu kalau Dewi juga pernah memiliki rasa cinta untuk dirinya.

Satu bulan berlalu tanpa Rudi. Akhirnya Dewi sadar bahwa kejujuran Rudi itu tidak salah. Dia mulai berpikir bahwa Rudi adalah orang yang pantas untuknya karena jarang ia menemukan seorang cowok yang mau jujur padanya seperti apa yang dikatakan sepupunya. Ia baru sadar bahwa ternyata ia masih sayang pada Rudi. Ia juga tak mau kehilangan orang yang telah memberi arti baru dalam hidupnya. Akhirnya Dewi memutuskan untuk memberikan kesempatan sekali lagi untuk Rudi. Kesempatan ini pun digunakan Rudi untuk memperbaiki semua kesalahannya dan berjanji tidak akan berbohong lagi. Setelah dua bulan lebih Rudi pergi, mereka berdua lose contact sebab handphone Rudi rusak.

Setelah lama tak ada kabar dari Rudi, Dewi merasa sangat rindu pada Rudi. Ia pun melepaskan rasa sepinya bersama ketiga sahabatnya. Di sekolah, Dewi mempunyai tiga sahabat cowok yang sangat baik. Semua masalah yang ia alami dengan Rudi selalu ia ceritakan pada mereka bertiga. Mereka adalah Andi, Arya, dan Aldi.

Suatu hari tiba-tiba saja Andi mengungkapkan perasaannya pada Dewi. Memang sebelumnya Dewi sudah merasa bahwa Andi suka padanya. Namun Dewi tidak menyangka kalau Andi akan mengungkapkan perasaannya padanya sebab setahunya Andi sudah memiliki pacar yang tak lain adalah temannya sendiri meski mereka berbeda kelas. Selama ini Dewi hanya menganggap Andi sebagai sahabat terbaiknya sebab sudah satu tahun mereka selalu bersama sejak mereka menduduki bangku SMA hingga sekarang. Dan juga satu hal yang membuat Dewi tak bisa menerima cinta Andi sebab Dewi hanya mencintai Rudi. Tapi Andi tetap saja tak mau menyerah meski Dewi telah menyuruhnya untuk melupakan perasaannya itu karena dia telah memiliki pujaan hati. Akhirnya Andi bisa mengerti namun tetap saja Andi tak mau membunuh perasaannya yang sejak lama ia simpan untuk Dewi. Tak lama kemudian Andi dan pacarnya putus. Entah apa yang terjadi di antara mereka namun sepertinya bukan karena adanya pihak ketiga di antara mereka.

Kini Andi dan Dewi hanya sebatas sahabat, namun Andi berharap lebih dari itu. Dewi pun merasa nyaman bila bersama Andi karena Andi sangat mirip dengan Rudi. Seminggu setelah Andi mengungkapkan perasaannya, ternyata Arya yang juga sahabat Dewi mengungkapkan perasaannya kepada Dewi. Tapi Dewi tidak bisa menerimanya karena alasan yang sama. Ketiga sahabat Dewi sangat melindungi dan menyayangi Dewi.

Hari-hari mereka lalui bersama. Namun sudah beberapa bulan Rudi tidak memberi kabar pada Dewi. Dewi merasa semakin kesepian. Untuk menghilangkan rasa sepinya, ia terus berada di dekat ketiga sahabatnya karena hanya mereka bertiga yang dapat membuat Dewi senang dan karena ia menganggap Andi itu adalah Rudi karena kemiripan sifat mereka. Tanpa Dewi sadari ia menyukai Andi. Dan pada saat yang bersamaan pula Rudi kembali menghiasi hari-harinya seperti dulu. Dewi tidak tahu harus berbuat apa. Dia sangat mencintai Rudi tapi juga menyukai Andi.

Dewi selalu menceritakan tentang sahabat-sahabatnya pada Rudi. Dan Rudi tahu kalau Andi dan Arya pernah mengungkapkan perasaannya pada Dewi. Saat ini Dewi sangat kebingungan. Dia mencintai Rudi tapi dia juga merasa nyaman bila berada di dekat Andi.

Tak lama kemudian Rudi pun kembali dan Dewi sangat senang. Kekuatan cinta mereka berdua kini semakin besar. Setelah satu tahun kedekatan mereka, sudah begitu banyak cerita cinta yang mereka lalui bersama. Dan kini Dewi hanya menganggap Andi sebagai sahabatnya karena ia sadar bahwa rasa cintanya pada Andi hanya karena melihat bayangan Rudi dalam diri Andi meski sebenarnya Andi tetap menyimpan perasaan pada dirinya.

Setelah semester pertama berlalu, sahabat dari mantan pacarnya Andi yang juga sahabat Dewi memberitahukan sesuatu hal pada Dewi. Ia bernama Indah. Indah mengatakan bahwa mantan pacarnya Andi yang bernama Luna sebenarnya masih menyukai Andi dan masih berharap Andi kembali ke pelukannya lagi.

Dewipun bertanya mengapa saat itu Luna memutuskan hubungannya dengan Andi. Indah pun mulai menceritakan semuanya pada Dewi. Kata Indah, Luna memutuskan hubungannya dengan Andi karena Luna tahu kalau sebenarnya Andi tidak memberikan seluruh cintanya pada Luna melainkan pada Dewi. Saat Luna tahu bahwa Andi hanya menyukai Dewi, ia sempat kesal. Ia merasa apa sih kelebihan Dewi bila dibandingkan dengan dirinya dan sempat merasa cemburu pada Dewi. Namun Indah memberi penjelasan yang membuat Luna mengerti mengapa Andi lebih menyukai Dewi. Pada saat itu juga Luna memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Andi. Meskipun Luna masih sangat mencintai Andi hingga kini dan Luna berharap suatu saat nanti Andi dapat mencintainya setulus hati. Luna menganggap kalau Andi itu beda dari cowok lain yang sering ia permainkan. Untuk pertama kalinya Luna mencintai seorang cowok dengan setulus hati.

Setelah mendengar cerita dari Indah, Dewi merasa sangat bersalah pada Luna. Pada akhirnya ia memutuskan untuk menceritakan hal tersebut pada Andi, namun Andi tetap tak bisa melupakan cintanya pada Dewi. Dewipun berusaha memberikan pengertian pada Andi. Dia mengatakan bahwa terkadang kita tidak sadar bahwa orang yang mencintai kita adalah orang selama ini selalu menemani kita dan saat orang itu pergi, barulah kita sadar bahwa dia adalah cinta sejati kita. Dewi menyuruh Andi untuk tidak terlalu banyak berharap padanya sebab ia telah memiliki pujaan hatinya sendiri.

Andi mulai memikirkan kata-kata Dewi. Tidak seharusnya dia mencampakkan Luna yang sangat mencintainya dan mengharapkan Dewi yang jelas ia tahu bahwa Dewi telah memiliki pujaan hati yang lain. Andipun berusaha untuk melupakan perasaannya pada Dewi dan berusaha membuka hatinya untuk Luna. Ia berpikir kalau cinta tak selamanya harus memiliki.

Kini Dewi merasa lega karna Andi bisa menerima Luna kembali ke pelukannya. Akhirnya semua kembali seperti semula. Dewi kini sudah berstatus pacaran dengan Rudi, Andi kemudian kembali kepada Luna dan hal itu membuat Luna sangat senang karena Tuhan mau mendengar doanya, Arya dan Aldi juga kini telah memiliki belahan jiwa yang baru.