Media Untuk Pembelajaran Anda

Media Referensi dan Pembelajaran yang disajikan secara menarik dan mempunyai keilmuan yang tidak di ragukan lagi keberadaanya - Junaidi Pandanwangi Soko - Tuban - Jawa Timur 085257958985.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Media Sarana Pembelajaran

Media Referensi dan Pembelajaran yang disajikan secara menarik dan mempunyai keilmuan yang tidak di ragukan lagi keberadaanya - Junaidi Pandanwangi Soko - Tuban - Jawa Timur 085257958985.

Minggu, 31 Januari 2010

PARA PENIKMAT GRATISAN







yah beginilah contoh contoh orang yang cuman mencari gratisan ngemper ngeper di pingir jalan. ketikas saya bertanya pada salah satu narasumber dilapangan dia menggatakan bahwa sannya dari pada ada gratisan kan mending dimanfaatkan tow..... gitu kata salah seorang yang memanfaatkan garatisan tersebu salah satunya saya juga xixixixixi sering banget kesana hanya untuk mencari gratisan yang disediakan oleh pemerintah kabupaten bojonegoro, yah kata narasumber lagi di lapangan sambil TP TP katannya dari pada dirumah kagak bisa sambil cucik cucik mata (kalo matanya kotor di cucik noh pakek rinso biyar bersih, cuci mata kok di alon alon?????)

Sabtu, 30 Januari 2010

Cinta itu Seni


Cinta itu Seni

Seperti pelukis memadukan ide dan gerakan tangan meracik warna sehingga tercipta sebuah karya lukisan yang penuh cita rasa yang lahir dari hati yang paling dalam. Begitu pula cinta, Jika cinta itu adalah warna kuas dan kanvas… maka dua insan berbeda inilah pelukisanya yang akan melukis disebidang kanvas putih. Haruslah jelas lukisan apa yang kan dibuat sehingga bisa saling memberi warna yang membangkitkan rasa bahagia.

Ketika di tengah perjalanan kita bingung harus memberi warna apa, cobalah istirahat sejenak dan bertanya warna apa yang saya inginkan, apakah merah, pink,hijau atau hitam. Sebuah karya yang bagus lahir dari perpaduan warna yang harmonis, jika masing masing warna itu ingin berlomba menunjukan diri maka hasil lukisannya tidak seindah yang diinginkan.

Cinta adalah keselarasan hati yang tercipta dari perbedaan dengan rasa saling melengkapi yang menciptakan harmony jiwa.

Rahasia Wanita


Wanita adalah mahluk ciptaan tuhan yang tahan banting, kesabarannya jauh di atas lelaki. Dia akan menjadi setia jika dia merasa nyaman dan ada yang melindungi dia. Karena kelemahannya adalah dia perlu tempat bersandar jika lelah dan berteduh jika kehujanan atau kepanasan yang menyayanginya lahir dan bathin. Lelaki yang bisa memberikan nasehat, perhatian seperti pohon yang berdiri kokoh dengan daun yang rindang tanpa lelah memberikan keteduhan bagi yang bersandar dan berteduh dibawahnya, maka dia akan selalu memenangkan hati wanita. Wanita akan tidak nyaman dengan lelaki yang tidak punya pendirian apalagi sering memarahi wanita. Ibaratnya perahu dengan penumpang dan nahkodanya. Jika penumpangnya adalah wanita maka nahkoda adalah lelaki itu sendiri, penumpang akan nyaman jika dia tahu nahkodanya akan membawa dia kemana, saat badai menerpa ditengah laut kehidupan disitu penumpang ini butuh keyakinan dari nahkodanya jika dia akan baik-baik saja. Tanpa harus berkata tetapi dengan langkah-langkah pasti dari penyelamatan yang dia rencanakan dan lakukan maka penumpang ini akan percaya kalau dia ada di perahu yang tepat. Wanita suka pujian dan juga mengargai koreksi jika disampaikan dengan penuh kasih sayang.

Jumat, 29 Januari 2010

Hakekat Belajar


Sebelum membahas masalah prinsip belajar dan pembelajaran sangatlah perlu dipahami terlebih dahulu konsep belajar. Apakah belajar itu ?. Menurut Gagne (1984: ) belajar didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman. Galloway dalam Toeti Soekamto (1992: 27) mengatakan belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan faktor-faktor lain berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Sedangkan Morgan menyebutkan bahwa suatu kegiatan dikatakan belajar apabila memiliki tiga ciri-ciri sebagai berikut.

* belajar adalah perubahan tingkahlaku;
* perubahan terjadi karena latihan dan pengalaman, bukan karena pertumbuhan;
* perubahan tersebut harus bersifat permanen dan tetap ada untuk waktu yang cukup lama

Berbicara tentang belajar pada dasarnya berbicara tentang bagaimana tingkahlaku seseorang berubah sebagai akibat pengalaman (Snelbeker 1974 dalam Toeti 1992:10) Dari pengertian di atas dapat dibuat kesimpulan bahwa agar terjadi proses belajar atau terjadinya perubahan tingkahlaku sebelum kegiatan belajar mengajar dikelas seorang guru perlu menyiapkan atau merencanakan berbagai pengalaman belajar yang akan diberikan pada siswa dan pengalaman belajar tersebut harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.Proses belajar itu terjadi secara internal dan bersifat pribadi dalam diri siswa,agar proses belajar tersebut mengarah pada tercapainya tujuan dalam kurikulum maka guru harus merencanakan dengan seksama dan sistematis berbagai pengalaman belajar yang memungkinkan perubahan tingkahlaku siswa sesuai dengan apa yang diharapkan. Aktifitas guru untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan proses belajar siswa berlangsung optimal disebut dengan kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain pembelajaran adalah proses membuat orang belajar. Guru bertugas membantu orang belajar dengan caramemanipulasi lingkungan sehingga siswa dapat belajar dengan mudah, artinyaguru harus mengadakan pemilihan terhadap berbagai starategi pembelajaranyang ada, yang paling memungkinkan proses belajar siswa berlangsung optimal. Dalam pembelajaran proses belajar tersebut terjadi secara bertujuan ( Arief Sukadi 1984:8) dan terkontrol. Tujuan -tujuan pembelajaran telah dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku. Peran guru disini adalah sebagai pengelola proses belajar mengajar tersebut

Dalam sistem pendidikan kita (UU. No. 2 Tahun 1989), seorang guru tidak saja dituntut sebagai pengajar yang bertugas menyampaikan materi pelajaran tertentu tetapi juga harus dapat berperan sebagai pendidik. Davies mengatakan untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik seorang guru perlu memiliki pengetahuan dan pemahaman berbagai prinsip-prinsip belajar, khususnyai prinsip berikut :

* Apapun yang dipelajari siswa , maka siswalah yang harus belajar, bukan orang lain. Untuk itu siswalah yang harus bertindak aktif;
* Setiap mahasiswa akan belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya;
* Seorang siswa akan belajar lebih baik apabila mempengoreh penguatan langsung pada setiap langkah yang dilakukan selama proses belajarnya terjadi;
* Penguasaan yang sempurna dari setiap langkah yang dilakukan mahasiswa akan membuat proses belajar lebih berarti; dan
* Seorang siswa akan lebih meningkat lagi motivasinya untuk belajar apabula ia diberi tangungjawab serta kepercayaan penuh atas belajarnya (Davies 1971).

Belajar, Mengajar dan Pembelajaran

Istilah pembelajaran berhubungan erat dengan pengertian belajar dan mengajar. Belajar, mengajar dan pembelajaran terjadi bersama-sama. Belajar dapat terjadi tanpa guru atau tanpa kegiatan mengajar dan pembelajaran formal lain. Sedangkan mengajar meliputi segala hal yang guru lakukan di dalam kelas Duffy dan Roehler (1989) mengatakan apa yang dilakukan guru agar proses belajar mengajar berjalan lancar, bermoral dan membuat siswa merasa nyaman merupakan bagian dari aktivitas mengajar, juga secara khusus mencoba dan berusaha untuk mengimplementasikan kurikulum dalam kelas. Sementara itu pembelajaran adalah suatu usaha yang sengaja melibatkan dan menggunakan pengetahuan profesional yang dimiliki guru untuk mencapai tujuan kurikulum. Jadi pembelajaran adalah suatu aktivitas yang dengan sengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk tercapainya suatu tujuan yaitu tercapainya tujuan kurikulum. Dalam buku pedoman melaksanakan kurikulum SD,SLTP dan SMU (1994) istilah belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan sikap dan tingkah laku setelah terjadinya interaksi dengan sumber belajar. Sumber belajar tersebut dapat berupa buku, lingkungan, guru dll. Selama ini Gredler (1986) menegaskan bahwa proses perubahan sikap dan tingkahlaku itu pada dasarnya berlangsung pada suatu lingkungan buatan (eksperimental) dan sangat sedikit sekali bergantung pada situasi alami (kenyataan). Oleh karena itu lingjungan belajar yang mendukung dapat diciptakan, agar proses belajar ini dapat berlangsung optimal.

Dikatakan pula bahwa proses menciptakan lingkungan belajar sedemikian rupa disebut dengan pembelajaran. Belajar mungkin saja terjadi tanpa pembelajaran, namun pengaruh suatu pembelajaran dalam belajar hasilnya lebih sering menguntungkan dan biasanya mudah diamati. Mengajar diartikan dengan suatu keadaan untuk menciptakan situasi yang mampu merangsang siswa untuk belajar. Situasi ini tidak harus berupa transformasi pengetahuan dari guru kepada siswa saja tetapi dapat dengan cara lain misalnya belajar melalui media pembelajaran yang sudah disiapkan. Gagne dan Briggs (1979:3) mengartikan instruction atau pembelajaran ini adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal. Sepintas pengertian mengajar hampir sama dengan pembelajaran namun pada dasarnya berbeda. Dalam pembelajaran kondisi atau situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar harus dirancang dan dipertimbangkan terlebih dahulu oleh perancang atau guru. Sementara itu dalam keseharian di sekolah-sekolah istilah pembelajaran atau proses pembelajaran sering dipahami sama dengan proses belajar mengajar dimana di dalamnya ada interaksi guru dan siswa dan antara sesama siswa untuk mencapai suatu tujuan yaitu terjadinya perubahan sikap dan tingkahlaku siswa. Apa yang dipahami guru ini sesuai dengan pengertian yang diuraikan dalam buku pedoman kurikulum (1994:3).

Sistem pendidikan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sistem masyarakat yang memberinya masukan maupun menerima keluaran tersebut. Pembelajaran mengubah masukan yang berupa siswa yang belum terdidik menjadi siswa yang terdidik. Fungsi sistem pembelajaran ada tiga yaitu fungsi belajar, fungsi pembelajaran dan fungsi penilaian. Fungsi belajar dilakukan oleh komponen siswa, fungsi pembelajaran dan penilaian ( yang terbagi dalam pengelolaan belajar dan sumber-sumber belajar) dilakukan oleh sesuatu di luar diri siswa (Arief,S. 1984:10). Sebenarnya belajar dapat saja terjadi tanpa pembelajaran namun hasil belajar akan tampak jelas dari suatu pembelajaran. Pembelajaran yang efektif ditandai dengan berlangsungnya proses belajar dalam diri siswa. Seseorang dikatakan telah mengalami proses belajar apabila dalam dirinya terjadi perubahan tingkah laku dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa dan sebagainya. Dalam pembelajaran hasil belajar dapat dilihat langsung, oleh karena itu agar kemampuan siswa dapat dikontrol dan berkembang semaksimal mungkin dalam proses belajar di kelas maka program pembelajaran tersebut harus dirancang terlebih dahulu oleh para guru dengan memperhatikan berbagai prinsip-prinsip pembelajaran yang telah diuji keunggulannya.

Hakikat dan Konsep Dasar Kewirausahaan


Kewirausahaan pertama kali muncul pada abad 18 diawali dengan penemuan-penemuan baru seperti mesin uap, mesin pemintal, dll. Tujuan utama mereka adalah pertumbuhan dan perluasan organisasi melalui inovasi dan kreativitas. Keuntungan dan kekayaan bukan tujuan utama.

Secara sederhana arti wirausahawan (entrepreneur) adalah orang yang berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan Berjiwa berani mengambil resiko artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam kondisi tidak pasti. (Kasmir, 2007 : 18).

Pengertian kewirausahaan relatif berbeda-beda antar para ahli/sumber acuan dengan titik berat perhatian atau penekanan yang berbeda-beda, diantaranya adalah penciptaan organisasi baru (Gartner, 1988), menjalankan kombinasi (kegiatan) yang baru (Schumpeter, 1934), ekplorasi berbagai peluang (Kirzner, 1973), menghadapi ketidakpastian (Knight, 1921), dan mendapatkan secara bersama faktor-faktor produksi (Say, 1803). Beberapa definisi tentang kewirausahaan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

Richard Cantillon (1775)
Kewirausahaan didefinisikan sebagai bekerja sendiri (self-employment). Seorang wirausahawan membeli barang saat ini pada harga tertentu dan menjualnya pada masa yang akan datang dengan harga tidak menentu. Jadi definisi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang menghadapi resiko atau ketidakpastian

Jean Baptista Say (1816)
Seorang wirausahawan adalah agen yang menyatukan berbagai alat-alat produksi dan menemukan nilai dari produksinya.

Frank Knight (1921)
Wirausahawan mencoba untuk memprediksi dan menyikapi perubahan pasar. Definisi ini menekankan pada peranan wirausahawan dalam menghadapi ketidakpastian pada dinamika pasar. Seorang worausahawan disyaratkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajerial mendasar seperti pengarahan dan pengawasan

Joseph Schumpeter (1934)
Wirausahawan adalah seorang inovator yang mengimplementasikan perubahan-perubahan di dalam pasar melalui kombinasi-kombinasi baru. Kombinasi baru tersebut bisa dalam bentuk :

1. memperkenalkan produk baru atau dengan kualitas baru,
2. memperkenalkan metoda produksi baru,
3. membuka pasar yang baru (new market),
4. Memperoleh sumber pasokan baru dari bahan atau komponen baru, atau
5. menjalankan organisasi baru pada suatu industri. Schumpeter mengkaitkan wirausaha dengan konsep inovasi yang diterapkan dalam konteks bisnis serta mengkaitkannya dengan kombinasi sumber daya. Penrose (1963) Kegiatan kewirausahaan mencakup indentifikasi peluang-peluang di dalam sistem ekonomi. Kapasitas atau kemampuan manajerial berbeda dengan kapasitas kewirausahaan.


Harvey Leibenstein (1968, 1979)
Kewirausahaan mencakup kegiatan-kegiatann yang dibutuhkan untuk menciptakan atau melaksanakan perusahaan pada saat semua pasar belum terbentuk atau belum teridentifikasi dengan jelas, atau komponen fungsi produksinya belum diketahui sepenuhnya.

Israel Kirzner (1979)
Wirausahawan mengenali dan bertindak terhadap peluang pasar.

Entrepreneurship Center at Miami University of Ohio
Kewirausahaan sebagai proses mengidentifikasi, mengembangkaan, dan membawa visi ke dalam kehidupan. Visi tersebut bisa berupa ide inovatif, peluang, cara yang lebih baik dalam menjalankan sesuatu. Hasila akhir dari proses tersebut adalah penciptaan usaha baru yang dibentuk pada kondisi resiko atau ketidakpastian.

Peter F. Drucker
Kewirausahaan merupakan kemampuan dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Pengertian ini mengandung maksud bahwa seorang wirausahan adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, berbeda dari yang lain. Atau mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya.

Zimmerer
Kewirausahaan sebagai suatu proses penerapan kreativitas dan inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan (usaha).

Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari berbagai pengertian tersebut adalah bahwa kewirausahaan dipandang sebagai fungsi yang mencakup eksploitasi peluang-peluang yang muncul di pasar. Eksploitasi tersebut sebagian besar berhubungan dengan pengarahan dan atau kombinasi input yang produktif. Seorang wirausahawan selalu diharuskan menghadapi resiko atau peluang yang muncul, serta sering dikaitkan dengan tindakan yang kreatif dan innovatif. Wirausahawan adalah orang yang merubah nilai sumber daya, tenaga kerja, bahan dan faktor produksi lainnya menjadi lebih besar daripada sebelumnya dan juga orang yang melakukan perubahan, inovasi dan cara-cara baru.

Selain itu, seorang wirausahawan menjalankan peranan manajerial dalam kegiatannya, tetapi manajemen rutin pada operasi yang sedang berjalan tidak digolongkan sebagai kewirausahaan. Seorang individu mungkin menunjukkan fungsi kewirausahaan ketika membentuk sebuah organisasi, tetapi selanjutnya menjalankan fungsi manajerial tanpa menjalankan fungsi kewirausahaannya. Jadi kewirausahaan bisa bersifat sementara atau kondisional.

Kesimpulan lain dari kewirausahaan adalah proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya dengan menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, memikul resiko finansial, psikologi dan sosial yang menyertainya, serta menerima balas jasa moneter dan kepuasan pribadi. Istilah wirausaha muncul kemudian setelah dan sebagai padanan wiraswasta yang sejak awal sebagian orang masih kurang sreg dengan kata swasta.

Persepsi tentang wirausaha sama dengan wiraswasta sebagai padanan entrepreneur. Perbedaannya adalah pada penekanan pada kemandirian (swasta) pada wiraswasta dan pada usaha (bisnis) pada wirausaha. Istilah wirausaha kini makin banyak digunakan orang terutama karena memang penekanan pada segi bisnisnya. Walaupun demikian mengingat tantangan yang dihadapi oleh generasi muda pada saat ini banyak pada bidang lapangan kerja, maka pendidikan wiraswasta mengarah untuk survival dan kemandirian seharusnya lebih ditonjolkan.

Sedikit perbedaan persepsi wirausaha dan wiraswasta harus dipahami, terutama oleh para pengajar agar arah dan tujuan pendidikan yang diberikan tidak salah. Jika yang diharapkan dari pendidikan yang diberikan adalah sosok atau individu yang lebih bermental baja atau dengan kata lain lebih memiliki kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasarn advirsity (AQ) yang berperan untuk hidup (menghadapi tantangan hidup dan kehidupan) maka pendidikan wiraswasta yang lebih tepat. Sebaliknya jika arah dan tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan sosok individu yang lebih lihai dalam bisnis atau uang, atau agar lebih memiliki kecerdasan finansial (FQ) maka yang lebih tepat adalah pendidikan wirausaha. Karena kedua aspek itu sama pentingnya, maka pendidikan yang diberikan sekarang lebih cenderung kedua aspek itu dengan menggunakan kata wirausaha. Persepsi wirausaha kini mencakup baik aspek finansial maupun personal, sosial, dan profesional

ENTERPRENEURSHIP (Kewirausahaan)


→ Wira usaha adalah kemampuan kreatif / inovatif, kiat dasar, sumber daya dalam mencari peluang menuju sukses.

→ Kreaktif adalah ide baru (merupakan ide baru) atau sama dengan peluang menuju sukses.

→ Inovatif adalah penerapan kemampuan kreaktifitas.

Hingking New hing (kreaktif)

Doing New hing (inovatif)

Apa fungsi / peran wirausaha ?

1. sebagai inovator (penemu hal-hal baru) adalah sesuatu yang baru dapat diciptakan melalui teknologi baru atau yang belum ada sebelumnya.
2. Pleaner / perencana yaitu merancang produk baru.

Proses-proses kewirausahaan dapat di tempuh melaui beberapa hal yaitu :

1. Proses imitasi / duplikasi
2. proses pengembangan
3. proses penciptaan

Bagaimana cara merintis usaha baru ?

dapat dilakukan dengan :

* merintis sejak awal.
* membeli dari perusahaan lain yang sudah ada.
* kerja sama manajemen / tranchi ching.

Akuisisi → proses pengambilan hak.

merger → penggabungan-penggabungan perusahaan dan mengambil satu nama.

Kewirausahaan atau yang biasa disebut Independent Academic dicipline yaitu ilmu yang berdiri sendiri, mengapa dikatakan demikian? Ada empat macam alasan dalam hal ini yakni :

1. Kewirausahaan mempunyai Body of knowlage yang distinctive (lengkap, utuh, dan nyata) yang meliputi teori, konsep, serta menggunakan metode penelitian.
2. Kewirausahaan mempunyai dua konsep yaitu : Venture start up → dimana kewirausahaan itu dapat dimulai dari awal dan Venture growth, → kewirausahaan dalam pengembangan.
3. Dalam suatu kewirausahaan ada objek tersendiri yaitu kemampuan seseorang untuk memikirkan dan mengembangkan dan menciptakan yang baru.
4. Kewirausahaan adalah alat untuk pemerataan kesempatan berusaha dan merubah kesejahteraan masyarakat. Backbone economy → syarat pusat perekonomian dan Tailbone economy → pengendalian perekonomian.

Kewirausahaan (enterpreneurship) pertama kali diperkenalkan oleh CANTILON yang berasal dari perancis pada tahun 1955 dimana istilah-istilah kewirausahaan atau enterpreneurship diberikan kepada para pedagang didaerah-daerah yang membeli barang dan menjualnya ditempat lain dengan harga yang berbeda atau lebih tinggi.

Kewirausahaan dilihat dari dua konteks :

1. Manajemen bahwa kewirausahaan adalah kemampuan seseorang untuk mengelola sumber daya antara lain financial / money, Labor / tenaga kerja, dan material / bahan baku, sehingga kesemua sumber daya dapat berubah menjadi produk baru atau organisasi baru.
2. 2. Bisnis → dimana menurut Sri Edi Swasono bahwa semua kewirausahawan itu adalah pengusaha akan tetapi tidak semua pengusaha itu adalah digolongkan sebagai wirausahawan. Yang dikategorikan termasuk wirausahawan menurut beliau yakni :
1. Seseorang yang mampu menanggung resiko.
2. Seseorang yang tergolong inovator.
3. Pelopor bisnis baru.
4. Seseorang yang mempunyai visi (pandangan) kedepan.
5. Seseorang yang mempunyai keunggulan / prestasi dibidang usaha.

Apa saja objek studi kewirausahaan J ?

- Nilai-nilai atau kemampuan seseorang (ability) dimana nilai-nilai itu diaplikasikan dalam bentuk tindakan atau perilaku.

Kemampuan dalam kewirausahaan yaitu :

1. Kemampuan seseorang dalam / untuk merumuskan tujuan usaha.
2. Kemampuan untuk memotivasi diri.
3. Kemampuan untuk berinisiatif.
4. Kemampuan untuk berinovasi.
5. Kemampuan untuk membentuk modal uang atau barang modal.
6. Kemampuan untuk selalu mengatur waktu secara efisien atau berperilaku disiplin.
7. Kemampuan mental yang dilandasi oleh agama.
8. Kemampuan untuk membiasakan diri mengambil hikmah dari sesuatu yang menyakitkan.

Mengapa orang berwirausaha ? J

1. Alasan keuangan : sebagai sumber pendapatan (sumber utama), sebagai pendapatan tambahan, dan untuk meningkatkan stabilitas keuangan.
2. Alasan sosial : untuk penghormatan / gengsi, dan memberikan pekerjaan kepada orang lain atau masyarakat.
3. Alasan pelayanan : bahwa seseorang yang berwirausaha bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan meningkatkan perekonomian masyarakat.
4. Sebagai pemenuhan diri : dimana masyarakat dapat mandiri dengan berwirausaha.

Apa saja faktor penyebab gagalnya dalam memulai usaha baru ? ;)

1. Seseorang tidak kompeten dalam hal bagaimana memulai hal yang baru → tentang managerial.
2. Kurang berpengalaman didalam kemampuan teknik dan koordinasi.
3. Kurang pengetahuan dalam pengendalian keuangan.
4. Gagal didalam perencanaan. → apabila gagal di perencanaan maka dimungkinkan gagal di berikutnya.
5. Lokasi yang kurang strategis.
6. Sikap yang kurang bersungguh-sungguh didalam berwirausaha.

Pada saat usaha itu berjalan dapat juga mengalami kemunduran dan berakhir pada kegagalan didalam berwirausaha, faktor-faktor tersebut antara lain :

1. Pendapatan yang tidak menentu.
2. Kerugian akibat hilangnya modal investasi.
3. Perlunya kerja keras dan waktu yang lama.
4. Kwalitas yang tetap rendah meskipun usahanya mantap.

Dibalik kegagalan tersebut diatas ada beberapa keuntungan berwirausaha (sisi positif) sehingga orang tertarik untuk berwirausaha antara lain yaitu :

1. Dalam hal otonomi → sikap mandiri (terlepas dari pihak lain).
2. Tantangan awal dan motif berprestasi.
3. Adanya kontrol financial → keuangannya di kontrol sendiri.

Bila ada keuntungan maka ada juga kerugian dari berwirausaha yaitu :

1. Pengorbanan personal → karena perhatiannya tercurah pada wirausaha maka tidak ada waktu untuk kepentingan lain misalnya keluarga, rekreasi, rilex, dll.
2. Beban tanggung jawab → misalnya tanggung jawab keuangan.
3. Kecilnya margin keuntungan.

Menurut fungsinya kewirausahaan dapat digolongkan menjadi :

1. Kewirausahaan rutin adalah salah satu jenis wirausaha yang merubah pola-pola hidup perusahaan dari yang masih tradisional menjadi lebih modern.
2. Kewirausahaan arbitrase merupakan salah satu jenis kewirausahaan yang mencari / memamfaatkan ke tidak seimbangan pasar, dimana ketidakseimbangan pasar terjadi apabila suply lebih besar dari Deman (permintaan), dan bila Deman lebih besar dari suply.
3. Kewirausahaan inovatif adalah kewirausahaan yang sesungguhnya yaitu mampu menciptakan produk baru yang belum pernah ada.

Menurut Zimmerer kewirausahaan dibagi atas tiga jenis yaitu :

1. Part time enterpreneur → adalah kewirausahaan yang dijalankan karena sebagai hobby atau pekerjaan sampingan dan bukan pekerjaan umum.
2. Home base new venture → adalah kewirausahaan yang tidak memiliki kantor tetap tetapi dirintis dari rumah.
3. Copreneur → adalah kewirausahaan yang dijalankan oleh dua orang dimana dua orang ini adalah sebagai pemilik dan juga sekaligus yang menjalankan perusahaan itu.
4. Family owned business → adalah salah satu jenis wirausaha yang dirintis oleh satu keluarga secara turun temurun.

Ahli ekonomi Schumpeter menerangkan bahwa peranan kewirausahaan dalam suatu perekonomian meliputi :

kewirausahaan adalah siapa saja yang mampu menciptakan kemungkinan – kemungkinan baru.

kemungkinan baru disini yaitu :

* seseorang yang menciptakan produk baru dan berbeda dari sebelumnya.
* siapa saja yang mampu menciptakan metode-metode produksi baru.
* siapa saja yang mampu menciptakan teknologi baru.
* siapa saja yang dapat mencari daerah pemasaran yang baru.
* siapa saja yang mampu menciptakan organisasi produksi baru.

Pendapat dari Jhon Baptisley Say

kewirausahaan adalah siapa saja yang mampu menggeser sumber ekonomi dari yang tidak produktif menjadi berlimpah ruah.

fungsi makro dan mikro dari kewirausahaan yaitu :

fungsi makro :

* sebagai pendorong, penggerak, dan pengendali perekonomian
* dari usaha kecil secara kwalitatif mempunyai tiga fungsi yaitu 1). meningkatkan efisiensi ekonomi; 2). memperkokoh perekonomian yaitu sebagai transformator antar sektor {forward lingkage (keterkaitan kedepan) dan backward lingkage (keterkaitan kebelakang)}; 3). mampu memeratakan distribusi pendapatan

Fungsi Mikro :

yaitu sebagai penemu dan perencana (inovator dan Planer)

Sikap dari seorang wirausahawan yakni :

1. Commitment & Determination → seorang wirausahawan harus memiliki tekad yang kuat atau bulat.
2. Desire for responsibility → seorang wirausahawan harus bertanggung jawab didalam perusahaannya atau usahanya.
3. Opportonity Obsession → seorang wirausahawan selalu berambisi untuk mencari peluang atau kesempatan.
4. Tolerance of risk & Uncertainty → seorang wirausahawan harus tahan resiko dan ketidak pastian.
5. Self confidience →seorang wirausahawan mempunyai keyakinan yang kuat dan optimis tidak mengandalkan kemampuan orang lain.
6. Creativity & Flexibility → seorang wirausahawan harus peka terhadap kemauan konsumen dan mengembangkan idenya.
7. High Level of Energy → seorang wirausahawan punya energi yang kuat dan tidak mudah mengalah.
8. Desire for Immediately feed back → seorang wirausahawan selalu mengetahui / ingin mengetahui umpan balik dari usahanya.
9. Motivation to exel → seorang wirausahawan selalu termotivasi untuk unggul.
10. Orientation to the future → seorang wirausahawan harus selalu berorientasi kemasa depan yaitu kemauan untuk tumbuh dan berkembang.
11. Whlingness to learn from failure → seorang wirausahawan harus mengerti dari kegagalan / belajar dari kegagalan.
12. Leader Ship Ability → mempunyai kemampuan untuk berpikir atau memimpin (Mediator, Negosiator).

dari 12 sikap dan kemampuan tersebut maka wirausahawan bisa memperoleh peluang atau kesempatan dengan cara :

1. menciptakan produk apa saja yang baru dan berbeda. (perbedaan disini punya nilai dan berkesan dihati konsumen).
2. Mengamati pintu peluang → seorang wirausahawan dapat mengamati kelemahan dari pesaing-pesaingnya.
3. menganalisa produk dan proses produksi caranya yaitu menentukan beberapa jumlahnya yang diproduksi dan bagaimana kwalitas / mutu barang yang diproduksi dan berapa biaya yang dikeluarkan untuk produksi suatu barang.
4. manafsir biaya awal → caranya yaitu dari mana sumber biaya itu dan untuk apa biaya itu.
5. memperhitungkan resiko yang mungkin terjadi, resiko disini ada tiga yaitu : resiko pesaing → bisa terjadi bila pesaing menawarkan barang lebih unggul dari pada yang kita tawarkan; resiko teknik produksi → bisa terjadi dalam kegagalan produksi; resiko financial → bisa terjadi bila terjadi ketidak cukupan dana dalam proses produksi.

Sejarah Koperasi


Koperasi yang lahir pertama di Inggris (1844) berusaha mengatasi masalah keperluan konsumsi para anggotanya dengan cara kebersamaan yang dilandasi atas dasar prinsip-prinsip keadilan yang selanjutnya menelorkan prinsip-prinsip keadilan yang dikenal dengan “Rochdale Principles”. Dalam waktu yang hampir bersamaan di Prancis lahir koperasi yang bergerak di bidang produksi dan di Jerman lahir koperasi yang bergerak di bidang simpan-pinjam.

Sejalan dengan pengertian asal kata koperasi dari “Co” dan “Operation” mempunyai arti bersama-sama bekerja, Koperasi berusaha untuk mencapai tujuan serta kemanfaatan bersama. Guna memperoleh pengertian yang lebih lengkap tentang koperasi, ILO di dalam penerbitannya tentang “Cooperative Management and Aministration” (1965, h. 5) ……..Cooperative is an association of person, usually of limited means, who have voluntarily joined together to achieve a common economic and through the formation of a democratically controlled business organization, making efuitable contrtobution to the capital required and accepting a fair share of the risk and benefits of the undertaking.

Dari definisi tersebut, koperasi mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. merupakan perkumpulan orang-orang (association of person);
2. bergabung secara sukarela (have voluntarily joined together);
3. untuk mencapai tujuan ekonomi bersama (to achieve a common economic end);
4. organisasi perusahaan yang dikendalikan secara demokratis (democratically controlled business organization);
5. kontribusi yang adil terhadap modal yang diperlukan (equitable contribution to the capital required);
6. menanggung resiko dan menerima bagian keuntungan secara adil (a fair share of the risk and benefits of the undertaking).

Dalam perjalanan sejarah sampai dengan sekarang, pengertian koperasi telah berkembang yang dapat disoroti dari berbagai aspek :

1. koperasi sebagai organisasi ekonomi sebagaimana juga pelakupelaku ekonomi yang lain harus memperhitungkan produktivitas, efisiensi serta efektifitas;
2. koperasi sebagai suatu gerakan yang mempersatukan kepentingan yang sama guna diperjuangkannya secara bersama-sama secara serempak dan lebih baik, sehingga dimungkinkannya ditempatkan semacam perwakilan;
3. segi sosial dan moral yang dianggap mewarnai kehidupan koperasi yang di dalam kegiatannya harus mempertimbangkan norma-norma sosial ataupun moral yang berlaku di mana koperasi melakukan kegiatannya;
4. sementara pihak ingin mengembangkan koperasi sebagai suatu sistim ekonomi, di mana pandangan ini dilandasi oleh semangat cooperativism;
5. di dalam suatu kajian ilmiah, koperasi telah dikembangkan pula sebagai suatu ilmu yang dilandasi atas filsafat dan tujuan ilmu pengetahuan;

Dengan perkembangan pengertian koperasi sebagaimana dikemukakan tersebut, dapatlah ditarik suatu pengertian bahwa koperasi memiliki pengertian yang dinamik. Sedangkan di sisi lain koperasi sebagai organisasi ekonomi mempedomani sendi-sendi dasarnya (principles) yang membedakan terhadap organisasi ekonomi yang lain.

Pemuda Yang Takut Dosa


Dahulu ada seorang pemuda Bani Israil penjual keranjang yang sangat tampan. Ia biasa berkeliling menjajakan barang dagangannya setiap hari. Suatu ketika ia melewati istana Raja, dan seorang pelayan wanita keluar dari dalam istana. Melihat ketampanan si pemuda, wanita itu segera masuk lagi untuk memberitahu putri raja.
“Tuan, di luar ada seorang pemuda yang sedang menjajakan keranjang dari pelepah pohon kurma,” katanya sambil terengah-engah.
“Lalu? Apa istimewanya untukku? Bukankah tiap hari juga banyak penjual keranjang yang lewat di depan istana?” tanya Putri.
“Tuan, pemuda yang satu ini beda. Ia luar biasa tampan!” kata pelayan itu setengah berseru.
“Benarkah?” tanya Putri dengan mata berbinar. “Suruh dia masuk!”

Pelayan wanita itu segera berlari keluar memanggil si pemuda dan membawanya masuk untuk menghadap Putri. Setelah pemuda itu masuk, pelayan wanita itu segera mengunci pintu. Lalu keluarlah Putri dengan memakai pakaian transparan yang memperlihatkan lekuk tubuhnya dan tanpa penutup kepala sehingga rambutnya yang indah dan lehernya yang jenjang terlihat dengan jelas. Pemuda itu segera mengucap istighfar dan menundukan pandangannya.
“Maaf Tuan Putri, mohon tutuplah auratmu. Semoga Alloh mengampunimu,” pinta Pemuda itu dengan sopan.
“Kenapa? Kau tidak suka?” tanya Putri menggoda.
“Maaf Tuan Putri, sebaiknya saya keluar saja daripada nanti menimbulkan fitnah. Biar pelayan anda saja yang memilih keranjang yang hendak Tuan beli di luar,” kata Pemuda.
“Siapa yang bilang aku mau membeli keranjangmu?” tanya Putri sambil tersenyum kecil. “Aku menyuruhmu masuk karena aku tetarik pada ketampananmu.”
“Wahai Putri, takutlah engkau kepada Alloh. Perbuatanmu akan menghinakanmu di hadapan manusia dan Alloh,” kata Pemuda.
“Hahaha…” Putri tertawa geli. “Siapa yang bisa melihat perbuatan kita disini? Pintu telah terkunci, dan hanya ada kita berdua.”
“Ingatlah akan Alloh yang Maha Mengetahui,” kata Pemuda itu.

Rupanya Putri sudah kerasukan setan. Kata-kat Pemuda itu sama sekali tidak membuatnya takut. Ia malah semakin berani mengoda si Pemuda. Tapi karena tidak juga berhasil, Putri menjadi murka.
“Hai Pemuda yang keras kepala. Kau telah menghinaku dengan berani mengacuhkanku. Kamu tahu, aku bisa membuatmu dihukum berat,” kata Putri.
“Aku tidak melakukan kesalahan apapun,” tantang Pemuda.
“Bodoh! Aku bisa saja memberitahu ayahku bahwa kau dengan sengaja menyusup kemari dan memaksaku berbuat yang tidak senonoh,” katanya.
“Tapi aku tidak melakukannya, itu fitnah namanya” jawab Pemuda.
“Hah! Aku bisa melakukan apapun yang kumau!” kata Putri dengan angkuh. “Sekarang kau tinggal pilih. Memenuhi keinginanku atau dihukum berat?”

Pemuda itu berpikir sejenak.
“Sebelum aku memeutuskan, ijinkan aku berwudhu lebih dulu, “ pinta si Pemuda.
“Untuk apa?” tanya Putri heran.
“Aku akan meminta Alloh yang memilihkan jawabannya untukku,” katanya.
“Hmmm pandai sekali kau mengulur waktu. Meskipun kau memohon sepanjang hari, aku yakin Tuhanmu tidak akan hadir di sini,” kata Putri mengejek.
Tapi ia mengizinkan Pemuda itu untuk berwudhu dan berdoa di kamar yang terletak di atas loteng. Dengan begitu ia tidak mungkin melarikan diri.

Di atas loteng, dengan khusyuk si Pemuda memanjatkan doanya.
“Ya Alloh, sesungguhnya hamba-Mu sangat takut berbuat maksiat pada-Mu. Lebih baik aku meloncat dari atas loteng ini dan menyerahkan nasibku kepada-Mu daripada aku berbuat dosa.”
Dengan hati mantap pemuda itu meloncat dari loteng yang letaknya sangat tinggi. Saat itu pula Alloh menurunkan malaikat-Nya untuk menggandeng tangan si pemuda sehingga ia tiba di tanah dalam keadaan berdiri dan ringan serta tidak terluka sedikit pun.

Pemuda itu sangat beryukur atas pertolongan Alloh. Namun ia juga khawatir peristiwa yang sama akan terulang kembali jika ia masih berjualan keranjang.
“Ya Alloh. Jika Engkau mengizinkan, karuniakanlah kepadaku rizki hingga aku tidak perlu berjualan lagi. Mudah-mudahan hal itu akan menambah kebaikan untukku,” doa si Pemuda.

Rupanya Alloh berkenan mengabulkan doanya. Alloh mengirimkan sekawanan belalang yang terbuat dari emas untuk dipungut oleh si Pemuda. Ia mengumpulkannya dan memasukannya ke dalam saku bajunya. Tapi pemuda itu takut hartanya tersebut akan mengurangi ridhonya Alloh. Maka ia berdoa kembali.
“Ya Alloh, jika rizkimu ini akan mengurangi jatahku di akhirat nanti, maka ambillah kembali dan simpankanlah untukku.”
Pemuda itu seolah-olah mendengar suara yang memberitahukan bahwa hadiah itu hanyalah satu dari duapuluh lima bagian pahalanya atas kesabarannya melemparkan diri dari loteng.
“Ya Alloh kalau begitu hamba tidak membutuhkan harta ini lagi. Tolong ambillah lagi, karena hamba memilih memintanya nanti di Akhirat,” pinta si Pemuda.
Seketika itu juga semua belalang emasnya menghilang. Alloh telah mengambilnya kembali dan menjadi simpanan pahala bagi si pemuda yang takut dosa itu.

(SELESAI)

Rabu, 27 Januari 2010

DI YOGYAKARTA




Draft
Naskah Akademik
RUU Keistimewaan
Provinsi DIY


































Daftar Isi
DRAFT NASKAH AKADEMIK

A. Latar Belakang................................................................................................. 3
B. Alasan Keistimewaan Bagi D.I. Yogyakarta..................................................... 5
1. Alasan kesejarahan-politis................................................................. 5
2. Alasan yuridis-folosofis ................................................................... 12
3. Alasan sosio-psikologis ...................................................................17
4. Alasan akademis-komparatif........................................................... 21
C. Prinsip-Prinsip Pengaturan Keistimewaan D.I. Yogyakarta ...........................23
1. Prinsip demokrasi.............................................................................23
2. Pengembangan pemerintahan yang efektif bagi kesejahteraan dan ketentraman masyarakat..................................................................... 28
3. Prinsip memperkuat stabilitas sistem politik nasional...................... 34
4. Pendayagunaan kearifan lokal........................................................ 38
D. Substansi Keistimewaan Yogyakarta.............................................. 40
1. Bidang Politik dan Pemerintahan..................................................... 40
2. Bidang Kebudayaan, Pertanahan dan Penataan Ruang................. 55
E. Format Kelembagaan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta .............. 57
1. Penyelenggaraan pemerintahan...................................................... 57
2. Parardhya Keistimewaan sebagai simbol pemersatu dengan kewenangan strategis-terbatas.............................................................61
3. Struktur Pemerintah Propinsi DIY.................................................... 65
a. Penyelenggara Pemerintah Propinsi DIY.................................. 65
b. Pengisian Jabatan......................................................................65
c. Kedudukan dan kewenangan ....................................................66
d. Hubungan Antar Lembaga ........................................................67
F. Implikasi Protokoler dan Keuangan.................................................................70
1. Kedudukan Protokoler......................................................................70
2. Kedudukan Keuangan......................................................................71
G. Syarat-Syarat, Kewajiban, Hak dan Larangan Bagi Parardhya Keistimewaan Yogyakarta....................................................................................75
1. Syarat-syarat Menjadi Parardhya Keistimewaan..............................75
2. Kewajiban Parardhya Keistimewaan................................................76
3. Larangan..........................................................................................77
H. Mekanisme Transisi.........................................................................................77
Daftar Pustaka .....................................................................................................83



NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG KEISTIMEWAAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA

A. Latar Belakang
Kebutuhan untuk merumuskan regulasi mengenai keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) semakin mendesak. Hal ini terkait dengan tiga pertimbangan berikut ini. Pertama, perkembangan paling akhir politik lokal Yogyakarta. Lewat "Orasi Budaya"nya pada tanggal 7 April 2007, Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan ketidak-sediaan beliau menjadi Gubernur DIY selepas masa jabatannya tahun 2008 nanti (Kedaulatan Rakyat, 8 April 2007; Kompas, 8 April 2007)1. Hal ini merupakan kelanjutan dari penegasan pada tahun 1998 ketika beliau menyatakan ketidak-sediaannya menjadi Gubernur seumur hidup (Kedaulatan Rakyat, 6 September 1998).2 Penegasan ini membuat pengisian jabatan Gubernur yang selama sekian lama masih melahirkan kontroversi karena tidak memiliki kejelasan aturan membutuhkan instrumen hukum baru yang jelas.
Kedua, terlepas dari adanya penerimaan politik yang luas mengenai status keistimewaan Yogyakarta, pengaturan mengenai substansi keistimewaan masih belum terumuskan secara jelas. Memang telah tersedia UU No. 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur mengenai keistimewaan Yogyakarta. Terlepas dari adanya usaha politik untuk mengakhiri status keistmewaan Yogyakarta, regulasi-regulasi berikutnya, tetap mengukuhkan status keistimewaan Yogyakarta. Hanya saja, UU No. 3 tahun 1950, berikut regulasi-regulasi lain yang mengikutinya, belum memberikan gambaran jelas yang membedakan Yogyakarta sebagai daerah istimewa dengan daerah lain yang tidak diberikan status istimewa. Penelaahan atas berbagai regulasi ini, terutama



1 Lihat juga dokumen Orasi Budaya, "Ruh Yogyakarta untuk Indonesia: Berbakti Bagi Ibu Pertiwi", Kraton Yogyakarta, 7 April 2007.
2 Lihat Hendrowinito, Nurinwa, Jacob Sumardjo dkk, Sri Sultan Hamengkubowono X, Pisowanan Ageng, Sebuah Percakapan, Yogya Forum, Yogyakarta, 2003. Bandingkan juga dalam buku Sri Sutan Hamengku Buwono X, "Bercermin di Kalbu Rakyat", Kanisius, 1999.






UU No. 3 Tahun 1950 memastikan, status keistimewaan Yogyakarta lebih pada label ketimbang substansi.
Pengaturan yang samar-samar di atas telah berakibat serius. Pengisian dua kali masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur pada tahun 1998 dan 2003 telah membuktikan, proses politik ini lebih ditentukan oleh hasil negosiasi politik yang keras ketimbang oleh regulasi yang jelas3. Akibatnya, bukan saja setiap siklus pergantian Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY senantiasa ditandai oleh muncul dan merebaknya silang pendapat, bahkan hingga pada mobilisasi politik, tapi lebih lagi, telah menempatkan status keistimewaan Yogyakarta itu sendiri berada dalam posisi ketidak-pastian secara berulang. Polarisasi politik pemaknaan keistimewaan dan polarisasi pemikiran mengenai bagaimana bekerjanya Yogyakarta sebagai daerah istimewa yang akhir-akhir ini bergulir, merupakan repetisi dari fenomena yang sama pada periode lima tahun lalu. Jika ini dibiarkan tanpa kejelasan pengaturan, bisa dipastikan sejak awal hal ini akan berujung pada terjadinya disharmoni di tingkat masyarakat yang akan mengancam kelangsung harmoni sosial sebagai salah satu ciri paling menonjol dari kehidupan masyarakat dan politik Yogyakarta.
Ketiga, sebagaimana ditegaskan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam pertemuan dengan Tim Jurusan llmu Pemerintahan (JIP) Fisipol UGM dan dalam acara Pisowanan Ageng, 18 April 2007, perkembangan politik Indonesia pada aras nasional menunjukan masih tersendat-sendatnya proses reformasi. Lebih dari sekadar stagnasi, ada indikasi yang sangat kuat terjadi kemerosotan pada beberapa aspek kehidupan berbangsa, terutama yang terkait dengan ide ke-Indonesia-an, Pengalaman membuktikan, Yogyakarta telah memainkan peranan strategis sebagai sumber inspirasi bagi penguatan ke-lndonesia-an. Ruh Yogyakarta yang meliputi ruh kebhinekaan dan kebangsaan, ruh demokrasi kerakyatan, ruh solidaritas sosial dan kemanusiaan, ruh perdamaian, dan ketuhanan yang berkebudayaan, telah berulang-kali membuktikan diri mampu - baik secara sendiri-sendiri, maupun secara kolektif - mengilhami Indonesia dalam melewati masa-masa genting sejarahnya.4 Karenanya, sebuah penegasan kembali mengenai keistimewaan Yogyakarta, akan memfasilitasi kembalinya peran sejarah Yogyakarta sebagai sumber inspirasi untuk menjawab persoalan-persoalan strategis bangsa, terutama yang terkait dengan masalah ke-lndonesia-an



3 Informasi yang merekam dinamika proses pengisian jabatan Gubernur DIY pada tahun 1998 dan 2003 secara lebih detail dapat dilihat dalam kompilasi Kliping "Hamengku Buwono X dalam Fenomena Pemilihan Gubernur DIY di Era Reformasi", Pusat Pengkajian Pembangunan Daerah, Yogyakarta, 1999.
4 Lihat dalam Nudu Stepanus, Dkk, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Biro Bina Pemerintahan Umum Setwilda Propinsi DIY, 1992.



dimana kemajemukan sebagai berkah sedang mengalami kemerosotan menjadi persoalan di berbagai daerah.
Karena alasan-alasan di atas, pengaturan mengenai keistimewaan Provinsi Daerah Istmewa Yogyakarta bukan saja harus dirumuskan, tetapi harus segera direalisasikan. Naskah Akademik yang disusun Tim Jurusan llmu Pemerintahan (JIP) Fisipol UGM ini dimaksudkan untuk mewujudkan hal int. Naskah Akademik ini merupakan dasar bagi Tim JIP dalam penyusunan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keistimewaan Provinsi daerah Istimewa Yogyakarta yang diharapkan dapat diselesaikan pada bulan Juni 2007 ini.
B. Alasan Keistimewaan Bagi Yogyakarta
Salah satu pertanyaan penting yang harus dijawab dalam menyusun sebuah Undang-Undang (UU) yang memberikan atau mengakui status keistimewaan dari sebuah daerah adalah apa argumentasi, alasan, rasionalitas, atau relevansi dari pemberian status keistimewaan. Dalam konteks Yogyakarta, paling tidak terdapat beberapa alasan-alasan sebagai berikut.
1. Alasan Filosofis5.
Status istimewa yang melekat dalam Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan bagian integral dalam sejarah pendirian negara-bangsa Indonesia, terutama di saat-saat kritis tatkala Indonesia berada antara ada dan tiada di awal revolusi kemerdekaan. Pilihan sadar Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam untuk menjadi bagian dari Republik Indonesia, dan bukan berdiri sendiri, serta kontribusinya untuk melindungi simbol negara-bangsa di masa awal kemerdekaan telah tercatat kuat dalam sejarah Indonesia. Alasan dan landasan filosofis keistimewaan Yogyakarta, oleh karenanya, tidak semata-mata dilandasi oleh filosofi masyarakat Yogyakarta, tetapi juga menjadi bagian dan konsisten dengan filosofi pendirian negara-bangsa Indonesia.6
Pilihan sadar untuk menjadi bagian Indonesia merupakan refleksi filosofis Kesultanan, Pakualaman dan masyarakat Yogyakarta secara keseluruhan yang mengagungkan kebhinekaan dalam keikaan sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia. Masyarakat Yogyakarta yang relatif homogen di awal kemerdekaan secara sadar meleburkan diri ke dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, baik dari sisi etnis, agama maupun adat istiadat. Pilihan ini tentu saja membawa resiko bagi penempatan diri masyarakat Yogyakarta karena



5 Diskusi bagian ini diilhami kritik Jawahir Tanthowi yang disampaikan dalam forum Panel Ahli, 12Mei2007.
6 Atmakusumah (Penyunting), Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX, Gramedia, Jakarta, 1982.



menjadi bagian kecil dalam kesatuannya dengan masyarakat Indonesia yang majemuk. Kesadaran dan sekaligus keberanian politik Yogyakarta untuk masuk meng-ika-kan diri ke dalam kebhinekaan Indonesia pada awal kemerdekaan merupakan filosofi dasar yang dijadikan rujukan oleh Tim JIP dalam perumusan RUU ini7.
Komitmen pada kebhineka-tunggal-ikaan bukan semata terbukti dari kesadaran dan keranian politik untuk menjadi bagian dari Indonesia yang majemuk, tetapi juga terefleksikan dari kesediaan dan upaya untuk mengundang kebhinekaan Indonesia untuk memasuki Yogyakarta. Sejak Republik Indonesia diproklamasikan, Yogyakarta bukan hanya melindungi pemerintah Republik Indonesia dan menyediakan diri menjadi ibu kota negara, bukan pula sekadar berjuang melawan penjajah dalam mempertahan kemerdekaan, tetapi juga dalam mempercepat nation-building dengan memfasilitasi kehadiran generasi muda luar daerah ke Yogyakarta. Dukungan Kesultanan dalam pendirian Universitas Gadjah Mada yang ditandai dengan penyediaan kampus dan dukungan pendirian asrama mahasiswa bagi mahasiswa dari daerah-daerah merupakan bukti dari semangat ke-bhineka-an dalam ke-ika-an. Sementara dukungan masyarakat yang menyediakan rumah, kampung dan lingkungan mereka sebagai tempat para mahasiswa berbagai daerah saling belajar dan berinteraksi, serta kesediaan warga Yogyakarta menjadi bagian dari proses saling belajar dan interaksi di atas, semakin mengukuhkan falsafah ke-bhineka-tunggal-ika-an warga Yogyakarta.
Melalui keberadaan Universitas Gadjah Mada yang didirikan pada tahun 1949, ribuan pemuda dari seluruh pelosok nusantara hadir di Yogyakarta. Kehadiran mereka bukan saja diterima, tetapi juga difasilitasi melalui pendirian asrama mahasiswa dan juga penerimaan sosial yang tinggi dari masyarakat. Dari sinilah benih-benih sosial dan kultural ke-lndonesia-an terbangun dari Yogyakarta, yang kesemua ini menunjukkan semangat pemimpin dan masyarakat Yogyakarta untuk membangun, bukan hanya menerima, masyarakat plural (bhineka) dalam kohesi sosial (ika) yang tinggi. Semangat ini tetap kuat dalam penggalan sejarah Yogyakarta pada periode-periode selanjutnya, di mana karakter multi-kultural dalam harmoni bisa eksis di Yogyakarta, dan dipandang oleh masyarakat luar daerah sebagai karakter istimewa Yogyakarta.
Rumusan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, oleh karenanya, harus memberikan pondasi bagi pengkokohan lebih lanjut masyarakat multi-kultural yang mampu membangun keharmonisan dan kohesivitas sosial. Kemampuan ini bukan saja diperuntukkan masyarakat yang ada di Yogyakarta, tetapi sekaligus membangun benih, memberikan



7 Konsistensi pemikiran tentang ke-Bhineka-an dan ke-lka-an Indonesia tetap ditunjukkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X yang diantaranya ditinjukkan dalam buku KGPH Mangkubumi, Kerangka dan Konsepsi Politik Indonesia: Sebuah Tinjauan dan Anatisa Perkembangan Politik Nasional Indonesia, Mitra Gama Widya, Yogyakarta, 1989.


inspirasi dan sekaligus pengikat bagi multi-kulturalisme Indonesia. Sebagaimana dibuktikan dalam sejarah Yogyakarta dalam ke-lndonesi-annya, Yogyakarta tidak menimbulkan dilema bagi Indonesia, tetapi justru solusi bagi masalah-masalah yang dihadapi Indonesia.
Filosofi untuk membangun keseimbangan antara jagad kecil Yogyakarta dan jagad besar Indonesia, oleh karenanya, menjadi alasan sekaligus landasan filosofis perumusan Undang-undang keistimewaan Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta tidak dirumuskan untuk dirinya sendiri, tetapi, sebagaimana pemikiran filosofis para pemimpin Yogyakarta terdahulu, yang lebih penting adalah untuk kepentingan Indonesia. Keistimewaan Yogyakarta bisa menjadi solusi bagi Indonesia yang dihadapkan pada masalah, bisa menjadi inspirasi bagi kebuntuan yang dihadapi oleh Indonesia, dan bisa menjadi penerang kearifan bagi keteledoran yang dilakukan Indonesia.
Nilai-nilai luhur yang dipegang teguh dan dipraktekkan masyarakat, institusi Kesultanan dan Pakualaman, memang seharusnya terejawantahkan dalam rumusan keistimewaan Yogyakarta. Namun, pada saat yang sama, nilai, tradisi dan kearifan lokal tersebut jangan sampai menimbulkan dilema baru bagi Indonesia. Reran sentral Kesultanan dan Pakualaman dalam tata kehidupan sosial, politik dan kultural masyarakat Yogyakarta harus terumuskan, tapi harus juga diintegrasikan ke dalam sistem sosial dan politik Indonesia. Ini bukan hanya untuk kepentingan Indonesia, tetapi juga dalam kerangka filosofis pilihan Kesultanan dan Pakualaman untuk istimewa dalam bagian Republik Indonesia.
Tatkala demokrasi menjadi pilihan Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam dasar negara dan DUD 1945, perumusan keistimewaan Yogyakarta-pun harus konsisten dengan nilai ini. Apalagi, praktek politik dalam kesejarahan Kesultanan dan Pakualaman telah menunjukkan upaya serius mengembangkan demokrasi dalam tata kepemerintahan. Filosofi pengintegrasian atau ke-ika-an antara kebhinekaan masa lalu dengan masa datang, antara ketradisionalan dengan kemoderenan, dan antara kedinamisan dengan kearifan, menjadi nilai dasar yang menyemangati rumusan keistimewaan Yogyakarta.
2. Alasan kesejarahan-politis.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki sejarah yang khas dalam dirinya sendiri, yang sekaligus merupakan bagian dari sejarah survivalitas Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Kekhasan ini tidak dimiliki daerah lainnya, terutama dalam kaitannya dengan kelangsung hidup Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Kekhasan itu menyangkut bukan saja kontribusi DIY dalam mendirikan dan menjaga eksistensi NKRI, tapi juga secara simbolik dan aktual dalam mengisi visi ke-lndonesia-an secara lebih kongkret.

Penelaahan atas sejarah Yogyakarta dan Indonesia menunjukan, pertama, status keistimewaan Yogyakarta merupakan pilihan politik sadar yang diambil penguasa Yogyakarta, yakni Sultan HB IX dan Paku Alam VIII, dan bukan pemberian dari entitas politik nasional. Pilihan politik ini memiliki akar panjang yang melekat pada sejarah perjuangan rakyat Yogyakarta. Pelacakan secara diakronik yang dilakukan Djoko Suryo (2007)8 menunjukkan bahwa semangat perjuangan (fighting spirit) para pendiri kerajaan merupakan fondasi dari terbentuknya semangat juang kolektif (collective fighting spirit) dan heroisme-patriotisme (heroism and patriotism spirit) masyarakat Yogyakarta dalam sejarah perjuangan bangsa9. Hal-hal di atas telah menjadikan rakyat Yogyakarta sebagai aktor kolektif (collective historical actors) penggerak perlawanan terhadap kekuasaan Belanda dan revolusi kemerdekaan.
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, raja dari Kesultanan dan Pakualaman Yogyakarta secara terpisah tetapi dengan format dan isi yang sama melalui Maklumat tanggal 5 September 1945 menyatakan integrasinya ke dalam Republik Indonesia dengan memilih status keistimewaan. Hal ini penting dipahami karena dari sisi keorganisasian keduanya memiliki struktur yang lengkap dan lebih siap untuk menjadi sebuah negara merdeka10.

AMANAT
SRI PADUKA INGKENG SINUWUN KANGJENG SULTAN
Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negari Ngajogjakarta Hadiningrat menetapkan;
a.Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
b.Bahwa Kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negari Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini di tangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya.
c. Bahwa berhubung antara Negari Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintahan Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggungjawab atas Negari Kami lansung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.

Ngajogjakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876
Atau 5-9-1945


HAMENGKU BUWONO IX
AMANAT
SRI PADUKA KANGJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM
Kami Paku Alam VIII, Kepala Negeri Paku-Alaman, Negari Ngajogjakarta Hadiningrat menyatakan:
a.Bahwa Negeri Paku-Aiaman, yang bersifat Kerajaan adalah daerah-istimewa dari Negara Republik Indonesia.
b.Bahwa Kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku-Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negari Paku-Alaman mulai saat ini di tangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya.
c, Bahwa perberhubungan antara Negari Paku-Alaman dengan Pemerintahan Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Kami bertanggungjawab atas Negari Kami lansung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Paku-Alaman
mengindahkan Amanat Kami ini.


Paku-Alaman, 28 Puasa Ehe 1876
Atau 5-9-1945

PAKU ALAM VIII

Sumber: Sujamto, Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Brna Aksara, Jakarta, 1988, hal 297-298







8 Status keistimewaan Yogyakarta dimulai pasca Perang Jawa (1825-1830) dimana Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta ditetapkan sebagai Vorstenlanden atau "Daera/7 Praja Kejawen". Lihat Djoko Suryo, "Keistimewaan Sosial-Budaya Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta: Lampau, Kini dan Mendatang", Makatah, FGD Wacana Keistimewaan Yogyakarta dalam Kaca Mata Desentralisasi dan Good Governance, Yogyakarta, 6 Pebruari 2007. Lacak lebih jauh dalam Houben, Vincent, Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870, Bentang Budaya, Yogyakarta, 2002.
9 Lihat juga Wibatsu, Prajurit Kraton Yogyakarta, Yayasan Mandra Giri Mataram, tanpa tahun.
10 Wawancara dengan Paku Alam IX, 12 Juni 2007 menegaskan, selama pemerintahan Belanda, Sultan Yogyakarta dikenal dengan sebutan Sultan Mardiko.








Lebih lagi, keputusan politik di atas diambil di tengah-tengah tawaran penguasa Belanda memberikan kekuasaan atas seluruh Jawa bagi HB IX
yang ditolak beliau.11

Dari sudut Kesultanan dan Pakualaman, penolakan di atas, boleh jadi tidak sepenuhnya bersifat altruistik bagi kepentingan penegakan Indonesia merdeka. Keputusan di atas juga, seperti disampaikan Ichlasul Amal,12 boleh jadi lebih menggambarkan pilihan keduanya sebagai tokoh pergerakan nasional, bukan sebagai penguasa Kesultanan dan Pakualaman. Tetapi dari sudut masyarakat Yogyakarta, fakta bahwa semangat juang dalam mempertahankan hidup (survival spirit) dan kelangsung (sustainability spirit) dari Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara adalah realitas sejarah yang telah diterima luas. Karenanya, pilihan Sultan HB IX dan PA VIII di atas tetap harus dibaca sebagai bentuk penghormatan dari penguasa dan rakyat Yogyakarta atas Indonesia dengan implikasi yang luar biasa bagi eksistensi Indonesia. Karenanya, dari sudut pandang pemerintah nasional, penetapan pemerintah Rl yang mengakui keistimewaan Yogyakarta melalui UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta harus




11 Berulangkali Belanda mengirim utusan menemui HB IX untuk kepentingan ini. Tercatat misalnya, Residen E, M. Stok, Berkhuis, Kol. van Langen, Prof. Husein Jayaningrat dan Sultan Hamid yang dijadikan utusan. Tetapi tidak satupun yang dapat bertemu langsung dengan Sultan HB IX yang selalu mengutus salah seorang saudaranya, Pangeran Prabuningrat, Pangeran Mudaningrat atau Pangeran Bintara untuk menemui para utusan. Alasan yang selalu disampaikan adalah kesehatan beliau yang tidak mengijinkan.
12 Disampaikan dalam forum Panel Ahli, 12 Mei 2007.



dibaca lebih sebagai penghormatan terhadap ketulusan dan komitmen Yogyakarta berintegrasi dengan Indonesia ketimbang pemberian keistimewaan oleh otoritas politik nasional. Saling menghargai secara timbal-balik inilah yang menjadi pembeda penting posisi kesejarahan Yogyakarta dalam kaitannya dengan NKRI yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain, termasuk bentuk-bentuk Kesuitanan dan kerajaan yang ada di berbagai daerah pada masa awal kemerdekaan Indonesia.
Kedua, Yogyakarta memberikan ruang wilayah dan penduduk yang kongkrit bagi Indonesia awal. Pengakuan kedua raja atas kedaulatan Indonesia di wilayah kekuasaannya telah mengisi ruang kosong dan rakyat sebagai dua unsur kunci sebuah negara yang bernama Republik Indonesia. Proklamasi 17 Agustus 1945, tidak secara otomatis memberikan ruang dan rakyat yang kongkrit bagi Indonesia merdeka. Penundukan diri pada kedaulatan otoritas NKRI yang dipilih kedua kerajaanlah yang memberikan makna kongkrit bagi pernyataan kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Secara teoritik, unsur berdirinya negara adalah rakyat atau penduduk, wilayah, pemerintah, dan kedaulatan (Rodee, et. Als, 1976), Setelah Proklamasi dideklarasikan, lingkup wilayah dan rakyat yang masuk dalam Republik Indonesia masih kabur. Pengumuman lingkup wilayah dan rakyat yang disepakati oleh BPUPKl pada sidang tanggal 19 Agustus 1945 adalah lebih pada klaim normatif dari pada kondisi faktual. Melalui Maklumat tanggal 5 September 1945 Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII, menjadikan unsur-unsur terbentuknya negara menjadi kongkret dan lengkap. Dengan Maklumat ini, wilayah dan rakyat yang berada di kedua kerajaan tersebut secara otomatis menjadi wilayah dan rakyat dari Rl yang baru dideklarasikan yang memiliki status istimewa pula. Keduanya kerajaan ini bahkan ikut menanggung pembiayaan pemerintahan antara tahun 1946 dan 194713.
Lebih dari sekadar memberikan ruang dan rakyat yang kongkrit bagi Indonesia awal, rakyat Yogyakarta yang menjadi rakyat kongkrit Indonesia merdeka adalah rakyat yang memiliki kehendak (will) untuk hidup sebagai sebuah bangsa. Sejarah perjuangan rakyat Yogyakarta sebagaimana diungkapkan dalam berbagai dokumen dan diperkuat oleh hasil FGD, forum Ahli dan forum Panel Ahli yang dilakukan TIM JIP memastikan hal ini. Realitas sejarah inilah yang menyebabkan Yogyakarta mendapatkan penghormatan sebagai Kota Revolusi dan Kota Perjuangan antara tahun 1945-1949.14
Ketiga, Yogyakarta menjadi kekuatan penyelamat ketika Indonesia berada dalam situasi krisis untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dijadikannya DIY sebagai Ibukota negara ketika Jakarta tidak dapat dipertahankan sebagai ibu kota negara sebagai



13 Josef Riwu Kaho, Masukan disampaikan dalam forum Panel Ahli, 11 Mei 2007.
14 Djoko Suryo, Op. Cit


akibat agresi militer Belanda ke-1 tahun 1948 dan fakta bahwa Yogyakarta menjadi satu dari tiga daerah yang tetap menjadi NKRI ketika daerah lain terpecah menjadi Republik Indonesia Serikat sudah menjadi pemahaman umum. Demikian pula fakta bahwa peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menyebabkan eksistensi Rl tetap diakui dunia Internasional setelah sebelumnya dikabarkan dikuasai Belanda mengambil tempat di Yogyakarta dengan Sultan HB IX sebagai figur kunci15.
Tetapi peran yang sama penting yang jarang diperbincangkan adalah peran pemersatu DIY bagi Indonesia. Pada tingkat simbolik, peran tersebut dijalankan melalui pematahan mitos ketidak-mungkinan penyatuan entitas politik yang berseberangan akibat politik devide at empera yang diterapkan penjajah Belanda yang telah dimulai sejak periode singkat kolonialisme Inggris di bawah Raffles16 yang memunculkan dua entitas politik di Yogyakarta, yakni Kesultanan dan Pakualaman. Keputusan politik HB IX dan PA VIII untuk keluar sebagai satu kesatuan politik di bawah NKRI - yang dijadikan dasar oleh Tim JIP dalam merumuskan keduanya sebagai satu kesatuan politik dalam RUU tentang Keistimewaan Yogyakarta ini -memberikan pesan simbolik yang sangat kuat bahwa Indonesia yang bersatu adalah mungkin. Hal ini memiliki dua fungsi, yakni mematahkan mitos kedigdayaan politik pecah-belah kolonial dan memberikan optimisme kepada wilayah lainnya tentang keabsahan gagasan dan praktek persatuan Indonesia. Hal ini, menopang eksistensi Indonesia berikutnya.
Keempat, pada tingkat yang lebih kongkrit, fungsi pemersatu atau perekat bangsa DIY dilakukan pasca kemerdekaan. Melalui pendirian Universitas Gadjah Mada (UGM), nasionalisme dan identitas ke-!ndonesia-an dilahirkan, dipelihara, dimekarkan hingga menemukan bentuk jadinya. UGM yang didirikan pada 19 Desember 1949 bukan semata-mata pusat pendidikan tinggi, tapi menjalankan fungsi sebagai locus dan titik temu anak bangsa dari penjuru Indonesia sehingga ia menjadi miniatur Indonesia. Di Yogyakarta sekat-sekat kedaerahan dikikis dan dibangun ide tentang ke-Indonesia-an secara lebih luas. Dari Yogyakartalah, ke-lndonesia-an merambah pasti ke berbagai daerah. Eksistensi UGM tidak mungkin terwujud apabila tidak ada visi tentang ke-lndonesia-an dan kebesaran jiwa dari penguasa Yogyakarta kala itu, yakni Hamengkubuwono IX.



15 SESKOAD, Serangan UMUM 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Latar Belakang dan Pengaruhnya, Seskoad, 1989 Bandingkan dengan Chidmad, Tatag, Sri Endang Sumiyati dan Budi Hartono, Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949, Media Presindo, 2001.
16 Terbelahnya Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman dimulai pada era Raffless, Hal ini disampaikan P. J. Suwarno dalam dtskusi Pemetaan Pemikiran, 14 Maret 2007. Lihat juga P. J. Suwarno, "Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta", Makalah dipresentasikan pada diskusi mengenai Keistimewaan Yogyakarta yang diselenggarakan Universitas Atmadjaya, Yogyakarta, 2 Juni 2007; P. J. Suwarno, (1994), Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974, Kanisius, Yogyakarta.







Visi ke-lndonesia-an Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang diikuti oleh kesediaannya memfasilitasi kehadiran UGM, juga dapat dibaca sebagai pengorbanan Sri Sultan HB IX. Hal ini bukan saja tercermin dari kerelaan beliau menyediakan bagian sakral di Keraton yaitu Siti Hinggil dan Pagelaran menjadi salah satu bangunan awal UGM termasuk beberapa ruangan di Keraton; juga tidak terbatas pada kesediaan Sultan HB IX memberikan tanahnya di daerah Bulaksumur sebagai pusat dan tempat berdirinya UGM hingga saat sekarang; ataupun pada keteguhan beliau mempertahankan keberadaan UGM di Yogyakarta setelah Ibukota Negara dikembalikan ke Jakarta.17 Tetapi juga pada perubahan perilaku beliau sebagaimana dikisahkan kembali oleh kerabat keraton.18
Peran strategis Kesultanan sebagai kekuatan pemersatu disempurnakan oleh peran yang sama yang dijalankan masyarakat Yogyakarta19. Sejak awal, warga Yogyakarta telah berfungsi sebagai "induk semang" bagi para mahasiswa dan aktivis pergerakan dari berbagai daerah. Peran masyarakat ini sedemikian strategisnya terutama dalam mengintegrasikan warga dari berbagai daerah di Indonesia ke dalam satu kesatuan identitas dan pemahaman baru dengan ke-lndonesia-an sebagai titik simpulnya. Lewat masyarakat Yogya, kesadaran mengenai dan keharusan untuk hidup dalam kebhinekaan Indonesia terbentuk di antara para mahasiswa dan aktivis pergerakan nasional dari berbagai daerah.
Fakta-fakta sejarah di atas membuktikan bahwa sejarah DIY adalah sejarah yang diabdikan untuk menjamin eksistensi dan keberlangsungan Indonesia, sejarah yang diabdikan untuk merawat ke-lndonesia-an.

3. Alasan yuridis
Geneologis predikat keistimewaan Yogyakarta di tataran yuridis formal, dapat dirujuk pada pada Amanat Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kanjeng Sultan dan Amanat Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam. Kedua amanat tersebut dapat dipreskripsikan sebagai novum





17 Interpretasi pada bagian di atas diilhami presentasi Bambang Purwanto, sejarawan dari UGM yang disampaikan dalam forum diskusi Pemetaan Pemikiran Tim JIP dengan para ahli untuk mendapatkan input bagi penyusunan naskah akademik, 14 Maret 2007.
18 Pada saat Sultan HB IX merelakan Siti Hinggil dan Pagelaran dan ruang-ruang lainnya sebagai lokasi awal UGM, Sultan harus berjalan memutar untuk masuk ke dalam rumahnya agar tidak melewati Siti Hingil dan Pagelaran. Kedua ruangan ini berada di posisi paling depan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat Informasi ini berdasarkan penuturan GBPH Prabukusumo, adik Sultan HB X, pada panel Forum Ahli untuk pemetaan pemikiran, 14 Maret 2007 di Hotel Jayakarta.
19 Bagian ini diilhami oleh pertanyaan P. M. Laksono, Tadjuddin Nur Effendi, dan sejumlah aktivis NGO tentang tempat rakyat dalam keistimewaan Yogyakarta yang disampaikan dalam forum Pemetaan Pemikiran dan Forum Panel Ahli yang diselenggarakan JIP Fisipol UGM.




hukum yang menyatakan bahwa status Yogyakarta, dalam ranah yuridis formal, telah mengalami perubahan dari sebuah daerah Zelfbesturende Landschappen atau daerah Swapraja menjadi sebuah daerah yang bersifat istimewa di dalam teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara lebih generik, keistimewaan Yogyakarta memiliki akar yang kuat dalam konstitusi. Pasal 18 B ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menegaskan, "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang." Penegasan yang lebih gmblang lagi dapat kita telusuri dalam Konstitusi RIS tahun 194926 dan UUDS tahun 1950,21
Pada tingkat yang lebih operasional, keistimewaan Yogyakarta diatur melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hanya saja, dalam UU ini tidak diatur secara jelas dan menyeluruh substansi dan ragam urusan yang secara spesifik merefleksikan keistimewaan Yogyakarta. Tiga belas urusan yang ditetapkan melalui UU No. 3 Tahun 1950 setara dengan urusan yang dimiliki daerah lain sesuai dengan pasal 23 dan pasal 24 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948.22



20 Bagian lit tentang Daerah Swapraja, Pasal 64 Konstitusi RIS 1949 menegaskan pengakuan atas swapraja yang sudah ada. Sementara Pasa! 65 menegaskan, "(M)engatur kedudukan daerah-daerah swapraja masuk dalam tugas kekuasaan daerah-daerah bagian yang bersangkutan dengan pengertian bahwa mengatur itu dilakukan dengan kontrak yang diadakan antara daerah-daerah bagian dan daerah-daerah swapraja bersangkutan dan bahwa dalam kontrak itu, kedudukan istimewa swapraja akan diperhatikan dan bahwa tiada satupun dari daerah-daerah swapraja yang sudah ada dapat dihapus atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang Fee/eras; yang dinyatakan, bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengedlan itu, memberi kuasa untuk itu kepada Pemerintah Daerah Bagian yang bersangkutan".
21 Sementara UUDS 1950 memberikan pengaturan yang lebih detail dalam Bab IV tentang Pemerintah Daerah dan Daerah-daerah Swapraja yang meliputi 6 ayat yang disebarkan dalarn 2 Pasal, yakni Pasal 131 dan 132. Pasal 132 ayat (2) menegaskan, "Daerah-daerah swapraja yang ada tidak dapat dihapus atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah Undang-undang yang menyatakan bahwa kepentingan umum menuntut pengahapusan atau pengedlan itu, memberi kuasa untuk itu kepada Pemerintah".
22 Catalan yang disampaikan oleh Josef Riwu Kaho dalam Forum Panel Ahli, 11 Mei 2007 menegaskan, UU No. 22 Tahun 1948 tidak mengenal urusan pangkal karena menggunakan ajaran rumah tangga materiel (materiele hoishouding begrip). Urusan pangkal hanya dikenal dalam ajaran rumah tangga! formal {forma/e huishouding begrip) yang baru digunakan dalam UU No. 1 Tahun 1957 dengan prinsip otonomi riil dan seluas-luasnya. Urusan-urusan yang diberikan kepada DIY dalam UU ini meliputi urusan umum; urusan pemerintahan umum; urusan agraria; urusan pengairan, jalan-jalan dan gedung-gedung; urusan pertanian dan perikanan; urusan kehewanan; urusan kerajinan, perdagangan dalam negeri, perindustrian dan koperasi; urusan perburuhan dan sosial; urusan pengumpulan bahan makanan dan pembagiannya; urusan penerangan; urusan pendidikan, pengajaran dan kebudayaan; urusan kesehatan; dan urusan perusahaan.




Dibandingkan dengan daerah-daerah lain, UU ini mewajibkan Yogyakarta tetap harus menjalankan urusan-urusan rurnah tangga dan kewajiban-kewajiban lain yang telah ditetapkan sebelum pembentukan UU No. 3 Tahun 1950. Selain itu, juga disebutkan bahwa pemerintah Yogyakarta harus memikul semua hutang-piutang yang terjadi sebelum pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (The Liang Gie, 1993: 205). Lima bulan setelah ditetapkan, Pemerintah melakukan perubahan atas UU No. 3 Tahun 1950, melalui UU No. 19 Tahun 1950 yang ditetapkan pada tanggal 14 Agustus 1950. Perubahan dilakukan pada pasal 4 ayat (1) mengenai urusan yang wajib dilaksanakan yang diekspansi menjadi 15 urusan disertai sejumlah perubahan nomenklatur.
Berbagai produk hukum yang mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia pasca UU No 22/1948, yaitu: UU No 1 Tahun 1957, Perpres 6 Tahun 1959 (disempurnakan), Perpres 5 Tahun 1960 (disempurnakan), UU No 18 Tahun 1965, UU No 5 Tahun 1974, UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004 tetap memberikan pengakuan kuat mengenai status keistimewaan Yogyakarta, walaupun secara format pengaturan pemerintahan daerahnya sama dengan daerah-daerah lain.
Dalam UU No 1/1957, keberadaan Daerah-daerah yang bersifat istimewa mempunyai posisi yang kuat. Pengakuan atas daerah-daerah yang bersifat istimewa dituangkan dalam pasal 1 ayat (1), (2), dan (3). Dalam pasal 1 ayat (1) ditegaskan, "(Y)ang dimaksud dengan Daerah dalam Undang-undang ini /a/a/? daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, yang disebut juga "Daerah Swatantra" dan "Daerah Istimewa". Meskipun pasal dan ayat-ayat ini tidak secara spesifik menyebutkan nama daerah-daerah yang menyandang status istimewa, kesimpulan sederhana yang bisa diambil dari pengaturan di atas adalah bahwa posisi Yogyakarta sebagai sebuah daerah istimewa tetap berlaku sesuai UU No 3 Tahun 1950. UU ini bahkan secara spesifik mengatur status kepala daerah istimewa sebagaimana tergambar dalam pasal 25 dan pasal 27 tentang Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, pasal 29 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, pasal 30 tentang Sumpah/janji Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, dan pasal 73 ayat (1) Peraturan Peralihan. Pasal-pasal tersebut, merupakan dasar yuridis penting yang dapat dirujuk dalam mengatur substansi keistimewaan. Berdasarkan pemahaman di atas, Soejamto (1988: 37 - 39) merinci subtansi keistimewaan dari daerah-daerah


23 15 urusan yang diserahkan pada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui UU No. 19 tahun 1950 meliputi urusan umum; urusan pemerintahan umum; urusan agraria; urusan pengairan, jalaivjalan dan gedung-gedung; urusan pertanian, perikanan dan koperasi; urusan kehewanan; urusan kerajinan, perdagangan dalam negeri dan perindustrian; urusan perburuhan; urusan sosial; urusan pembagian (distribusi); urusan penerangan; urusan pendidikan, pengajaran dan kebudayaan; urusan kesehatan, urusan lalu lintas dan angkutan bermotor; dan urusan perusahaan.







yang menyandang status keistimewaan, termasuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai berikut:
1. Berlainan dengan Kepala Daerah biasa, Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Pemerintah Pusat dari keturunan keluarga yang berkuasa di Daerah itu pada masa sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat-istiadat dalam daerah tersebut.
2. Oleh karena itu, Kepala Daerah Istimewa tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD
3. Mengenai gaji dan segala penghasilan yang sah yang melekat pada jabatan Kepala Daerah Istimewa tersebut ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, bukan oleh Daerah itu sendiri.
Peneguhan secara legal formal keberadaan suatu daerah yang bersifat istimewa tidak melemah seiring dengan terjadinya perubahan politik di aras nasional. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengembalikan kedudukan UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi di Indonesia, tetap memberikan ruang pengakuan yang luas bagi keistimewaan suatu daerah. Hal ini dapat dilihat dalam Penpres No 6 Tahun 1959 (disempurnakan), khususnya dalam pasal 3, pasal 6, pasal 7 dan pasal 8 ayat (1), yang substansinya sama dengan UU 1/1957. UU No 18 Tahun 1965 yang dihasilkan kembali mempertegas pengakuan atas keberadaan daerah-daerah yang sifatnya istimewa sebagaimana dirumuskan dalam pasal 88 ayat (1). UU ini bahkan secara spesifik mengatur substansi dari keistimewaan Yogyakarta sebagaimana dapat dirujuk dalam pasal 88 ayat (2), sebagai berikut:
(a) Sifat istimewa sesuatu Daerah yang berdasarkan atas ketentuan mengingat kedudukan dan hak-hak asal-usul dalam pasal 18 Undang-undang Dasar yang masih diakui dan berlaku hingga sekarang atau sebutan Daerah Istimewa atas alasan lain, berlaku terus hingga dihapuskan.
(b) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud pada pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5).
Penelusuran kembali berbagai regulasi yang menyangkut pemerintah daerah di atas menegaskan, hingga tahun 1965, status keistimewaan suatu daerah, dan secara lebih spesifik substansi keistimewaan diletakkan pada kedudukan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang menjabat pada waktu itu. Hal-hal di luarnya yang terkait dengan jalannya roda pemerintahan secara umum tidak diatur secara khusus. Dengan kata lain, selain daripada kedudukan khusus kepala daerah, pengaturan selebihnya mengenai Daerah yang menyandang status istimewa tidak berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Hal inilah yang membawa Kami pada kesimpulan adanya kekaburan makna keistimewaan Yogyakarta yang perlu mendapat pengaturan sekarang ini.
Pola yang sama terus berlanjut pada periode politik baru yang sama sekali berbeda. UU No 5 Tahun 1974, sekalipun dilahirkan dalam konteks sentralisasi pemerintahan yang sangat kuat, setelah melalui perdebatan yang cukup panjang di DPR24, tetap mengakui Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa. Sebagaimana pengaturan sebelumnya, ciri pokok keistimewaan tetap diletakan pada keunikan posisi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dimana masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak tunduk pada kaidah-kaidah regulasi yang berlaku bagi daerah-daerah lain (Soejamto, ibid: 87).
Perubahan politik nasional berikutnya yang terjadi setelah turunnya Soeharto tidak mengakhiri pengakuan legal atas keberadaan daerah yang bersifat istimewa. Pasal 122 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 secara literal mempertegas status keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Aceh melalui penegasan, "(K)eistimewaan untuk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Propinsi Istimewa Aceh dan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada undang-undang ini." Secara lebih spesifik penjelasan pasal 122 menegaskan, "(P)engakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubemur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang Ini."
Undang-Undang paling akhir yang mengatur mengenai Pemerintahan Daerah, yakni UU Nomor 32 Tahun 2004 juga memberi ruang afirmasi bagi predikat keistimewaan sejumlah daerah. Hal ini dituangkan dalam pasal 2 ayat (8),"(A/)egara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang."
Jika dicermati secara seksama, rentang waktu antara tahun 1950 hingga tahun 2004 yang mencakup masa berlaku UU No 3 Tahun 1950 hingga UU Nomor 32 Tahun 2004, maka dua kesimpulan umum dapat


24 Perdebatan mengenai status istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh muncul karena kuatnya semangat 'penyeragaman' format pengaturan daerah-daerah di Indonesia pada waktu itu. Detail perdebatan dapat dilihat dalam, antara lain, Soejamto, 1988: bab VI.




diambil. Pertama, adanya konsistensi pada level yuridis yang mengakui keberadaan suatu daerah yang bersifat istimewa. Jika produk perundang-undangan dipahami sebagai buah dari proses politik, maka hal di atas sekaligus menggambarkan adanya pengakuan dan penerimaan politik yang terus berlanjut mengenai status keistimewaan suatu daerah dalam kerangka NKRI. Yogyakarta, termasuk dalam hai ini. Kedua, konsistensi pengakuan atas status keistimewaan sebuah daerah, tidak diikuti oleh pengaturan yang bersifat komprehensif mengenai substansi keistimewaan sebuah daerah. Hal inilah yang pada tataran operasional melahirkan simpul-simpul penafsiran yang bersifat multi-interpretatif dengan segala konsekwensinya. Perkembangan Yogyakarta sejak tahun 1998 yang ditandai oleh ketidak-pastian hukum dan politik yang terus berulang, terutama menjelang momentum perubahan kepemimpinan lokal mengungkapkan dengan jelas implikasi yang ditimbulkan oleh keragaman interpretasi sebagai akibat dari kekaburan regulasi. Karena alasan-alasan inilah, kehadiran sebuah undang-undang tentang keistimewaan Yogyakarta yang komprehensif sangat diperlukan guna memberikan jaminan hukum bagi pelaksanaan pemerintahan di Yogyakarta.
4. Alasan Sosio-Psikologis
Dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, Yogyakarta telah dan, ke depan, bisa dipastikan akan terus mengalami perubahan sosial yang sangat dramatis. Pada tingkat masyarakat, Yogyakarta kini memasuki sebuah fase yang bisa disebutkan sebagai masyarakat berwajah ganda (dual faces society). Di satu sisi terdapat masyarakat yang tersusun secara hierarkhis mengikuti pola hubungan patron-client di masa lalu, di sisi yang lain telah hadir dalam kepadatan yang semakin tinggi masyarakat yang memiliki corak horizontal yang kuat.
Perkembangan di atas, sekalipun telah membawa perubahan-perubahan yang sangat mendasar, tidak secara otomatis meminggirkan sentralitas Kesultanan dan Pakualaman sebagai sumber rujukan penting bagi mayoritas warga Yogyakarta. Sebagian besar masyarakat tetap memandang dan mengakui Kesultanan dan Pakualaman sebagai pusat budaya Jawa dan simbol pengayom. Hal ini dapat dilihat dari antusiasme masyarakat untuk hadir dan terlibat datam berbagai acara ritual budaya yang diselenggarakan Kesultanan dan Pakualaman.25 Sejumlah hasil jajak pendapat26 berikut hasil dari proses politik di aras lokal27 mempertegas hal di



25 Bandingkan dengan Mulder, Niels, Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kultural, Gramedia, Jakarta, 1983.
26 Hasil jajak pendapat yang diseienggarakan KNPI DIY pada bulan Agustus 1998 menunjukkan bahwa 96,14% dari 2.458 responden menyetujui status keistimewaan Yogyakarta (Bernas, 8 Agustus 1998). Hasil jajak pendapat lainnya yang dilakukan lebih kemudian juga bergerak ke arah yang sama. Lihat misalnya, hasil jajak pendapat yang




atas. Kemunculan berbagai gerakan - terutama dalam momentum pergantian Gubernur - yang mengungkapkan tetap kuatnya posisi Kesultanan dan Pakualaman sebagai simbol bagi masyarakat Yogyakarta. Serangkaian forum panel ahli28 yang digelar Tim JIP untuk mendapatkan input yang luas dalam proses penyusunan Naskah Akademik dan RUU Keistimewaan Yogyakarta mempertegas hal di atas. Hal ini kembali dipertegas oleh hasil wawancara yang dilakukan oleh Center For Local Politics and Development Studies (CLPDS) dan wawancara yang dilakukan sejumlah media.29
Pada tingkatan lain, penerimaan dan sekaligus penghargaan masyarakat terhadap Kesultanan dan Pakualaman sebagai 'dwi tunggal' yang diidentikkan dengan keistimewaan Yogyakarta terlihat dari hadirnya perkumpulan atau paguyuban Lurah se-DlY yang dikenal dengan Ismaya (Ing Sedya Memetri Aslining Ngayogyakarta). Penggunaan nama ini menyiratkan keinginan kuat masyarakat, melalui paguyuban Lurah, untuk tetap melestarikan kondisi sosial budaya. Dipandang dari sisi sosiologis, hadirnya paguyuban Lurah merupakan cerminan keinginan masyarakat untuk tetap diperlakukan istimewa sesuai dengan latar belakang sosio-kultural masyarakat Yogyakarta. Kehadiran paguyuban Lurah menyebar hingga ke Kabupaten di lingkungan Propinsi DIY. Selain Paguyuban Lurah yang sudah cukup lama aktif dalam dinamika politik lokal, belakangan juga muncul dukungan yang sangat kuat dari Asosiasi Pemerintah Desa se Indonesia (Apdesi) baik di tingkat Provinsi DIY maupun di masing-masing kabupaten di wilayah DIY. Sebagaimana Ismaya dan Apdesi DIY, kuatnya
dilakukan DPD KNPI DIY tentang Calon Gubernur DIY yang dimuat dalam harian Bernas, 7 Agustus 1998.


27 Salah satu proxy indicator yang dapat digunakan adalah terpilihnya Ratu Hemas sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah {DPD) mewakili DIY dengan persentase yang melewati kumulasi dari tiga anggota DPD iainnya berasal dari DIY, yakni sebesar 80%.
28 Forum Panel Ahli untuk pemetaan pemikiran yang diselenggarakan Tim JIP Fisipol UGM untuk periode pertama dilaksanakan sebanyak 4 kali dengan melibatkan tidak kurang dari 40 discussant dengan variasi latar belakang yang yang tinggi, mulai dari sejarawan yang memiiiki pandangan kritis dan pendukung Keraton, hingga para kerabat Keraton dan Pakualaman, mutai dari aktivis LSM hingga para pakar dari lingkungan perguruan tinggi, mulai dari para birokrat hingga rakyat kebanyakan. Forum pertemuan dilangsungkan masing-masing padatangga! 14, 15, 16, &17 Maret2007.
29 Lihat misalnya, film singkat berdurasi 15 menit yang disiapkan CLPDS dalam rangka FGD yang dikerjakan antara tanggal 14 - 19 April 2007. Harian Kompas dan Kedaulatan Rakyat misalnya secara terus menerus melakukan wawancara terhadap tim JIP Fisipol UGM (Cornetis Lay, Pratikno, Purwo Santoso, Bambang Purwoko, dan AAGN Ari Dwipayana) secara sirnultan pasca pidato Kebudayaan Sri Sultan HB X, 7 April 2007. Dokumen Kliping dikompilasi Tim RUUK DIY - JIP Fisipol UGM.
30 Paguyuban Lurah Desa di lingkungan Kabupaten se DIY meliputi Bodronoyo yang merupakan paguyuban Lurah se-Kabupaten Kulon Progo, Tunggul Jati untuk Kabupaten Bantul, Semar untuk kabupaten Gunung Kidul, dan Surya Ndadari yang merupakan Paguyuban Lurah se-Kabupaten Sleman. Secara kongkrit, paguyuban Lurah se kabupaten Bantul termasuk yang paling aktif.


dukungan Paguyuban Lurah Desa dan Asosiasi Pemerintah Desa (Apdesi) tingkat provinsi maupun kabupaten ini merupakan cerminan dari masih kuatnya keinginan mayoritas masyarakat untuk melestarikan kehidupan yang didasarkan pada warisan nilai-nilai sosial budaya Yogyakarta.
Keinginan kuat mayoritas warga untuk tetap mempertahankan status keistimewaan Yogyakarta juga terekam melalui respon masyarakat terhadap pengisian jabatan Gubernur pada tahun 1998. Sebagian masyarakat mengekspresikan aspirasinya secara demonstratif melalui berbagai kelompok yang berujung pada keluarnya Maktumat Rakyat Yogyakarta, 26 Agustus 1998. Salah satu butir penting Maklumat ini adalah bahwa rakyat tetap berkeinginan mempertahankan status keistimewaan Yogyakarta sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1950. Dari sudut pandang sosiologis, peristiwa ini juga mencerminkan kuatnya hubungan antara Sultan sebagai simbol pimpinan sosio-kultural Jawa dengan masyarakat Yogyakarta yang menginginkannya sebagai Gubernur yang akan memimpin roda pemerintahan di DIY. Di mata sebagian besar masyarakat, tidak ada perbedaan antara posisi Sultan dan Gubernur: Sultan adalah Gubernur dan Gubernur adalah Sultan31.
Kuatnya hubungan Kesultanan dan Pakualaman dengan masyarakat Yogyakarta juga terekam dengan sangat jelas melalui penggelaran Pisowanan Ageng yang berlangsung menjelang tumbangnya Pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei 1998. Momentum 'Pisowanan Ageng' dihadiri lebih kurang satu juta orang. Kehadiran warga masyarakat secara masif ini, bisa dipastikan tidak sepenuhnya dituntun oleh kepatuhan mereka pada Kesultanan dan Pakualaman, terutama jika dilihat conjuncture sejarah Indonesia pada periode ini. Tetapi bahwa acara ini berlangsung damai tanpa ada tindakan anarkhis yang mencorengnya, secara jelas mendemonstrasikan sentralitas peran Kesultanan dan Pakualaman dalam keseluruhan proses. Pisowanan Ageng yang damai tanpa kekerasan adalah wujud penghormatan warga Yogyakarta atas Kesultanan dan Pakualaman, dan sekaligus bukti kekuatan aura kewibawaan kedua otoritas budaya ini di lingkungan masyarakat Yogyakarta. Aksi damai nir-kekerasan ini terwujud karena kepatuhan peserta Pisowanan terhadap 'titah' atau perintah Sultan32. Masih kokohnya Kesultanan dan Pakualaman sebagai simpul sosio-kultural bisa menjelaskan mengapa Pisowanan Ageng tersebut berjalan lancar.
Pisowanan Ageng kembali dilaksanakan pada 18 April 2007 menyusul kuatnya tuntutan masyarakat untuk mendengarkan secara langsung penjelasan Sultan HB X atas keputusan beliau tidak bersedia lagi menjadi


31 Lacak lebih jauh penyikapan Sultan terhadap perubahan politik Mei 1998 dalam Ismoyo, Wasi dan Sunaryo Purwo Sumitro, Sri Si/fan Hamengku Buwono X, Bersikap Bukan Karena Ambisi, Bigraf Publishing, 1998.
32 Peneguhan kuasa untuk rakyat oleh Sultan HB X tergambar dalam Nusantara, Ariobimo, Sri Sutan Hamengku Buwono X Meneguhkan Tahta untuk Rakyat, Grasindo, 1999 kemudian diteguhkan kembali dalam buku Kusumayudha, Oka dan Ronny Sugiantoro, SABDA, Ungkapan Hati Seorang Raja, Kedaulatan Rakyat.





Gubernur DIY untuk periode mendatang. Jumlah kehadiran warga masyarakat, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang menghadiri Pisowanan Ageng pada tahun 1998 yang lalu. Demikian pula, berbeda dengan Pisowanan tahun 1998, adanya unsur mobilisasi terekam dalam proses yang ada. Tetapi secara keseluruhan, forum di atas tetap mampu mendemonstrasikan loyalitas dan dukungan yang terus berlanjut atas Kesultanan dan Pakualaman. Forum ini, tetap fungsional sebagai forum pengukuhan dukungan terhadap Kesultanan dan Pakualaman Inilah modalitas dasar yang akan digunakan sebagai salah satu dasar dalam penyusunan RUU tentang Keistimewaan Yogyakarta.
Penggambaran detail mengenai kontinuitas corak sosio-psikologi masyarakat Yogyakarta di atas tidak menjadikan Kesultanan dan Pakualaman terisolasi dari perubahan sosial yang menjauhi pola-pola hubungan kesetiaan lama. Secara keseluruhan Kesultanan dan Pakualaman masih tetap menjadi sentrum, apalagi dalam ranah budaya. Tetapi, sejumlah pergeseran ke arah pola interaksi baru sedang dan akan terus berlangsung. Studi yang dilakukan Bayu Wahyono, dkk. (2001) menunjukan terjadinya perubahan fundamental pola loyalitas masyarakat pada Kesultanan.33 Penelitian lain yang juga dilakukan Bayu Wahono (2006) mengungkapkan terjadinya pergeseran nilai secara fundamental dalam masyarakat yang semakin menjauhi corak ideal masyarakat Yogyakarta di masa lalu. Nilai-nilai seumpama toleransi semakin jauh dari keseharian masyarakat. Sementara hash kajian Tim JIP mengungkapkan telah hadirnya wajah kedua masyarakat Yogyakarta, sebuah masyarakat yang lebih egaliter dengan jarak budaya yang cukup jauh dari Kesultanan dan Pakualaman. Masyarakat ini memiliki pola relasi yang berbeda dengan di masa lalu: adanya pembedaan antara hubungan budaya dan politik.
Rekaman yang dilakukan Tim JIP Fisipol UGM selama proses FGD (focus group discussion) dan Forum Panel Ahli34, pembacaaan terhadap hasil jajak pendapat35 dan wawancara,36 serta pembacaan terhadap proses


33 Hal ini dipertegas kembali oleh S. Bayu Wahyono dalam forum Panel Ahli, 11 Mei 2007 yang diperkuat hasil-hasil temuan P. M. Laksono yang juga disampaikan pada forum yang sama.
34 Hal ini ditegaskan oleh P. M. Laksono, Tadjuddin Nur Effendi, S. Bayu Wahyono, dan Ichlasul Amal, Ibid.
35 Lihat misalnya hasil jajak pendapat Kompas 17 April 2007 yang menunjukkan adanya penerimaan masyarakat terhadap kehadiran figur Gubernur di luar Sultan dan Paku Alam. Jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 70% responden setuju jika warga masyarakat luas boleh rnendaftarkan diri sebagai calon Gubernur DIY, dan 63,5% responden setuju jabatan Gubernur dipegang oleh masyarakat umum.
36 Hasil wawancara terhadap "wong cilik' yang dilakukan CLPDS mengenai sumber rekrutmen bagi Gubernur DIY ke depan mengungkapkan sikap permisif sejumlah warga untuk menerima kehadiran Gubernur yang bukan saja tidak secara otomatis dilekatkan pada Sultan dan Wakil Gubernur pada Paku Alam, tapi dapat berasal dari luar lingkungan keluarga dan kerabat Kesultanan dan Pakualaman. Lihat pula hasil wawancara Kompas





politik di ranah lokal37 mengungkapkan bagian lain masyarakat Yogyakarta telah dan sedang mengalami transformasi. Sebagian dari yang sedang mengalami transformasi ini telah meninggalkan pola-pola interaksi sebagaimana digambarkan di atas. Sementara sebagian lainnya, masih berada pada posisi yang sangat labil.38
Pergeseren-pergeseran sosial yang sedang terjadi di aras masyarakat, merupakan fakta penting dalam proses perumusan sebuah regulasi mengenai keistimewaan Yogykarta. Hal ini disebabkan karena rancangan keistimewaan Yogyakarta tidak semata-mata dimaksudkan untuk menengok ke masa lalu. Tetapi sekaligus hams memiliki kapasitas untuk menjawab perubahan sosial, memfasilitasi transformasi masyarakat dan didedikasikan untuk menyambut masa depan bagi kesejahteraan dan ketentraman rakyat dengan tetap merawat kontinuitas dan kekukuhan akar dari budaya luhur dan filosofi yang melekat dalam diri Yogyakarta. Hal-hal di atas disampaikan dengan jelas oleh Sultan HB X dalam pertemuan dengan Tim JIP, 18 April 2007. Inilah pertanyaan terbesar yang ingin dijawab melalui RUU Keistimewaan Yogyakarta.
5. Alasan Akademis-Komparatif
Pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah dari beberapa daerah merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang cukup umum ditemui dalam pengalaman pengaturan politik di banyak negara. Pengalaman ini berlangsung baik di dalam bentuk negara kesatuan yang didesentralisasikan, maupun dalam format pengaturan federatif. Dalam khasanah ilmu politik dan pemerintahan, pola pengaturan yang tidak sebanding ini disebut sebagai assymetrical decentralization, asymetrical devolution atau assymetrical federalis, atau secara umum assymetrical
13 April 2007, Kedaulatan Rakyat, 14 April 2007. Pandangan-pandangan di atas, berstatus minoritas dalam komparasinya dengan suara sebaliknya. Tetapi ha! ini memastikan sebuah proses perubahan gradual sedang berlangsung dalam masyarakat Yogyakarta yang membutuhkan ruang akomodasi dalam regulasi mengenai keistimewaan Yogyakarta.
37 Beberapa peristiwa politik di aras Yogyakarta dapat dipakai sebagai ilustrasi atau proxy indicator untuk menggambarkan hal ini, yakni kegagalan salah satu kerabat Kesultanan memenangkan kompetisi dalam Pilkada Bantul, kegagalan calon Bupati yang didukung Sultan HB IX dalam pilkada Sleman, serta berpindahnya otoritas pengendali partai Golkar di tingkat DPD DIY setelah memenangkan pertarungan dengan salah satu kerabat Kesultanan.
33 Hal terakhir ini tergambar dengan baik dari ambivalensi pandangan, bahkan dalam diri orang sama, yang disampaikan oleh sejumlah warga kebanyakan Yogyakarta dalam menanggapi Orasi Budaya Sri Sultan HB X. Lihat misalnya, rekarnan film CLPDS, serta hasil-hasil wawancara yang dilakukan Kompas, Kedaulatan Rakyat, dan Radar Jogja pasca pidato Kebudayaan Sri Sultan HB X, 7 April 2007 yang dikompilasi oleh Tim RUUK DIY Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM.


intergovernmental arrangements (Wehner, 2000:2). Secara prinsipil, berbagai bentuk penyebaran kekuasaan yang bercorak asimetris di atas merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dimaksudkan untuk mengatasi dua hal fundamental yang dihadapi suatu negara, yakni persoalan bercorak politik, termasuk yang bersumber pada keunikan dan perbedaan budaya; dan persoalan yang bersorak teknokratik-managerial, yakni keterbatasan kapasitas suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi dasar pemerintahan.
Pengaturan asimetris yang terkait dengan politik ditempuh sebagai strategi kebijakan untuk mempertahankan basic boundaries unit politik suatu negara dan atau sebagai aspresiasi atas keunikan budaya tertentu. Dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda, representasi minoritas pada level sub-nasional serta pemberian status keistimewaan/ khusus bagi satu daerah atau kawasan daerah dapat mendorong kelompok/daerah yang menuntut status keistimewaan/ kekhususan meniadakan/ meminimalkan kekerasan dan mempertahankan keutuhan wilayah. Konstitusi Spanyol tahun 1978 setelah jatuhnya Franco misalnya, menetapkan adanya historical rights" serta memberikan otonomi khusus dan dipercepat pada beberapa daerah, diantaranya Castile-Leon, Catalonia, Valencia. Basque salah satunya, memperoleh otonomi yang lebih dibanding daerah lain dan dipercepat. Setelah 30 tahun berjuang melalui sejumlah aksi kekerasan dan terorisme, menjelang dilaksanakannya regional elections Oktober 1998 organisasi separatis ETA mendeklarasikan gencatan senjata - sekalipun akhir Desember 2006 ETA melancarkan aksi pengeboman bandar udara Spanyol. Pemilu ini dimenangkan kaum nasionalis moderat, the Basque Nationalist Party, yang membantu gertlyawan mencapai kesepakatan gencatan senjata. Contoh lain dapat diambil dari pengalaman Kanada dalam mengatur keistimewaan Qubec dalam kesatuannya dengan Federasi Kanada (Beland & Lecours, 2006); Mindanao dalam kesatuan politiknya dengan Philipina; Sami Land dalam kesatuannya dengan Norwegia (Minde, 2001).
Rasionalitas politik pengaturan daerah secara asimetris tidak selalu dikarenakan faktor keberagaman etnis. Di Hongkong, misalnya, tidak ada perbedaan yang substansial antara orang Hongkong dengan orang Cina daratan. Daripada memberikan ijin pada Hongkong untuk mengelola sistem ekonominya, Cina memilih untuk membuat kesepakatan dengan Inggris dengan menetapkan status Hongkong sebagai special administrative region pada tahun 1997.
Alasan-alasan yang bercorak teknokratis-menejerial umumnya terkait dengan kapasitas pemerintahan daerah. Hal ini muncul ketika daerah tidak mampu menyampaikan atau menyediakan pelayanan publik secara memadai dan efisien sebagaimana daerah lain yang berada di level yang sama. Pendekatan asimetris memungkinkan pejabat pemerintah yang berwenang di tingkat nasional memaksimalkan rentang fungsi dan kekuasaannya. Rentang fungsi dan kekuasaan ini bisa dibatasi di kemudian hah apabila telah terbangun kapasitas yang cukup memadai. Untuk itu perlu dilakukan pengukuran terhadap kapasitas.




Dalam konteks perdebatan di atas, rasionalitas bagi pemberian status keistimewaan bagi Yogyakarta sebagai wujud kongkrit dari kebijakan desentralisasi yang bercorak asimetris mendapatkan pembenarannya. Dari sudut teori dan komparatif, pemberian keistimewaan bagi satu daerah atau kawasan dari beberapa daerah bersifat universal.
C. Prinsip-Prinsip Pengaturan Keistimewaan DIY
Pengukuhan status sebagai daerah istimewa melalui pengaturannya dalam UU Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak semata-mata dimaksudkan menjadikan Yogyakarta istimewa bagi dirinya sendiri, tapi juga menjadi istimewa bagi Indonesia. Hal ini untuk menegaskan kembali status unik DIY dalam kerangka Indonesia sebagaimana dibuktikan oleh perjalanan sejarah DIY dan Indonesia. Bagi Indonesia, keistimewan Yogyakarta terletak pada kontinuitas posisi DIY sebagai kekuatan transformatif dalam keseluruhan proses evolusi sejarah Indonesia. Peranan inilah yang harus dapat dilanjutkan di masa-masa datang. Dalam pengaturan mengenai keistimewaan Yogyakarta, demokrasi, kerakyatan, ke-bhineka-tunggal-ika-an, efektifitas pemerintahan, kepentingan nasional dan pendayagunaan kearifan lokal merupakan prinsip-prinsip atau asas-asas utama. Berikut ini akan dielaborasi masing-masing prinsip atau asas di atas.
1. Prinsip Demokrasi
Pengaturan keistimewaan merupakan peneguhan kembali sumbangsih Yogyakarta dalam mempelopori dan melembagakan proses demokratisasi sejak awal berdirinya republik ini. Dengannya, pengaturan mengenai keistimewaan Yogyakarta secara prinsipil dipagari oleh fungsinya sebagai lokomotif untuk mendorong proses demokrasi terus berlangsung, bukan saja di aras lokal, tapi juga aras nasional sebagaimana dibuktikan oleh sejarah DIY.
Secara normatif, penggunaan demokrasi sebagai prinsip didasarkan pada keyakinan bahwa demokrasi adalah sistem yang memiliki beberapa keunggulan serta dipercaya bisa mengatur tata cara pembuatan keputusan bersama yang paling sedikit kelemahannya dibandingkan sistem yang lain. Esensi demokrasi adalah adanya pengakuan, penghargaan dan persamaan hak-hak atas manusia secara universal. Sistem politik dan pemerintahan demokrasi secara sederhana diartikan sebagai pemerintahan yang memperoleh legitimasi dari rakyat, ditentukan oleh wakil-wakil rakyat dan diperuntukkan bagi kepentingan rakyat.
Dalam implementasinya sistem pemerintahan demokrasi ditandai dengan adanya pemilihan umum secara berkala dimana rakyat bebas menentukan pilihan atas calon-calon wakil rakyat. Karakteristik lainnya adalah sistem ini mengenalkan konsep pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif sehingga mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan pada satu
institusi. Pembaginan kekuasaan ini diikuti adanya mekanisme checks and balance di antara institusi-institusi yang ada disertai adanya mekanisme dan pelembagaan media untuk menyalurkan aspirasi rakyat, serta mekanisme dan saluran kelembagaan bagi rakyat untuk mengontrol perilaku kekuasaan.
Dalam konteks keistimewaan Yogyakarta, mekanisme checks and balance dilakukan antara lain melalui pemberian kewenangan kepada Parardhya untuk memberikan persetujuan dan penolakan atas kebijakan daerah yang terkait dengan substansi keistimewaan dan atas bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang telah memenuhi syarat kesehatan dan administrasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, serta kewenangan mengajukan pemberhentian gubernur yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Kewenangan-kewenangan tersebut ditambahkan pada kewenangan dan pola hubungan kewenangan antara eksekutif dan legislatif yang sudah ada. Sementara itu, kehadiran mekanisme dan pelembagaan media partisipasi dan kontrol rakyat diwujudkan antara lain melalui pendaya-gunaan dan pelembagaan media partisipasi dan kontrol publik yang berbasis budaya Yogyakarta seperti pepe dan pisowanan ageng.
Penggunaan demokrasi sebagai prinsip dalam pengaturan keistimewaan berangkat dari pemahaman atas sejarah dan budaya politik Yogyakarta sendiri. Demokrasi sebagai sebuah sistem nilai dan praksis kekuasaan, bukan barang asing yang dipaksakan hidup dalam tata-pengaturan politik Yogyakarta dan Indonesia secara umum. Sejak proklamasi kemerdekaan, para pendiri bangsa secara tegas menyatakan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi dengan Republik sebagai bentuk negara. Pernyataan ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 1 dan 2. Sedangkan manifestasi kedaulatan rakyat diwujudkan melalui pemilihan umum setiap lima tahun dalam bentuk kebebasan rakyat untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk di MPR dan DPR (UUD 1945 Pasal 2 ayat 1 dan 2). Para Wakil rakyat ini hingga tahun 1999 diberi kekuasaan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sejak Amandemen ke tiga UUD 1945 Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Sementara di aras lokal, terdapat banyak bukti yang memastikan bahwa Yogyakarta adalah bagian dari proses berdemokrasi ini sendiri, bahkan mendahului daerah lainnya di Indonesia. Nilai-nilai demokrasi melekat dalam falsafah, kaidah-kaidah, norma, aturan dan tatakrama kehidupan sehari-hari seperti tercermin nilai filosofis-religius simbolik yang diletakan oleh HB I, antara lain (Sri Suwito: 2007)39 adalah:
1. Falsafah Golong-Gilig yang diwujudkan dalam bentuk material berupa tugu yang melambangkan Manunggaling Kawula Gusti,





39Bandingkan juga dengan K.P.H Brongtodiningrat, Arti Kraton Yogyakarta, Museum Kraton Yogyakarta, 1978 dan GPH. Buminata, Serat Kuntaratama: Adeging Nagari Dalem Ngayugyakarta Hadiningrat (terjemahan), Praja Dalem Ngayugyakarta Hadiningrat, Yogyakarta, 1992.Bandingkan juga dengan versi Panitia Pengkajian Sejarah Pangeran Mangkubumi, Perjuangan Pangeran Mangkubumi, Sultan Hamengkubuwono I, Jakarta, Tanpa Tahun.











2. Falsafah Hamemayu Hayuning Bawono yang memberikan penekanan pada perilaku manusia yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian dan keseimbangan.
3. Fasafah Saw///, Greget, Sengguh dan Ora Mingkuh sebagai dasar dalam pembentukan watak kesatria yang pengabdiannya hanya ditujukan pada nusa, bangsa dan negara yang didasari oleh komitmen atas kebenaran, keadilan, integritas moral dan nurani yang bersih.
4. Perancangan tata-ruang melalui penciptaan poros imajiner Gunung Merapi - Tugu Golong-Gilig - Kraton yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan dan antara manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam;40
Perkembangan lebih kemudian, falsafah yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara (Kismoyo, 2004), yakni Hing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya mBangun Karso, Tut Wuri Handayani dalam konteks kepemimpinan memberikan penekanan lebih lanjut tanggung-jawab kepemimpinan demokratis. Falsafah Tahta Untuk Rakyat dari Hamengku Buwono Buwono IX kembali mempertegas falsafah kepemimpinan demokratik yang menandai Yogyakarta. Hal ini semakin dipertegas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono Buwono X dalam wawancara dengan Tim JIP mengenai sikap Berbudi Bawa Leksana seorang pemimpin yang harus senantiasa dilandasi oleh budi pekerti luhur.
Pembacaan lebih lanjut atas sejarah Yogyakarta mengungkapkan bahwa prinsip ini memiliki akar yang kuat. Proses demokratisasi justru dimulai dari Kesultanan dan Pakualaman. Hal ini terbaca dari jejak-jejak proses demokratisasi di lingkungan Kesultanan yang secara progresif dimulai sejak awal masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono Buwono IX41. Sebagian dari langkah beliau bahkan sangat revolusioner dan bertentangan dengan tradisi yang berlangsung selama ratusan tahun. Beberapa langkah Hamengku Buwono Buwono IX yang mencerminkan proses demokratisasi sekaligus proses defeodalisasi antara lain:
1. Memangkas jalur birokrasi formal melalui penghapusan peran patih dan institusi kepatihan
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Patih memegang peran setara dengan kepala pemerintahan dalam sistem Kerajaan, yang mengurusi urusan rumah tangga kerjaan dan bertindak sebagai penghubung antara Sultan di Kraton dengan dunia luar, Institusi Patih karenanya meliputi sistem organisasi yang beranggotakan para bangsawan yang menjalankan day to day politics di Kerajaan.


40 Lihat juga dalam Khairuddin, H, "Filsafat Kota Yogyakarta", Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1995.
41 Sugiono MP, "Sang Demokrat: Hamengku Buwono IX, Dokumen Setetah Sri Sultan Mangkat", Yayasan Budi Luhur Jakarta, 1988.Bandingkan juga dalam Dahana H, dkk, "Sri Sutan Hamengku Buwono IX, Sebuah Presentasi Majalah", Grafiti Press, 1988.





Penghapusan institusi Patih merupakan pemangkasan mata rantai struktur feodal secara massif, termasuk pemangkasan besar-besaran kekuasaan dan privelege yang dimiliki para bangsawan (Sumardjan, 1981:48-50).
2. Membuka akses masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
Setelah institusi patih dihapuskan, Sultan mengambil alih dan secara langsung terlibat dalam proses pemerintahan termasuk berunding dengan pejabat-pejabat negara serta menerima tamu dari berbagai kalangan. Langkah HB IX ini membuka luas akses publik yang sebelumnya sangat sulit berkomunikasi langsung dengan Sultan. Dengan ini HB IX merubah konsep institusi Raja yang awalnya selalu dicitrakan sebagai institusi sakral dan karenanya dijauhkan dari kontak langsung dengan rakyat yang dianggap dapat menciderai kesakralannya melalui pembukan akses bagi publik secara luas. Sultan mempelopori dibukanya akses bagi masyarakat menyampaikan aspirasinya secara langsung yang merupakan salah satu dasar dari prinsip demokrasi. (Sumardjan, 1981: 50-51)
3. Mengedepankan kesetaraan dengan penghapusan privileges kaum bangsawan
Upaya Sultan mengedepankan kesetaraan di antara seluruh warga masyarakat tercermin dari penghapusan berbagai privilege yang sebelumnya dinikmati para pangeran dan bangsawan dari berbagai level. Para pangeran, misalnya, dilarang menggunakan kereta kuda dengan roda berlapis emas, acara-acara seremonial seperti resepsi pernikahan atau khitanan keluarga bangsawan tidak lagi diselenggarakan dengan megah.
4. Pembentukan Balai Agung secara formal sebagai badan penasehat raja tetapi sesungguhnya sebagai badan legislatif informal.
Berbeda pada masa sebelumnya dimana Balai Agung dikuasai Bangsawan dan Menteri Kerajaan, di era Hamengku Buwono IX anggota Balai Agung dipilih melalui pemilihan umum dengan kartu suara rahasia (Sumardjan, 1981: 49)
Selain tercermin dari pola hubungan antara institusi pemerintah, antara pemerintah dan masyarakat maupun antara sesama warga masyarakat, nilai-nilai demokrasi juga tampak dalam lembaga-lembaga baik di tingkat istana maupun desa. Di tingkat istana, terda'pat lembaga musyawarah yang terdiri dari Sri Palimbangan (Dewan Pertimbangan), Pandhite Aji (Dewan Pakar), Sri Narendra (Raja), dan Nayaka Praja (Perangkat Kerajaan) dalam mempertimbangkan dan memutuskan suatu kebijakan. Di tingkat desa terdapat lembaga musyawarah serupa yang dinamakan rembug desa yang terdiri dari kepala desa, sesepuh atau kamituwo (orang yang dituakan) dan tokoh masyarakat yang dianggap mampu mengatasi persoalan hidup mereka (Kismoyo, 2004:114-115).


Eksistensi institusi-insitusi tradisional yang mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi pada masyarakat maupun pemerintahan menunjukkan bahwa demokrasi telah tumbuh dan berkembang di Yogyakarta sejak lama. Dalam beberapa aspek, prinsip-prinsip ini telah tumbuh jauh sebelum Republik Indonesia lahir meskipun setting sosial politik pada masa itu sarat dengan nuansa feodalisme Jawa. Pelembagaan pepe serta pesowanan ageng sebagai media kultural bagi rakyat untuk mengungkapkan aspirast dan sekaligus mengontrol kekuasaan misalnya, sudah mengakar dalam perjalanan Yogyakarta. Dalam penafsiran akhir-akhir ini, pesowanan ageng bahkan telah dibaca secara baru sebagai bentuk "daulat rakyat" yang dapat menggugurkan "daulat raja". Upaya yang lebih progresif berkembang semenjak masa Hamengku Buwono IX sejalan dengan proses de-feodalisasi besar-besaran yang dilakukannya.
Masih dari sudut sejarah, pembacaan Tim JIP Fisipol UGM memastikan Indonesia yang modern dan demokratis adalah cita-cita bersama yang terus disuarakan dan diformulasikan dalam konstitusi sejak republik ini berdiri. Kuatnya cita-cita ini telah mengantarkan Indonesia memasuki era reformasi dalam mana Yogyakarta memainkan peran sentral dalam keseluruhan proses yang berlangsung. Kesultanan dan Pakualaman membuktikan, keduanya berjalan dalam cita-cita yang sama, bahkan dalam sejumlah hal krusial, keduanya menjadi peletak dasar. Kesultanan dan Pakualaman, tidak bisa disangkal merupakan kerajaan feodal. Sebagai kerajaan feodal, corak strukturalnya yang bersifat hierarkhis dan anti-demokrasi pasti melekat dalam dirinya. Banyak kisah yang bisa diambil untuk membuktikannya42. Tetapi sejarah perkembangan kedua kerajaan ini, terutama dalam momentum-momentum kritis perjalanan dirinya - dan kemudian Indonesia - sekaligus mengungkapkan sisi lain: keduanya memiliki kapasitas untuk menyangkali watak feodalnya. Tahta Untuk Rakyat sebagai sebuah ide dan komitmen, serta berbagai kisah tentang sepak-terjang kedua raja, terutama Hamengku Buwono IX memastikan hal ini43. Lebih lagi, Kesultanan dan Pakualaman dalam beberapa segi juga muncul sebagai pioner dalam mendorong perkembangan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke arah sistem politik modern yang demokratis.
Hal terakhir di atas ditunjukkan antara lain melalui inisiatif pendirian Komite Nasional Indonesia di daerah (KNI) sebagai lembaga legislatif bahkan sebelum regulasi nasional (UU No. 1 tahun 1945) dikeluarkan yang menjadikannya sebagai lembaga legislatif daerah yang pertama di Indonesia. Segera setelah Indonesia Merdeka, tahun 1946 Sultan Hamengku Buwono IX bekerjasama dengan Badan Pekerja KNI membentuk Dewan Perwakilan


42 Hal ini diingatkan secara berulang oleh salah seorang nara sumber kami, Heru Nugroho dalam forum pemetaan pemikiran, 16 Maret 2007.
43 Pelacakan mengenai kehidupan politik Sultan HB IX terekam oleh Monfries, John Elliot, A Prince in A Republic, The Political Life of Sultan Hamengkubuwono IX of Yogyakarta, Desertasi Ph.D di Australian National University, Canberra Australia, 2005.




di setiap Kabupaten dan Kota Yogyakarta yang berfungsi sebagai Badan Legislatif,44 Hal ini sejalan dengan prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif sekaligus menjamin ruang bagi representasi rakyat. Demikian pula, puluhan tahun sebelum lembaga yang kini dikenal sebagai Badan Perwakilan Desa (BPD) diperkenalkan, Yogyakarta telah mempelopori kehadirannya.45 Di Yogyakartalah, lembaga legislatif di tingkat paling bawah ini dijumpai untuk pertama kali jauh sebelum ide ini diakomodasi melalui UU No. 22 tahun 1999. Hal ini dilakukan Sultan HB IX melalui penghapusan Dewan Desa yang terdiri atas para pemilik tanah dan dipertukarkan dengan pembentukan badan legislatif baru di tiap desa melalui pemilihan di kalangan warga desa baik laki-laki maupun perempuan yang berusia 20 tahun atau lebih. Terakhir, posisi DIY di garda terdepan dalam mengawali proses reformasi 1998 yang ditandai adanya Pisowanan Ageng adalah bukti lebih kontemporer. Tanpa visi dan komitmen tentang demokrasi, sulit dibayangkan inisiatif pembentukan KNI, kehadiran lembaga perwakilan desa, serta peristiwa Pisowanan Ageng dapat berlangsung. Sejumlah contoh lain dapat ditambahkan lagi. Tetapi yang ingin disampaikan adalah bahwa Yogyakarta adalah bagian integral, bahkan lokomotif dari perjalanan demokrasi Indonesia. Karenanya, penggunaan demokrasi sebagai prinsip dalam pengaturan keistimwaan Yogyakarta merupakan kelanjutan sejarah yang sudah mengakar jauh.
2. Kerakyatan
Kerakyatan adalah prinsip atau asas kedua yang digunakan dalam pengaturan keistimewaan Yogyakarta. Hal ini didasarkan pada dua pertimbangan utama, yakni sentralitas posisi rakyat Yogyakarta dalam sejarah Yogyakarta sebagai sebuah kesatuan masyarakat yang memiliki kehendak. Kedua adalah pengambilan posisi Kesultanan dan Pakualaman Yogyakarta sebagai institusi yang didedikasikan untuk rakyat,
Sentralitas posisi rakyat Yogyakarta dalam keseluruhan proses sejarah pembentukan bangsa dan negara Indonesia sudah didiskusikan ada bagian-bagian awal Naskah Akademik ini. Rakyat Yogyakarta sebagaimana



44 Perubahan status BP Komite Nasional Indonesia Daerah menjadi lembaga legislatif dapat dilihat dalam R. W. Prodjosoegardo, Buku Pegangan Pamong Pradja Daerah Istimewa Jogjakarta, Djawatan Pradja Daerah Istimewa Jogjakarta, 1950. Sultan HB IX dan Paku Alam VIII menegaskan " (B)ahwa Badan Pekerja tersebut adalah suatu badan legislatif yang dapat dianggap sebagai wakil rakyat untuk membikin Undang-Undang dan menentukan haluan jalannya pemerintahan dalam daerah kami berdua yang sesuai dengan kehendak rakyat'.
45 Bersamaan dengan proses penyatuan kelurahan yang menghasilkan kelurahan-kelurahan baru seperti Condong Catur, Catur Tunggal, Mino Martani, Wedho Martani, Selo Martani, Sido Arum, Sido Mulyo, dsbnya yang merniliki skala ruang dan penduduk yang lebih besar, pembentukan Dewan Perwakilan Desa dapat dibaca sebagai sebagai bagian dari persiapan ke arah pembentukan Daerah Otonom Tingkat Tiga.


diargumentasikan Djoko Suryo telah menjadi colllective historical actors dalam kerangka melawan penjajah dan mempertahankan kemerdakaan Indonesia. Tetapi lebih dari itu, rakyat Yogyakarta sekaligus adalah "induk semang" yang membentuk para mahasiswa, pemuda dan tokoh-tokoh pergerakan dari berbagai daerah untuk dua ha! penting: (1) menjadi kekuatan kolektif sejarah sebagaimana peran yang dimainkan oleh rakyat Yogyakarta dan (2) membentuk nilai-nilai ke-lndonesia-an - kebangsaan -sebagai dasar baru bagi perjuangan rakyat46.
Sementara itu, komitmen kerakyatan yang sangat kuat dari Kesultanan dan Pakualaman yang diekspresikan secara sangat jelas dari pengambilan posisi HB IX lewat pemikiran beliau "Tahta Untuk Rakyat" sebagaimana sudah didiskusikan pada berbagai bagian naskah Akademik ini. Komitmen yang sama bisa dipelajari dari praktek-praktek kongkrit di sekitar pemanfaatan tanah untuk kepentingan rakyat, dan masih banyak contoh lainnya.
Dari kedua argumen di atas, Tim JIP menangkap adanya titik temu di antara dua kekuatan penting Yogyakarta, yakni Kesultanan dan Pakualaman di satu sisi dan masyarakat Yogyakarta di sisi lain. Titik temu di antara keduanya adalah terletak pada ide kerakyatan. Karena alasan-alasan ini, maka perumusan mengenai keistimewaan Yogyakarta bukan saja harus dipagari oleh prinsip kerakyatan ini, tapi lebih lagi harus dapat berfungsi dalam memperkuat ide-ide kerakyatan ini. Hal ini dapat diwujudkan melalui berbagai instrumen, mulai dari pelibatan rakyat melalui media-media kultural yang tersedia, hingga pada penempatan kesejahteraan dan ketentraman rakyat47 sebagai tolok ukur tertinggi dalam menilai prestasi kerja Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
3. Ke-bhineka-tunggal-ika-an
Bhinneka Tunggal Ika adalah konsep yang paradoksal. Dalam kosep ini tersirat adanya keperluan entitas yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mengedepankan identitas masing-masing. Pada saat yang sama tersirat adanya keuntungan besar mengesampingkan identitas tersebut demi sesuatu yang lebih besar atau lebih penting. Obsesi mengedepankan identitas individual akan menihilkan urgensi mengejar


46 Djoko Suryo, Perspektif Sosial-Budaya Provinsi DIY dalam Perspektif Sejarah Nasional Lampau, Kini dan Mendatang, disampaikan dalam Sarasehan: Format Keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesia kerjasama UGM dengan Pengurus Daerah KAGAMA DIY, Yogyakarta, 9-10 Mei 2007.
47 Dua hal terakhir ini merupakan argumen dan sekaligus harapan paling menonjol yang bisa direkam oleh Tim JIP selama proses dtskusi dan konsultasi dengan berbagai pihak, baik yang berasal dari kalangan aktivis NGOs, kampus, maupun dari kalangan Kesultanan dan Pakualaman sebagaimana tergambar dari hasil konsultasi Tim JIP dengan Sultan HB X dan Paku Alam IX.




keuntungan kolektif (collective gain). Sebaliknya semangat mempersatukan berbagai entitas yang beragam pada gilirannya justru menyeret terjadinya berbagai bentuk penyeragaman. Oleh karena itu, perlu kecerdasan dan kearifan tersendiri untuk bisa mengelola paradoks tersebut48.
Sebagaimana halnya penyelenggaraan pemerintahan dalam skala nasional yang harus ditata di atas prinsip Bhinneka Tungga Ika, penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak bisa lepas dari keniscayaan itu. Berlakukan prinsip Bhinneka Tunggal Ika itulah yang menjamin ruang bagi setiap daerah untuk merancang sendiri tatanan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan lokal, dan dengan cara itulah bisa dibakukan tatanan yang variatif namun sama-sama memiliki kapasitas optimum untuk menjawab kebutuhan lokal. Keberhasilan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara, sebetulnya adalah konsekuensi dari aktualisasi kapasitas kelembagaan lokal yang, masing-masing memiliki keunikannya sendiri.
Keragaman tidak hanya terlihat dalam skala makro-nasional, melainkan juga dalam skala mikro Daerah Istimewa Yogyakarta. Sehubungan dengan hal ini menarik untuk dicatat bahwa dari waktu ke waktu, Daerah Istimewa Yogyakarta telah menjadi simpul pengelolaan kemajemukan identitas lokal yang melekat dari bangsa Indonesia. Dalam sejarahnya, Yogyakarta telah menjadi simpul penting pengelolaan semangat untuk bersatu dalam ikatan negara bangsa: Indonesia.
Reran sentral sebagai poros pengelolaan keragaman identitas terlihat dibalik identitasnya sebagai 'kota pelajar'. Dalam kapasitasnya sebagai sebagai kota pelajar, Yogyakarta mengasah keragaman identitas lokal maupun identitas parochial. Pelajar dan mahasiswa yang menuntut ilmu di Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana kita ketahui, berasal dari berbagai ikatan kedaerahan, masing-masing dengan identitas etnis dan keagamannya sendiri. Interaksi mereka dengan pelajar dan penduduk setempat dijalin dengan spirit saling menghormati dan menghargai. Kemantangan proses pengelolaan keragaman identitas melalui proses pendidikan ini justru memudarkan urgensi untuk memobilisasi identitas yang terwariskan (ascriptive): identitas kedaerahan, kesukuan dan keagamaan. Sejalan dengan proses itu terbakukanlah identitas bersama, yakni supra-daerah, lintas-etnis dan lintas-agama. Dalam situasi seperti ini persaingan antar individu tidak diperjuangkan melalui mobilisasi sentimen identitas yang terwariskan melainkan dimenangkan melalui adu kompetensi. Wal hasil, perpolitikan di Yogyakarta sama sekali tidak terseret arus untuk memprioritaskan 'putra daerah'. Kompetisi politik yang berlangsung sangat keras tidak dengan mudah meletupkan tindak kekerasan.



48 Kecerdasan dan kearifan lokal dalam kerangka mencapai Ke-Bhineka-Tunggal-lka-an tercermin juga dalam buku Sri Sutan Hamengku Buwono X, Mencapai Persatuan dan Keagungan Bangsa (Tawaran Alternatif Melalui Pendekatan Kultural), Inpedham, Yogyakarta, 2003.



Sejalan dengan fungsinya sebagai kota pelajar, Yogyakarta memiliki andil penting dalam mengelola keragaman identitas berbagai budaya. Yogyakarta adalah kota budaya: simpu! interaksi para aktivisme budaya mapun aktifis politik dari berbagai penjuru negeri ini. Yogyakarta bukan hanya memberi inspirasi kepada daerah lain tentang bagaimana mengelola keragaman melainkan juga menjadi tempat berbagai gagasan diperdebatkan dan dipertukarkan. Melalui pertukaran ide dan perdebatan konsep itulah proses saling asah, saling asih dan saling asuh benar-benar berlangsung dan kesamaan identitas sebagai bangsa Indonesia muncul ke permukaan.
Hal-hal di ataslah yang dijadikan sebagai prinsip dalam penyusunan UU keistimewaan Yogyakarta. Prinsip ke-bhinneka-tunggal-ika-an terungkap dalam berbagai bentuk. Pertama, tata kelembagaan pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam format yang dirancang dikedepankannya adanya figur yang memiliki kapasitas simbolik untuk mengikat keragaman dalam suatu sistem. Fungsi simbolik ini dijalankan lembaga baru yang dibentuk oleh undang-undang ini, yakni Parardhya49 Keistimewaan DIY. Pembentukan lembaga ini diinspirasi oleh bersatunya pemimpinan dari dua pemerintahan di masa lalu, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono dari Kesultanan dan Paku Alam dari Kadipaten Pakualaman. Mereka telah tampil sebagai dwi-tunggal dalam memimpin daerah dan telah memperlihatkan komitmen untuk menjadi satu kesatuan kepemimpinan. Sehubungan dengan hal ini, kepada partai-partai politik tetap terbuka ruang untuk menggalang berbagai identitas kolektif, namun pada titik tertentu harus bersatu dalam kepemimpinan Parardhya. Untuk memastikan Parardhya menjaga jarak yang sama kepada semua partai politik, para pejabat Parardhya dilarang untuk menjadi anggota ataupun pengurus partai politik.
Kedua, pengelolaan keragaman kepentingan dalam tata kelembagaan lokal. Keragaman tidak hanya terekspresikan di tataran elit, melainkan juga dalam tataran akar rumput (grass roofs). Tata pemerintahan DIY harus dirancang agar bisa mengoptimalkan kapasitasnya untuk mengelola




49 Istilah ini diusulkan Sri Sultan HB X dalam kesempatan konsultasi antara Tim JIP dengan beliau, 12 Juni 2007 di Kepatihan Yogyakarta untuk menggantikan Pengageng yang sebelumnya digunakan Tim JIP. Secara leksikal, Parardhya berarti "jumlah yang paling tinggi", PJ. Zoetmulder dan SO Robson, Kamus Jawa Kuno Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2004. Usulan Sultan HB X didasarkan pada pengalaman pengelolaan pemerintahan Yogyakarta sebelumnya dimana sebelum terbentuknya DPRD danjabatan Asisten Sekda, HB IX selaku gubernur mengangkat 5 orang untuk membantu beliau menjalan pemerintahan di Yogyakarta yang dikenal dengan sebutan Paniradhya Pati. Penggunaan sebutan parardhya, masih membutuhkan kajian lebih lanjut sebagaimana diingatkan Sultan HB X karena, seperti disampaikan GBPH Joyokusumo, Kompas 16 Juni 2007, isttlah ini tidak dikenal dalam struktur organises! keraton. Sebelumnya Tim JIP menggunakan Parardhya - yang masih digunakan di lingkungan Kesultanan bagi jabatan setingkat departemen yang dipegang seorang Pangeran - Keistimewaan. Parardhya Keistimewaan dipilih setelah Tim JIP melakukan pengkajian atas istilah-istilah lainnya, seumpama Wali Keistimewaan, Pemangku Keistimewaan, Para Nata Keistimewaan, dan Sultan.




keragaman identitas dan kepentingan di antara mereka. Oleh karena itu, Undang-udang yang disiapkan ini harus memberi ruang bagi Parardhya ikut memberikan sumbangan pemikiran dalam menetapkan tata kelembagaan yang tepat untuk itu.
Ketiga, dalam spirit penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai spirit, ke-bhinneka-tunggal-ika-an perlu diperlihatkan dengan dua hal: (a) keleluasaan untuk mengekpresikan identitas kelompok, dan (b) pelarangan untuk melakukan diskriminasi. Dengan berbegang pada prinsip ini tradisi multikulturalisme yang telah mengakar dalam budaya Yogyakarta akan bisa berfungsi. Dan dengan cara ini, fungsi sejarah Yogyakarta sebagai locus persemaian ke-bhineka-tunggal-ika-an akan terus berlanjut.
4. Efektifitas Pemerintahan
Testimonial sejarah yang berhasil dihimpun Tim JIP Fisipol UGM, hasil pembicaraan dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX serta pemahaman terhadap berbagai dokumen yang menyangkut DIY memastikan, tujuan paling fundamental dari keberadaan Kesultanan dan Pakualaman adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan ketentraman masyarakat. "Tahta untuk Rakyat" sebagaimana digambarkan oleh Sri Sultan HB IX merupakan kondensasi yang sangat padat mengenai pemihakan Kesultanan dan Pakualaman kepada rakyat. Inilah cita-cita dasaryang harus diteruskan dalam pengaturan mengenai keistimewaan Yogyakarta. Kesitimewaan Yogyakarta adalah keistimewaan bagi rakyat Yogya. Inilah prinsip keempat -- prinsip yang menekankan pada penciptaan sebuah tata-pemerintahan yang efektif bagi peningkatan kesejahteraan dan ketentraman masyarakat -- yang mendasari perumusan mengenai keistimewaan Yogyakarta.
Upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif mengandung konsekuensi adanya keharusan menciptakan pemerintahan yang berorientasi pada rakyat, transparan, akuntabel, responsifitas, partisipatif dan menjamin kepastian hukum. Manifestasi transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan ditandai dengan, antara lain, adanya jaminan kesempatan (akses) bagi masyarakat untuk dapat mengetahui aktivitas pemerintahan. Selain akses, transparansi juga sangat erat kaitannya dengan ketersediaan dan akurasi informasi. Sementara akuntabilitas terkait erat dengan pertanggungjawaban atas penggunaan otoritas (kekuasaan dan kewenangan) oleh pemerintah (pemimpin). Akuntabilitas, dengannya, merupakan proses aktif dimana lembaga-lembaga publik berkewajiban menginformasikan segala sesuatunya dan ada justifikasi terhadap segala perencanaan, tindakan dan hasil yang dicapai.
Responsifitas terkait dengan kapasitas pemerintah dalam merespon secara cepat dinamika, perkembangan, perubahan, dan tuntutan yang berkembang. Dengan cara seperti ini, akumulasi persoalan bisa dicegah dan aktivitas berperintahan akan selalu kontekstual. Sementara partisipasi



merupakan proses pelibatan masyarakat dalam keseluruhan proses kebijakan. Proses ini dapat memanfaatkan variasi media kultural yang telah mengakar dalam masyarakat Yogyakarta, seumpama media rembug desa, Pepe dan Pisowanan Ageng.
Di samping transparansi, akuntabilitas, responsifitas, dan partisipasi, penegakan hukum merupakan elemen pokok dalam penegakkan pemerintahan yang efektif. Untuk mendukung implementasi keempat hal di atas, adanya kepastian hukum dan aturan main yang tepat dan jelas merupakan faktor penentu. Implementasi akuntabilitas, transparansi, responsifitas, dan partisipasi tidak akan dapat beroperasi secara optimal tanpa adanya kerangka aturan main yang jelas dan tanpa diikuti penegakan hukum yang tegas.
Tata-kelola kepemerintahan yang efektif sebagaimana diuraikan di atas merupakan prinsip-prinsip yang dibangun di atas fondasi sistem sosial masyarakat modern. Namun demikian, sesungguhnya upaya yang dilakukan pemerintahan Kesultanan dan Kadipaten Pakualaman sebagaimana dibuktikan sejarah masing-masing, paralel dengan ide besar penciptaan tata pemerintahan yang efektif dalam kerangka kesejahteraan dan ketentraman warga.
Di antara berbagai pola pengorganisasian pemerintahan yang hingga kini masih relevan di Yogyakarta adalah pembagian unit administrasi pemerintah ke dalam unit Kabupaten,50 Kapanewon (setara Kecamatan), dan Kelurahan. Struktur yang ada, sebagaimana disampaikan Paku Alam IX efentif dalam menjalankan fungsi pemerintahan umum51. Di tingkat masyarakat, lurah dan kelurahan, dan bukan kepala desa dan desa, adalah struktur yang paling dikenal masyarakat, Bahkan struktur kelurahan yang terdiri dari lurah, carik, jagabaya, ili-ili serta modin merupakan struktur dan fungsi dasar yang dikenal luas masyarakat Yogya, terutama di kawasan pendesaan. Pengorganisasian ini ditujukan untuk memastikan bahwa pemerintahan dapat bekerja efektif bagi kesejahteraan dan ketentraman rakyat: Masing-masing unit pemerintahan bekerja berdasarkan logika kewilayahan dengan dipimpin oleh seorang eksekutif. Pada tingkat Kabupaten dikepalai Bupati yang diangkat dan bertanggungjawab secara langsung kepada Sultan atau Paku Alam. Di bawah Bupati ada Wedana yang mengepalai unit pemerintahan antara kabupaten dan kecamatan. Tingkat pemerintahan kecamatan dikepalai Panewu yang membawahi beberapa kelurahan dalam satu kapanewon. Panewu bertanggungjawab kepada Bupati melalui Wedana. Pada tingkat kelurahan, kelembagaan pemerintahan disusun dengan mengkombinasikan prinsip kewilayahan dan fungsi.



50 Untuk mencapai tingkat efektivitas dan efisiensi pemerintahan di tingkat kabupaten, sejak awal kemerdekaan Kabupaten Adikarta dan Kulon Progo disatukan menjadi Kulon Progo sementara Kabupaten Kalasan dan Sleman menjadi Kabupaten Sleman.
51 Wawancara dengan Sri Paduka Paku Alam IX, Kepatihan, 12 Juni 2007.









Beberapa perubahan cukup mendasar dalam pengorganisasian pemerintahan Yogyakarta terjadi pada masa Sri Sultan HB IX. Sejalan dengan semangat demokratisasi yang diusungnya, Sri Sultan HB IX berupaya meletakkan kerangka dasar sistem pemerintahan yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan dan ketentraman masyarakat melalui:
1. Optimalisasi peranan dewan pertimbangan kerajaan atau yang disebut dengan Sri Palimbangan Ageng yang terdiri dari: Amatyagana (Dewan Penasehat), Gupito Prawarapuro (Dewan Golongan Pembesar) dan Sri Wandawa Gupito (Dewan Keluarga). Dewan-dewan ini dimaksudkan sebagai filter kebijakan, sehingga keputusan yang diambil oleh Raja benar-benar memperoleh pertimbangan dari berbagai pihak.
2. Pembentukan berbagai Kawedanan dalam upaya membantu pelaksanaan fungsi-fungsi eksekutif.
Baik Sri Palimbangan maupun Kawedanan berfungsi menjalankan tugas memperkuat sekaligus mengawasi penyelenggaraan pemerintahan. Pada tahap berikutnya HB IX juga membentuk Panitia Pembantu Pamong Pradja (PPPP) guna membantu Panewu di setiap Kapanewonan. Pembentukan institusi ini dimaksudkan untuk membuka akses bagi masyarakat. Meskipun PPPP tidak berfungsi sebagaimana diharapkan namun hal ini jelas merupakan upaya memfasilitasi transparansi, akuntabilitas, responsifitas dan partisipasi bagi masyarakat pedesaan. Secara psiko-sosial, upaya ini sekaligus berdampak pada meningkatnya posisi sosial rakyat kebanyakan dan memperpendek kesenjangan sosial antara kawula dan gusti. Pada tingkat yang paling dasar, transformasi RT/RW dari fungsi intelijen menjadi fungsi pelayanan semakin mengukuhkan posisi sejarah kelembagaan di Yogyakarta sebagai sejarah kelembagaan politik modern yang demokratis.
Hal-hal di ataslah yang ingin direvitalisasi melalui pengaturan mengenai keistimewaan Yogyakarta agar peran DIY dapat terus berlanjut dan menjadi sumbangan bagi Indonesia yang lebih luas.
5. Kepentingan Nasional
Yogyakarta adalah Indonesia dan Indonesia adalah Yogyakarta. Karenanya, secara prinsipil setiap mengaturan mengenai Yogyakarta harus sekaligus melayani kepentingan Indonesia52, dan sebaliknya. Salah satu kepentingan paling dasar dari Indonesia sebagai sebuah entitas politik adalah terjaganya integritas Indonesia sebagai sebuah kesatuan sosial, politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan. Pengaturan tentang keistimewaan Yogyakarta harus dapat berfungsi untuk memenuhi kepentingan dasar Indonesia ini. Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan,
52 Hal ini juga dipertegas oleh baik Sultan HB X maupun Paku Alam dalam wawancara dengan Tim JIP.




keinginan mendapatkan perlakukan khusus atau istimewa kini dimunculkan sejumlah daerah (propinsi) dengan mengklaim keunikan sosial, ekonomi maupun kultural sebagai dasarnya. Karenanya, bisa diduga sejak awal kehendak untuk menegaskan kembali posisi istimewa bagi Yogyakarta dapat menjadi pemicu yang akan menimbulkan efek domino bagi daerah lain untuk mereplikasi dan mencari justifikasi bagi daerah masing-masing. Untuk mengantisipasi hal ini, rumusan tentang keistimewaan Yogyakarta harus diletakkan dalam kerangka kepentingan nasional secara luas sehingga penegasan kembali status keistimewaan Yogyakarta tidak menjadi alasan bagi merebak dan meluasnya tuntutan serupa dari daerah lain.
Prinsip ini akan ditegakkan dengan cara memusatkan perhatian pada dimensi paling spesifik dari keistimewaan Yogyakarta yang unik dalam dirinya sendiri yang tak mungkin ditemukan dalam pengalaman daerah lain. Kalau dilihat dari runtutan kesejarahan Indonesia maka kita akan bisa menemukan bahwa keistimewaan Yogyakarta lahir karena sumbangan unik dan tak terhingga dari Yogyakarta bagi politik nasional. Sejak awal berdirinya Republik Indonesia, Yogyakarta telah memainkan fungsinya sebagai katalisator dari stabilitas sistem politik secara keseluruhan. Keputusan politik Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII untuk menjadikan Yogyakarta sebagai bagian yang tunduk pada otoritas politik NKRI sebagai negara baru adalah langkah krusial yang memungkinkan embrio negara Indonesia bisa terus bertahan dan tumbuh berkembang. Seperti yang telah disebutkan, Yogyakarta di awal kemerdekaan adalah daerah pertama yang mengisi secara riil (dengan wilayah dan penduduknya) klaim Rl yang pada waktu itu belum secara jelas menggariskan otoritas dan kedaulatannya.
Karakter keistimewaan lain dari Yogyakarta yang tak bisa ditemukan di daerah lain adalah kontribusi Yogyakarta dalam mempertahankan eksistensi Rl dengan beberapa momentum, misalnya kesediaan Yogyakarta untuk dijadikan sebagai ibu kota Rl di masa revolusi tatkala sistem kepemerintahan yang ada di Jakarta tidak bisa dijalankan akibat okupasi Belanda. Hal ini masih ditambah dengan adanya Serangan Oemoem 1 Maret yang menjadi momen penting atas masih eksisnya Rl manakala Belanda mengklaim bahwa Indonesia sudah habis.
Momen-momen sejarah di atas merupakan pilar keistimewaan yang tidak ditemukan dalam pengalaman daerah lain; momen yang memungkinkan terjaganya eksistensi dan stabilitas sistem politik Indonesia secara keseluruhan. Dengan gambaran itulah, maka upaya pengaturan keistimewaan akan pertama-tama ditempatkan pada penciptaaan nalar stabilitas sistem politik nasional seperti yang telah dilakukan Yogyakarta di masa lalu. Stabilitas sistem politik nasional merupakan salah satu ukuran dalam mengatur status keistimewaan Yogyakarta.
Sementara dari sudut kepentingan Yogyakarta, stabilitas sistem sosial, termasuk sistem pemerintahan secara keseluruhan merupakan kebutuhan fundamental. Harmoni sosial sebagai refleksi dari stabilitas sistem sosial secara makro telah menjadi kharakter sosiologis khas Yogyakarta.


Corak masyarakat yang harmonis inilah yang telah disumbangkan Yogyakarta bukan saja bagi masyarakatnya, tapi juga masyarakat Indonesia secara umum. Hal ini juga diungkapkan secara berulang oleh Sri Sultan HB IX dalam berbagai kesempatan. Yogyakarta memiliki modal sosial yang melekat dalam sistem nilai dan budaya yang sangat dalam yang memungkinkannya memiliki kapasitas untuk mengelola kemajemukan sambil menyumbangkan corak kepemimpinan berbasis kultural yang dapat mengayomi kemajemukan yang ada. Pengaturan mengenai keistimewaan Yogyakarta, dengannya, akan difungsikan untuk mengukuhkan corak sosiologis ini, dan bukan sebaliknya untuk menciptakan persoalan sosial baru yang dapat mengganggu harmoni sosial yang sudah terbentuk.
Hasil evaluasi Tim JIP terhadap perkembangan masyarakat Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir mengindikasikan, wacana Keistimewaan dalam batas-batas tertentu telah mulai bertukar kharakter menjadi titik sengketa dan sumber fragmentasi di antara elemen-elemen masyarakat.53 Ketidakjelasan regulasi tentang substansi keistimewaan telah memunculkan perdebatan yang pada akhirnya diwarnai dengan tingkat mobilisasi politik yang cukup massif. Pertarungan wacana tentang substansi keistimewaan pada dasarnya adalah hal yang wajar berkembang dalam alam demokrasi. Namun, pertarungan wacana ini dalam kenyataannya tidak bergerak dalam proses dan prosedur yang lancar. Ini misalnya bisa dilihat dalam kasus pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY di tahun 1998, tahun 2001 dan tahun 2003 yang selalu diwarnai dengan pengerahan massa oleh kelompok-kelompok yang berkepentingan.
Berkaca dari pengalaman ini, maka upaya merumuskan regulasi mengenai substansi keistimewaan juga akan memperhatikan secara serius prinsip stabilitas sosial di dalam masyarakat Yogyakarta. Perumusan UU mengenai keistimewaan, tidak boleh mengalami kemerosotan yang berujung pada terjadinya fragmentasi sosial dan politik di dalam masyarakat. Hal ini akan dilakukan melalui pengkajian yang sangat hati-hati atas pembilahan pemikiran mengenai isu keistimewaan, terutama antara bagian masyarakat yang menginginkan lestarinya tradisi kebudayaan lokal sebagaimana adanya dan mereka yang menginginkan perubahan ke arah tatanan modern yang demokratis. Kebutuhan untuk mendamaikan dua ketegangan ini dan sekaligus mencari jawaban alternatif yang lebih masuk akal merupakan hal yang penting, sekalipun tidak mudah diwujudkan.
Penciptaan tatanan demokratis yang mengedepankan rasionalitas politik kini menjadi tuntutan jaman yang tak bisa lagi dihindari. Sekalipun tradisi berdemokrasi melekat dalam diri Kesultanan dan Pakualaman





53 Maraknya perdebatan publik mengenai wacana keistimewaan Yogyakarta di satu sisi dapat dibaca sebagai ekspresi dari dinamika dalam masyarakat yang harus disyukuri, tapi pada saat yang bersamaan, pergeseran wacana mulai memasuki kawasan yang selama sekian lama tidak pernah menjadi isu dalam masyarakat, misalnya isu Yogya asli dan bukan Yogya asli. Lihat misalnya, pernyataan paguyuban lurah DIY tentang hal ini dalam Kompas 9, 13 April 2007 dalam Kedaulatan Rakyat 10,11 April 2007.



sebagaimana digambarkan pada bagian sebelumnya, fakta-fakta yang dihimpun Tim JIP Fisipol UGM dari lapangan mengindikasikan masih kuatnya semangat mendikotomikan Kesultanan dan Pakualaman dengan demokrasi, baik sebagai nilai maupun sebagai praktek kekuasaan. Tim JIP menangkap di satu sisi kuatnya kebutuhan dan keinginan akan identitas diri sebagian besar warga Yogyakarta telah dimaknai secara gegabah oleh sejumlah warga masyarakat sebagai kehendak untuk menafikkan demokrasi. Sementara di sisi lain, keinginan yang kuat untuk mewujudkan demokrasi oleh sebagian warga lainnya telah dibaca oleh pihak yang lain sebagai usaha sistimatis menghancurkan identitas Yogyakarta dengan menginstalasi gagasan asing ke dalam tatanan Yogyakarta.
Suasana psiko-sosiologis seperti digambarkan di atas yang kini sedang berkembang di Yogyakarta. Tetapi terlepas dari hal di atas, Tim JIP Fisipol UGM juga menemukan sejumlah titik temu yang memungkinkan sebuah pengaturan yang dapat menjawab perkembangan psiko-politik di atas. Sejumlah titik temu yang melahirkan optimisme itu dapat dicapai melalui rekayasa metode perumusan regulasi dengan mengkombinasikan metode berbasis aspirasi - kehendak mayoritas masyarakat - dengan metode yang bersifat antisipatif yang menekankan pada imajinasi tentang masa depan Yogyakarta yang ideal yang bertumpu pada realitas sejarah.54 Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk menemukan titik keseimbangan antara "utopia rakyat" dan "Utopia raja" yang kini menyandera proses pedebatan mengenai keistimewaan Yogyakarta.
Hasil telaah dan proses penjaringan input yang dilakukan Tim JIP, dengan sangat jelas merekam kuat dan luasnya basis yang dapat digunakan untuk mengoperasionalkan pendekatan di atas. Hal ini antara lain terlihat dari adanya kesamaan kebutuhan masyarakat untuk memiliki identitas dengan Kesultanan dan Pakualaman sebagai simpul dan simbol budaya yang utama, kuatnya kehendak bersama untuk menjaga kohesifitas sosial sebagai ciri sosiologis masyarakat Yogyakarta, kuatnya obsesi bersama menempatkan Yogyakarta sebagai locus pembelajaran bagi Indonesia untuk banyak hal -tempat pembelajaran mengenai pengelolaan kemajemukan, kepemimpinan, budaya luhur - kuatnya kehendak bersama untuk menjaga kelangsungan ide



54 Operasionalisasi metode aspiratif ini daiam konteks keistimewaan Yogyakarta dapat ditemukan dalam berbagai ekspresi, mulai dari pernyataan pendapat, demonstrasi, jajak-pendapat, keputusan peralemen, hingga pada referendum sebagaimana diusulkan beberapa pihak akhir-akhir ini, Kompas 16 dan 18 April 2007. Referendum sebagai metode juga digunakan dalam pengalaman Norwegia tahun 1908 dalam menetapkan bentuk pemerintahan pasca mereka melepaskan diri dari Union dengan Denmark dimana mayoritas warganya memilih bentuk pemerintahan kerajaan konstitusional. Tetapi referendum yang diselenggarakan di Norwegia dilakukan dalam situasi absennya kerajaan untuk jangka waktu ratusan tahun. Dalam konteks Yogyakarta menjadi penting untuk tetap bertumpu pada "kehendak mayoritas rakyat", tapi sama pentingnya adalah didasarkan juga pada idealisasi mengenai masa depan Kesultanan dan Pakualaman sebagaimana dapat dilacak dari berbagai pemikiran dan praktek kekuasaan yang telah dan sedang dilakukan para Sultan dan Paku Alam.









besar Tahta Untuk Rakyat; kuatnya kehendak untuk menempatkan Yogyakarta sebagai motor transformasi masyarakat dan penggerak demokrasi; dan secara umum kuatnya kehendak untuk menempatkan Yogyakarta sebagai penyelamat Indonesia sebagaimana telah dilakukannya dalam perjalanan sejarah genting bangsa. Inilah modal-modal besar yang ditemukan Tim JIP dalam beberapa bulan terakhir ini yang akan diintegrasikan sebagai bagian dari perumusan mengenai substansi keistimewaan Yogyakarta.
6. Pendayagunaan Kearifan Lokal
Upaya meneguhkan kembaii status keistimewaan Yogyakarta sangat terkait dengan penegasan kembaii peran Kesultanan dan Pakualaman sebagai entitas kultural yang secara berkesinambungan menjadi katalis bagi dinamika masyarakat Yogyakarta. Oleh karena itu, pengaturan keistimewaan Yogyakarta akan diletakkan sebagai bagian dari prinsip kontinuitas peran kultural ini sehingga Kesultanan dan Pakualaman yang merupakan warisan budaya bangsa dan dunia tetap relevan dengan perkembangan hari ini dan masa datang. Ini berarti, pengakuan dan peneguhan peran Kesultanan dan Pakualaman tidak dilihat sebagai upaya pengembalian nilai-nilai dan praktek feodalisme sebagaimana digugat sejumlah kalangan, melainkan sebagai upaya menghormati, menjaga dan mendayagunaan kearifan lokal yang telah berakar lama dalam kehidupan sosial dan politik di Yogyakarta dalam konteks kekinian dan masa depan.
Salah satu dimensi yang perlu dilestarikan dalam keistimewaan Yogyakarta dalam konteks pendayagunaan kearifan lokal adalah tata-cara pengelolaan politik dalam keraton. Dari pelacakan sejarah pengelolaan internal (politik dan kekuasaan) keraton ditemukan adanya pemisahan pengelolaan politik yang bersifat keseharian (daily politics) dengan politik yang bersifat strategis (high politics). Urusan politik dan pemerintahan sehari-hari, menjadi ranah yang disediakan bagi pejabat dengan kombinasi tingkat kompetensi dan loyalitas yang tinggi yang direpresentasikan oleh Patih. Sementara perkara-perkara yang sifatnya strategis tetap berada di tangan raja. Hal ini menggambarkan bahwa dalam sejarah tata kepemerintahan Yogyakarta upaya pemisahan dua wilayah tersebut bukanlah hal baru. Meski sangat terkait dengan desain birokrasi kolonial, akan tetapi fenomena pemisahan daily politics dan high politics adalah bagian dari dinamika tata kepemerintahan Kesultanan dan Pakualaman yang mencoba febih responsif terhadap kebutuhan jaman. Meskipun posisi kepatihan di masa selanjutnya dihilangkan, tetapi perubahan tersebut justru menegaskan bahwa perubahan tata kepemerintahan adalah sesuatu yang sangat dimungkinkan.
Dalam tataran kebudayaan, Yogyakarta memiliki tradisi mengutamakan nilai-nilai kerakyatan. Konsep manunggaling kawulo gusti maupun tahta untuk rakyat bisa diinterpretasikan sebagai gagasan yang menyatakan bahwa kekuasaan raja pada dasarnya merupakan amanat yangditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Nilai-nilai keutamaan bagi rakyat, yang secara tegas tercermin dalam gagasan-gagasan Hamengku Buwono IX, merupakan fondasi penting dalam pembentukan nilai-nilai politik dan kepemimpinan Indonesia modern, seperti nilai tentang kerakyatan dan tanggung-jawab pemimpin. Dalam sejarah Yogyakarta nilai-nilai ini, misalnya, terwujud dalam upaya perlindungan atas masyarakat Yogyakarta yang dilakukan Sri Sultan HB IX pada masa pendudukan bala tentara Jepang yang terancam dijadikan Romusha. Dengan argumen bahwa Sultan membutuhkan tenaga kerja dalam pembangunan Selokan Mataram, Sri Sultan HB IX berhasil meyakinkan Jepang untuk tidak melibatkan mereka ke dalam kegiatan Romusha. Contoh lain yang menggambarkan kuatnya nilai-nilai kerakyatan Sri Sultan HB IX ditunjukkan melalui peran beliau dalam mendirikan Universitas Gadjah Mada (UGM). Kesediaan Sultan menyediakan Keraton mulai dari Pagelaran sampai Bangsal Witana untuk kepentingan UGM adalah wujud nyata dari nilai-nilai kerakyatan yang melekat dalam diri seorang raja Yogyakarta.
Kearifan lokal lain yang langsung berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat adalah pengelolaan pertanahan. Dalam prakteknya, tanah-tanah Kesultanan dan Pakualaman dimanfaatkan untuk seluas-luasnya kepentingan masyarakat, baik untuk tempat tinggal maupun untuk tempat berproduksi. Tanah telah memainkan fungsi yang sangat kompleks dalam pengalaman Yogyakarta, yang -berbeda dengan kebanyakan kerajaan feodal yang sepenuhnya mengandalkan tanah sebagai basis material penopang kelangsungan hidup kerajaan - menekankan pada fungsi perlindungan sosial dan ekonomi masyarakat kecil. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan adanya konsep magersari. Sentralitas posisi tanah Keraton dan Pakualaman dalam melindungi kepentingan masyarakat kecil menyebabkan munculnya kecemasan di sejumlah kalangan masyarakat pedesaan. Hasil temuan Tim JIP menunjukan, sebagian warga mencemaskan masa depan status tanah Kesultanan yang mereka kerjakan jika terjadi perubahan status keistimewaanYogyakarta.55 Orientasi pengelolaan yang berbasis pada kepentingan rakyat ini yang tidak banyak ditemukan dalam tradist kerajaan-kerajaan lain di Indonesia. Hal ini sekaligus membuktikan kuatnya komitmen kerakyatan dalam tradisi Kesultanan Yogyakarta.56
Berangkat dari kenyataan tersebut maka adalah wajib hukumnya untuk mendaya-gunakan kearifan budaya lokal sebagai prinsip fundamental dalam merumuskan substansi keistimewaan Yogyakarta: Hal ini semakin penting karena studi komparasi yang dilakukan Tim JIP Fisipol UGM atas sejumlah monarkhi konstitusional memastikan, keinginan menjemput masa



55 Hasil FGD yang diselenggarakan oleh IRE di Kabupaten Bantul, 14 April 2007.
56 Bandingkan juga dalam Kuntowijoyo, Masatah Tanah dan Runtuhnya Mitos Negara Budiman, Lembaga Penyadaran Rakyat Pedesaan, Yogyakarta, 1992.






depan dan menjawab perubahan jaman, membutuhkan fondasi yang melekat dalam kultur dan tradisi masyarakat untuk dapat berhasil. Jalan inilah yang akan diikuti oleh Tim JIP Fisipol UGM dalam menyusun RUU Keistimewaan Yogyakarta.
D. Substansi Keistimewaan Yogyakarta
Mengalir dari alasan-alasan berikut prinsip-prinsip pengaturan mengenai keistimewaan sebagaimana digambarkan pada bagian-bagian sebelumnya, substansi keistimewaan Yogyakarta dilekatkan secara kumulatif pada empat bidang penting, yakni masing-masing, bidang politik, pemerintahan, kebudayaan dan pertanahan, termasuk penataan ruang.
1. Bidang Politik dan Pemerintahan
Substansi dari keistimewaan Yogyakarta terletak pada keistimewaan Yogyakarta dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah - selain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah - yang meliputi pertama, pengakuan secara legal posisi Kesultanan dan Pura Pakualaman sebagai warisan budaya bangsa (national heritage). Dalam posisi sebagai warisan budaya bangsa, Kesultanan dan Pakualaman mempunyai (a) fungsi sebagai pengawal, pelestari, dan pembaharu aset dan nilai-nilai budaya asli Indonesia sebagai warisan budaya dunia; (b) hak sebagai konsekwensi dari pengakuan atas keduanya sebagai warisan budaya bangsa yang memiliki fungsi, tugas, dan kewajiban tertentu. Hak ini diwujudkan melalui hak keuangan yang diberikan pemerintah nasional dan pemerintah provinsi melalui APBN dan APBD. dan (c) tugas dan kewajiban melakukan konsolidasi (inventarisasi, klasifikasi, dokumentasi) aset dan nilai-nilai warisan budaya serta memelihara semua aset dan nilai-nilai warisan budaya sehingga tetap relevan dengan perubahan jaman.
Kedua, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki bentuk dan susunan pemerintahan yang berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia. Hal ini didasarkan pada dua pertimbangan pokok. Pertama, keistimewaan yang dimiliki Yogyakarta membutuhkan adanya kelembagaan yang dapat mengelolanya dengan sebaik-baiknya agar dapat mencapai tujuan keistimewaan itu sendiri. Kedua, Yogyakarta, sebagaimana diindikasikan pada bagian sebelumnya, telah memiliki kelembagaan pemerintahan yang efektif untuk jangka waktu yang sangat lama. Karenanya, substansi keistimewaan dalam bidang ini akan memberikan kesempatan pada pemerintah Provinsi Daerah Istmewa Yogyakarta untuk merevitalisasi kelembagaan yang dimiliki bag! kepentingan masyarakat luas.
Perbedaan pokok bentuk dan susunan pemerintahan terletak pada pengintegrasian Kesultanan dan Pakualaman ke dalam struktur pemerintahan Provinsi DIY dan sekaligus pemisahan antara wewenang dan struktur pengelola urusan politik dan pemerintahan sehari-hari denganurusan politik strategis. Pengintegrasian Kesultanan dan Pakualaman ke dalam struktur pemerintahan Provinsi DIY dilakukan melalui pemberian wewenang, berikut implikasi-implikasi yang melekat di dalamnya kepada Sultan dan Pakualam sebagai satu kesatuan politik yang berfungsi sebagai Parardhya bagi Keistimewaan DIY.
Konsekuensi dari pemberian wewenang kepada Kesultanan dan Pakualaman adalah bahwa Paugeran yang mengatur tata-cara menghasilkan Sultan dan Paku Alam harus menjadi dokumen publik. Demikian pula, karena sumber rekrutmen sebagai Sultan dan Paku Alam adalah terbatas pada keturunan Raja, sementara fungsi sebagai Parardhya keistimewaan membutuhkan pemenuhan sejumlah syarat tertentu - usia dan pendidikan misalnya -- agar dapat berfungsi dengan baik, maka perlu dirumuskan skenario untuk mengantisipasi situasi di mana syarat-syarat yang dtharuskan tidak dapat terpenuhi. Sejarah Kesultanan Yogyakarta menunjukan adanya Sultan yang masih sangat belia dalam usia57 dan karenanya tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai Raja. Dalam kondisi seperti ini, kehadiran seorang "wali" atau "dewan perwalian" sebagai pendamping, berikut syarat-syarat yang diatur dalam Paugeran harus pula menjadi dokumen publik. Hal yang sama pentingnya adalah publikasi dari Paugeran yang mengatur posisi Sultan atau Paku Alam dalam situasi di mana keduanya tidak dapat menjalankan fungsi - karena sakit keras, misalnya. Hal ini penting karena tidak dikenalnya pembatasan masa jabatan bagi seorang Raja. Hal-hal di atas diperlukan sebagai basis bagi masyarakat dan pemerintah nasional dalam menentukan legitimasi seorang Sultan dan Paku Alam dalam situasi terjadi konflik internal atau dalam situasi dimana seorang Sultan atau Pakualam tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai Parardhya.
Sementara itu, pemisahan antara struktur penyelenggara pemerintahan sehari-hari dan pemegang otoritas politik strategis dilakukan melalui pemisahan antara Kesultanan dan Pakualaman sebagai institusi kebudayaan dengan pemerintah propinsi dan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan sehari-hari. Sebagai penyelenggara pemerintahan sehari-hari, di samping kewenangan istimewa dalam bidang politik dan pemerintahan, serta kebudayaan, pertanahan, dan penataan ruang, Pemerintah DIY dan DPRD memiliki seluruh kewenangan pemerintahan kecuali yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi urusan Pemerintah.



57 Ketika GRM Ibnu Jarot naik tahta sebagai HB IV, usia beliau baru 13 tahun. Karenanya dibentuk Dewan Perwalian yang terdiri dari bupati Danurejo IV, KRT Pringgadiningrat, KRT Ranadiningrat dan KRT Martanegara. Dewan ini pada akhirnya ditolak oleh Raffless, karenanya fungsi sebagai Wali digantikan oleh Paku Alam pada tahun 1814. Putra Mahkota KGP Adipati Anom juga meninggal pada usia masih kecil dan digantikan oleh adiknya GRM Gatot Menol. Karena usianya yang baru 3 tahun dibentuk Dewan Perwalian yang terdiri dari nenek beliau, Ibu beliau, Pangeran Mangkubumi (Putra HB II) dan P. Diponegoro (Putra HB III).






Dalam rangka penyelenggaraan Keistimewaan di Propinsi Dl Yogyakarta ditetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono dari Kesultanan dan Adipati Paku Alam dari Pura Pakualaman yang bertahta secara sah sebagai Parardhya Keistimewaan. Parardhya menjalankan fungsi sebagai pelindung, penyayom, dan penjaga budaya, serta simbol pemersatu masyarakat Yogyakarta.
Pemberian keistimewaan dalam bidang pemerintahan di atas didasarkan pada sejarah asal usul kepemimpinan Yogyakarta yang berasal dari lingkungan Kesultanan dan Pakualaman yang telah mendapatkan pengakuan baik legal maupun sosial dari masyarakat.
Di samping itu, pemerintahan Yogyakarta juga memiliki kelembagaan pemerintahan yang berbeda, sesuai dengan kekhususan yang melekat dalam dirinya. Kewenangan merumuskan dan membentuk kelembagaan pemerintahan mulai dari tingkat provinsi hingga pada tingkat desa atau kelurahan dijamin melalui UU Keistimewaan Yogyakarta berada sepenuhnya di tangan otoritas politik Provinsi DIY. Hal ini untuk memberikan ruang yang cukup bagi pemerintah DIY untuk merancang kelembagaan pemerintahan daerah yang sepenuhnya dapat mencerminkan keistimewaan yang melekat dalam dirinya.
Pemberian wewenang menetapkan kelembagaan pemerintahan tersendiri memiliki penjelasan yang sangat kuat. Kesultanan dan Pakualaman merupakan sistem politik yang telah memiliki struktur kelembagaan yang lengkap bahkan hingga ke tingkat terbawah masyarakatnya. Masuknya Yogyakarta ke dalam NKRI tidak dengan sendirinya menggugurkan keberadaan berbagai institusi yang ada. Lebih dari sekadar memiliki kelembagaan yang lengkap dengan usia yang sangat panjang, kelembagaan yang ada telah terbukti efektif dalam melayani kepentingan publik, dalam memfasilitasi partisipasi dan kontrol publik, dan dalam mentransformasi masyarakat ke arah yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Ketiga, dalam ranah politik, kekhususan Yogyakarta terletak pada sumber dan proses rekrutmen Gubernur. Pengalaman pengelolaan Yogyakarta sejak kemerdekaan dan sekligus pengaturan melalui UU No. 3 Tahun 1950 menunjukan sumber rekrutmen Gubernur DIY dibatasi hanya dari lingkungan keluarga dan kerabat keraton. Sementara sumber rekrutmen bagi Wakil Gubernur dibatasi pada lingkungan keluarga dan kerabat Pakualaman. Hanya saja, bagi kepentingan ke depan terdapat tiga kemungkinan skenario. Skenario pertama, sumber rekrutmen bersifat tertutup yang dibatasi pada kerabat dan keluarga Keraton dan Pakualaman. Skenario kedua sumber rekrutmen didasarkan pada prinsip-prinsip monarkhi konstitusional dimana kerabat dan keluarga Keraton dan Pakualaman dikecualikan. Skenario ketiga adalah sumber rekrutmen bersifat terbuka dengan prinsip-prinsip kewarga-geraaan sebagai pembatasnya. Setiap warga negara, termasuk dari lingkungan keluarga dan kerabat Keraton danPakualarnan dijatnin hak politiknya untuk menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Masing-masing skenario di atas memiliki kelemahan dan kekuatan yang perlu dipetimbangkan secara seksama sebelum ditentukan keputusan. Berikut ini akan digambarkan kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Skenario pertama, calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan berasal dari kerabat dan keluarga Keraton dan Pakualarnan yang memenuhi syarat berdasar Undang-Undang. Calon-calon dari Kesultanan untuk mengisi posisi sebagai Gubernur, sementara calon-calon dari Pakualarnan dimaksudkan mengisi posisi sebagai Wakil Gubernur. Model ini memiliki kelemahan dan keunggulan. Keunggulannya, antara lain :
(1) Model ini dapat memenuhi ekspektasi mayoritas publik Yogyakarta mengenai sumber rekrutmen Gubernur dan Wakif Gubernur yang harus berasal dari lingkungan keluarga dan kerabat Kesultanan dan Pakualarnan.
(2) Model ini dapat meminimalisasi resiko-resiko semisal terjadinya gejolak dalam masyarakat karena perubahan-perubahan yang ditimbulkannya sangat terbatas.
(3) Model ini dapat dijadikan sebagai instrumen untuk melanjutkan proses pelembagaan konvensi (kebiasaan) karena secara normatif ketentuan mengenai sumber rekrutmen semacam ini sudah ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 1950 dan berbagai UU behkutnya.
Tetapi kelemahan yang segera nampak dari model ini adalah;
(1) Model ini membatasi hak-hak politik warga negara lainnya untuk dapat berkompetisi ke jabatan publik yang merupakan salah satu substansi dari demokrasi.
(2) Model ini dapat mendorong politisasi internal Kesultanan dan Pakualaman yang dapat saja merosot menjadi konflik politik internal yang akan berakibat pada (a) merosotnya pamor dan kewibawaan Keraton dan Pakualaman. (b) terpecahnya masyarakat ke dalam kutub-kutub politik mengikuti pembilahan dalam Kesultanan dan Pakualaman. (c) Secara keseluruhan, dalam jangka panjang, model ini akan menggeser posisi Keraton dan Pakualaman dari pusat kebudayaan menjadi pusat politik yang bertentangan dengan semangat kesejarahan kedua institusi ini sebagai pusat budaya bangsa.
Sementara pada tataran proses penyeleksian dan penetapan calon-calon baik untuk posisi calon Gubernur maupun calon Wakil Gubernur yang berasal dari lingkungan keluarga dan kerabat Keraton dan Pakualaman dapat dilakukan melalui kemungkinan-kemungkinan cara berikut ini: (1) Calon-calon diseleksi dan ditetapkan oleh Parardhya keistimewaan. Proses ini memiliki kelemahan dan keunggulan. Kelemahan dari metode ini adalah:
(a) Cara ini dapat mendorong terjadinya konflik internal di lingkungan Keraton dan Pakualaman.
(b) Hal di atas tidak semata-mata disebabkan oleh adanya politisasi ke lingkungan Keraton dan Pakualaman, tapi juga karena kerumitan dan komplikasi dalam pendefinisian mengenai kerabat Keraton dan Pakualaman.
(c) Cara ini membutuhkan pemenuhan syarat tidak mudah, yakni keharusan sangat mendesak untuk merumuskan dengan jelas batasan-batasan mengenai kerabat ini sebagaimana dilakukan di Inggris. Sebuah keharusan yang dapat membawa kembali ke permukaan pergulatan panjang dalam institusi Kesultanan dan Pakualaman di sekitar isu suksesi dan legitimasinya.
(d) Penyeleksian dan penetapan calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur dari keluarga dan kerabat Kesultanan dan Pakualaman secara otomatis oleh Parardhya, juga potensial memfasilitasi kecenderungan Parardhya memilih kerabat terdekat, dengan segala implikasinya, misalnya, melahirkan kecemburuan dan bahkan pertanyaan mengenai legimtimasi di lingkungan keluarga dan kerabat.
Keunggulan dari cara penyeleksian dan penetapan di atas adalah
bahwa
(e) Parardhya dan Gubernur serta Wakil Gubernur akan lebih mudah bekerjasama.
(f) Dapat mengindari terjadinya politisasi di tingkat masyarakat.
(g) Dilihat dari sudut biaya dan waktu, akan sangat murah karena sedemikian terbatasnya pihak-pihak yang terlibat.
(2) Proses seleksi dan penetapan berlangsung secara independen dimana calon-calon yang muncul tidak didasarkan pada penyeleksian dan penetapan baik oleh Parardhya maupun oleh partai politik. Cara ini mengandung sejumlah kelemahan dasar:
(a) Cara ini potensial memunculkan banyak calon.
(b) Cara ini dapat mendorong terjadinya konflik internal yang meluas karena adanya kompetisi di antara sesama keluarga dan kerabat Kesultanan dan Pakualaman yang dilakukan secara bebas.
(c) Kompetisi politik yang bebas dapat mendorong ke arah (i) terjadinya komersialisasi internal sebagai akibat dari kebutuhan untuk membiayai politik, (ii) terjadinya aliansi-aliansi keluar yang akan mendorong Kesuttanan dan Pakualaman menjadi institusi yang terfragmentasi dan kehilangan kohesifitasnya sebagai satu kesatuan sumber budaya.
(d) Cara ini potensial melahirkan kepemimpinan ganda di Yogyakarta karena berada di luar kontrol Parardhya.
(e) Cara ini potensial melahirkan kesulitan kerjasama antara Gubernur dan Wakil Gubernur dengan Parardhya.
(f) Cara ini membutuhkan kejelasan perumusan mengenai apa yang disebutkan sebagai kerabatan Kesultanan dan Pakualaman.
Kelebihan-kelebihan proses seleksi dan penetapan yang dilakukan tanpa melibatkan Parardhya dan partai politik adalah:
(a) Cara ini memfasiiitasi terciptanya pilihan-pilihan alternatif calon yang lebih beragam sekalipun masih terbatas dari lingkungan Kesultanan dan Pakualaman.
(b) Dalam jangka panjang cara ini dapat memfasiiitasi peningkatan kapasitas individual di lingkungan kedua institusi. Dengan demikian, calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur DIY di masa-masa yang akan datang akan semakin baik.
(3) Proses seleksi dan penetapan dilakukan melalui partai atau gabungan parta sesuai ketentuan perundang-undangan. Cara ini mengandung kelemahan-kelemahan sebagai berikut.
(a) Cara ini akan memfasiiitasi terjadinya politisasi yang semakin dalam atas Kesultanan dan Pakualaman oleh partai-partai.
(b) Cara ini dapat mendorong konflik internal Kesultanan dan Pakualaman yang semakin luas lagi.
(c) Cara ini dapat memfasiiitasi terbentuknya dualisme kepemimpinan di Yogyakarta.
(d) Cara ini dapat menghasilkan pola hubungan kerjasama yang tidak harmonis antara Gubernur dan Wakil Gubernur dengan Parardhya.
Penyeleksian dan penetapan calon dari lingkungan Kesultanan dan Pakualaman oleh partai-partai memiliki keunggulan sebagai berikut.
(a) Secara positif dapat mendekatkan Kesultanan dan Pakualaman dengan partai-partai yang ada di Yogyakarta.
(b) Secara umum dapat memfasiiitasi proses pendalaman demokrasi di Yogyakarta.
Skenario Kedua, calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur hanya berasal dari partai atau gabungan partai tanpa kerabat dan keluarga Kesultanan dan Pakualaman. Skenario ini mengikuti secara penuh logika berkerjanya monarki konstitusional dimana terdapat pembatasan hak pihak istana untuk terlibat dalam kehidupan politik sehari-hari. Pembatasan ini merupakan konsekuensi dari penjaminan sistem kompensasi atas hak-hak dan kewenangan khusus yang bersifat strategis kepada keluarga kerajaan, diikuti sistem penjaminan yang juga khusus dalam bidang finansial serta perlakuan hukum yang khusus atas keluarga kerajaan. Skenario ini menempatkan jabatan dalam pemerintahan sehari-hari sebagai domain bagi publik di luar keluarga Kesultanan dan Pakualaman.
Skenario ini memiliki sejumlah keunggulan dan kelemahan. Keunggulan atau kelebihan model ini adalah :
(c) Penyelenggaran politik dan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip monarki konstitusional dapat sepenuhnya ditegakan.
(d) Dengan ini, substansi "the king can do no wrong" bisa dicapai dimana Parardhya dapat dibebaskan dari resiko-resiko penyelewengan kekuasaan yang sangat mungkin terjadi jika Parardhya terlibat dalam mengurusi politik dan pemerintahan sehari-hari.
(e) Konsekwensinya, model ini akan semakin memperkuat posisi simbolik Kesultanan dan Pakualaman, dan dalam jangka panjang akan semakin mengukuhkan kedua institusi ini sebagai sumber moralitas dan budaya bangsa.
(f) Model ini juga akan memfasilitasi terlaksananya jaminan persamaan hak-hak warga negara ke dalam jabatan publik; dan dengannya, substansi dari demokrasi dapat sepenuhnya dipenuhi.
(g) Model ini dapat memfasilitasi kemunculan calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang beragam yang membuat alternatif pilihan bagi masyarakat semakin luas. Masyarakat, dengannya, dapat memilih alternatif terbaik sesuai dengan preferensi masing-masing.
(h) Model ini dapat menghasilkan Gubernur dan Wakil Gubernur yang sesuai dengan aspirasi dan preferensi masyarakat.
Kelemahan-kelemahan yang melekat dalam model ini adalah bahwa;
(a) Model ini rawan terhadap resistensi mayoritas masyarakat Yogyakarta yang dapat saja berubah menjadi konflik terbuka.
(b) Model ini potensial melahirkan persoalan legitimasi yang rendah dari
Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.
(c) Model ini bisa menjadi instrumen yang "memutus" kontinuitas kesejarahan Yogyakarta; dan dengannya, potensial untuk
mengikis
sentralitas Kesultanan dan Pakualaman sebagai inti-inti utama dari keistimewaan Yogyakarta.
(d) Model ini sangat potensial melahirkan kepemimpinan ganda di Yogyakarta.
(e) Model ini potensial melahirkan pola hubungan yang konfliktual dan
kesulitan kerjasama antara Gubernur dan Wakil Gubernur dengan
Parardhya.
(f) Model ini akan memfasilitasi proses politisasi yang semakin mendalam dalam masyarakat Yogyakarta.



Sebagaimana skenario pertama, kemungkinan cara menyeleksi dan menetapkan calon juga beragam dengan kelemahan dan keunggulan masing-masing.
(1) Calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur diseleksi dan ditetapkan oleh Parardhya. Keunggulan dari cara penyeleksian dan penetapan seperti ini adalah:
(a) Calon Gubernur dan Wakil Gubernur mendapatkan dukungan dari Parardhya; dan dengannya, kerjasama di antara kedua institusi ini akan terjamin berjalan dengan baik.
(b) Cara ini dapat mereduksi politisasi di tingkat masyarakat,
(c) Cara ini dapat menjembatani "keterputusan" konvensi dan sejarah keistimewaan Yogyakarta.
(d) Cara ini dapat menjamin terjaga kontrol politik Kesultanan dan Pakualaman atas politik Yogyakarta; dan dengan demikian, fungsi strategis Kesultanan dan Pakualaman sebagai simbol pemersatu dapat bekerja lebih efektif.
(e) Cara ini dapat memfasilitasi pola hubungan baru yang lebih konvergen antara partai-partai politik dengan Kesultanan dan Pakualaman.
(f) Secara umum, cara ini akan mendorong terjadi pengintegrasian secara menyeluruh berbagai stakeholders dalam politik lokal Yogyakarta dalam satu kesatuan yang bersifat baru.
Kelemahan-kelemahan yang melekat dalam cara penyeleksian calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur di atas adalah sebagai berikut:
(a) Cara ini memfasilitasi kemungkinan munculnya calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang lebih didasarkan pada kedekatan dengan Parardhya.
(b) Cara ini dapat memfasilitasi terjadinya pola kompetisi yang tidak sehat di antara partai-partai dalam usaha masing-masing membuktikan loyalitasnya pada Kesultanan dan Pakualaman.
(c) Cara ini dapat juga memfasilitasi terjadinya kontrol politik yang kuat Kesultanan dan Pakualaman atas internal partai-partai yang akan merugikan perkembangan demokrasi.
(d) Secara umum, cara ini dapat mematikan dinamika politik lokal dan semakin kuatnya personalisasi kekuasaan di tangan Parardhya.
(2) Proses pencalonan yang meliputi seleksi dan penetapan calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur sepenuhnya mengikuti pola umum yang berlangsung di daerah lainnya, yakni melalui partai politik atau gabungan partai politik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Keunggulan cara ini adalah sebagai berikut(a) Cara ini akan memfasilitasi partai-partai lebih bertanggung-jawab terhadap masa depan keistimewaan Yogyakarta.
(b) Cara ini akan memfasilitasi proses ke arah terbentuknya sistem politik Indonesia berbasis partai sebagaimana dirancang dalam konstitusi Indonesia dapat terus berlangsung.
(c) Cara ini akan menghasilkan pola kompetisi yang lebih bersifat terbuka, melahirkan alternatif kepemimpinan yang beragam; dan dengannya, memberikan pilihan yang lebih banyak bagi masyarakat.
(d) Secara umum, cara ini akan semakin mendorong proses demokratisasi di Yogyakarta.
Kelemahan dari cara penyeleksian calon-calon Gubernur dan Wakii Gubernur seperti ini adalah:
(a) Cara ini akan menempatkan politik Yogyakarta rawan terhadap kelemahan-kelemahan yang melekat dalam sistem multi-partai
(b) Cara ini potensial melahirkan kepemimpinan ganda dan kesulitan dalam kerjasama antar Gubernur dan Wakil Gubernur dengan Parardhya.
(c) Cara ini juga potensial dalam memfasilitasi terjadinya hubungan konfliktual antar partai-partai dengan Parardhya.
(d) Secara umum, cara ini potensial melahirkan kesulitan-kesulitan dalam mengimplementasikan rancangan besar keistimewaan Yogyakarta; dan dengannya, secara bertahap akan meminggirkan sentralitas Kesultanan dan Pakualaman dari peran-perannya dalam politik lokal Yogyakarta.
Skenario Ketiga, calon berasal dari partai atau gabungan partai dengan menghormati hak-hak politik keluarga dan kerabat dari lingkungan Kesultanan dan Pakualaman untuk juga terlibat. Skenario ini didasarkan pada asumsi persamaan hak sebagai warga negara yang menjadi fondasi dari konseptualisasi tentang negara bangsa dan demokrasi. Dalam hal ini, kerabat dan keluarga Kesultanan kecuali dalam jabatannya sebagai Parardhya memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya untuk menduduki jabatan publik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Model ini memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri. Keunggulannya adalah:
(1) Persamaan hak sebagai warga negara dapat ditegakkan; dan dengannya, substansi ke-lndonesia-an dan demokrasi dapat ditegakkan.
(2) Warga Yogyakarta dapat menikmati pilihan-pilihan calon Gubernur yang semakin beragam.
(3) Warga Yogyakarta dapat sepenuhnya menentukan pilihannya berdasarkan aspirasi dan preferensi masing-masing.
Model ini mengandung sejumlah kelemahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
(1) Politisasi pada tingkat masyarakat akan berlangsung intens dan meluas.
(2) Potensial untuk melahirkan kompetisi dan bahkan konflik antara calon-calon yang berasal dari lingkungan Keraton dan Pakualaman dengan calon-calon di luarnya. Hal ini akan membuka kemungkinan terjadinya konflik antar Kesultanan dan Pakualaman dengan masyarakat.
(3) Pola hubungan konfliktual dan kompetisi di atas dapat berakibat pada kerosotan legitimasi Kesultanan dan Pakualaman yang akan menggiring ke arah berakhirnya peran Kedua institust ini.
(4) Kesultanan dan Pakualaman dapat terjebak pada fungsi-fungsi yang bersifat politis dengan mengabaikan fungsi-fungsi kebudayaannya. Hal ini dapat berakibat pada kemerosotan fungsi Kesultanan dan Pakualaman sebagai pusat budaya bangsa.
(5) Model ini dapat menghasilkan kepemimpinan ganda dan potensial untuk melahirkan kesulitan dalam kerjasama antar Gubernur dan Wakil Gubernur dengan Pangageng.
(6) Model ini dapat memfasilitasi terbentuknya pola hubungan konfliktual antar Gubernur dan Wakil Gubernur dengan Parardhya.
(7) Secara makro, model ini potensial melahirkan kesulitan-kesulitan pengaturan keistimewaan Yogyakarta.
Dalam hal seleksi dan penetapan calon-calon Gubernur dan Gubernur melalui model ini, terdapattiga kemungkinan cara:
(1) Proses seleksi dan penetapan dilakukan oleh Parardhya setelah melewati proses politik yang dilakukan oleh partai-partai politik. Cara ini memiliki sejumlah keungulan sebagai berikut:
(a) Cara ini dapat menjadi "jembatan" yang menghubungkan sejarah Yogyakarta masa lalu dengan cita-cita masa depan.
(b) Cara ini akan menghasilkan Gubernur dan Wakil Gubernur yang dapat bekerjasama dengan Parardhya serta meminimalisasi potensi lahirnya kepemimpinan ganda di Yogyakarta.
(c) Cara ini dapat menghasilkan Gubernur dan Wakil Gubernur yang dapat merepresentasikan kepentingan baik masyarakat maupun Keraton dan Pakualaman.
(d) Secara umum cara ini akan mempermudah pengelolaan keistimewaan Yogyakarta.
Cara ini mengandung kelemahan-kelemahan sebagai berikut:
(a) Cara ini akan melahirkan institusi baru dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang akan memperpanjang mata-ranati proses pengisian gubernur dan wakil gubernur.
(b) Cara ini dapat memfasilitasi terjadinya pota kompetisi yang tidak sehat di antara partai-partai dalam usaha masing-masing membuktikan loyalitasnya pada Kesultanan dan Pakualaman.
(c) Cara ini dapat memfasilitasi terjadinya pola kompetisi yang tidak sehat di lingkungan Kesultanan dan Pakualaman.
(d) Cara ini dapat juga memfasilitasi terjadinya kontrol politik yang kuat Kesultanan dan Pakualaman atas internal partai-partai yang akan merugikan perkembangan demokrasi.
(e) Secara umum, cara ini potensial melahirkan personalisasi kekuasaan di tangan Parardhya Keistimewaan.
(2) Proses seleksi dan penetapan dilakukan sepenuhnya oieh partai-partai politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Cara ini memiliki beberapa keunggulan, yakni:
(a) Persamaan hak sebagai warga negara dapat ditegakkan; dan dengan demikian demokrasi bisa lebih berjalan.
(b) Ststem politik berbasis kepartaian dapat ditegakkan.
(c) Kompetisi politik antar calon sepenuhnya tidak melibatkan Kesultanan dan Pakualaman sebagai institusi.
(d) Alternatif calon Gubernur dan Wakil Gubernur lebih bervariasi; dan dengannya memfasilitasi warga negara untuk dapat menggunakan hak pilihnya sesuai preferensi dan aspirasi masing-masing.
Kelemahan-kelemahan yang melekat dalam cara penyeleksian dan penetapan calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur melalui partai politik ini adalah sebagai berikut:
(a) Cara ini sangat potensial melahirkan kepemimpinan ganda di Yogyakarta yang dapat melahirkan pola hubungan konfliktual antar Gubernur dan Wakil Gubernur dengan Parardhya. Pola hubungan konfliktual ini, dapat merambah ke masyarakat menjadi konflik antar masyarakat dengan Gubernur dan Wakil Gubernur.
(b) Cara ini dapat menghasilkan kesulitan kerjasama antar Gubernur dan Wakil Gubernur dengan Parardhya.
(c) Cara ini dapat menghasilkan kontestasi antar Gubernur dan Wakil Gubernur dengan institusi Parardhya karena perbedaan-perbedaan basis legitimasi.
(d) Cara ini potensial menghasilkan Gubernur dan Wakil Gubernur yang lebih berorientasi dan loyal pada induk partai masing-masing dan mengabaikan Yogyakarta.
(e) Cara ini potensial untuk menghasilkan Gubernur dan Wakil Gubernur yang tidak memahami nilai-nilai budaya lokal Yogyakarta.
(f) Cara ini dapat melahirkan persoalan mengenai legitimasi Gubernur dan Wakil Gubernur di mata kebanyakan warga Yogyakarta.
(g) Cara ini dapat menjadi sarana yang "memutus" kontinuitas
kesejarahan Yogyakarta. (h) Secara umum, cara ini akan menyulitkan implementasi
rancangan besar keistimewaan Yogyakarta.
(3) Parardhya Keistimewaan memiiiki kewenangan untuk memberikan persetujuan dan penolakan atas calon-calon gubernur dan wakil gubernur yang telah dinyatakan memenuhi syarat-syarat kesehatan dan administratif sebelum ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
Di samping keunggulan-keunggulan sebagaimana dirumuskan pada angka (1) di atas, cara ini akan menghasilkan calon gubernur dan wakil gubernur melalui proses umum sebagaimana diatur daiam peraturan perundang-undangan dengan perubahan yang sangat terbatas. Sementara kelemahan-kelemahan yang melekat pada angka (1) sekaligus menjadi kelemahan dari cara ini.
Ketiga skenario dan variasi cara dalam menghasilkan calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dididiskusikan di atas dengan jelas menggambarkan aneka kelemahan dan keunggulan masing-masingnya. Tetapi sesuai dengan misi UU ini untuk merumuskan keistimewaan Yogyakarta yang mampu mengintegrasikan masa lalu, masa kini dan masa depan yang ideal bagi Yogyakarta, maka Tim JIP Fisipol UGM memiiiki preferensi untuk memilih skenario ketiga, yakni sumber rekrutmen yang bersifat terbuka dengan prinsip-prinsip kewarga-negaraan sebagai pembatasnya. Sementara cara menghasilkan calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur mengikuti cara (3) di mana calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang telah memenuhi syarat-syarat kesehatan dan administratif harus mendapatkan persetujuan Parardhya sebelum ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur oleh KPUD.
Dengan cara seperti di atas, resiko-resiko dari masing-masing pilihan skenario dapat diminimalisasi, demikian pula dengan resiko-resiko dalam pilihan cara seleksi dan penetapan calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Pada saat yang bersamaan, pilihan atas skenario ketiga ini memiiiki keunggulan karena dapat menjadi jembatan penghubung antara masa lalu kesejarahan Yogyakarta dengan tuntutan masa kini serta kontruksi bangunan politik ideal Yogyakarta di masa datang. Secara tegasnya, calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur DIY berasal dari setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Para calon diproses secara politik, oleh partai atau gabungan partai dan secara administratif oleh KPUD, memenuhi syarat kesehatan yang ditetapkan serta mendapatkan persetujuan Parardhya sebelum ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPUD. Parardhya memiliki kewenangan untuk menolak calon-calon yang diajukan oleh partai atau gabungan partai politik. Penolakan atas calon haruslah bersifat individual dan bukanlah atas pasangan calon. Untuk menjamin adanya standarisasi penggunaan kewenangan untuk menolak calon atau calon-calon gubernur dan wakil gubernur, Parardhya Keistimewaan menetapkan tata-cara serta syarat-syarat yang diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan. Dokumen mengenai tata-cara dan syarat-syarat yang ditetapkan sebagai dokumen publik melalui pengundangannya dalam Lembaran Daerah.
Perlu erlu ditegaskan, perbedaan-perbedaan dalam sumber rekrutmen dan prosedur untuk menghasilkan calon-calon Gubernur harus diikat oleh kebutuhan untuk menghasilkan Gubernur dan Wakil Gubernur yang memenuhi syarat-syarat minimal yang diperlukan untuk dapat berfungsi dengan baik.
Di luar persoalan sumber rekrutmen dan proses kandidasi calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana digambarkan di atas, persoalan lain yang membutuhkan pengkajian mendalam adalah mekanisme menghasilkan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Terlepas dari pilihan yang diambil dalam menentukan sumber rekrutmen dan prosedur untuk menghasilkan calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur, terdapat tiga kemungkinan skenario untuk menghasilkan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY definitif.
Skenario pertama, Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dihasilkan melalui mekanisme penetapan Presiden atas calon-calon yang diusulkan Parardhya. Skenario kedua, Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dihasilkan melalui mekanisme pemilihan terbatas (pemilihan tidak langsung) oleh DPRD DIY. Skenario ketiga, Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dihasilkan melalui mekanisme Pilkada Langsung sebagaimana berlaku untuk daerah-daerah lainnya.
Setiap skenario memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Berikut ini akan digambarkan kelemahan dan kekuatan masing-masingnya.
Skenario pertama, penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh Presiden berdasarkan usulan Parardhya. Kelemahan paling menonjol dari skenario ini adalah wataknya yang anti-demokrasi serta adanya pembatasan yang luar biasa atas partisipasi dan kompetisi. Hal ini bertentangan dengan sejarah dan roh Yogyakarta sebagaimana sudah dielaborasi pada bagian-bagian sebelumnya Naskah Akademik ini. Hal ini juga menyangkali realitas perkembangan kekinian Yogyakarta dan Indonesia secara keseluruhan dimana demokrasi telah menjadi kesepakatan di antara anak bangsa; kesepakatan yang bahkan dipelopori oleh Yogyakarta. Lebih lagi, untuk jangka panjang, skenario ini akan berujung pada memudarnya kapasitas fleksibilitas Yogyakarta untuk tetap menjadikan dirinya relevan denganperkembangan peradaban. Skenario ini memiliki keunggulan dalam hal efisiensi dan efektivitas baik dari sudutwaktu maupun biaya. Demikian pula, skenario ini unggul dalam hal meminimalisasi konflik dan potensial dalam menghasilkan Gubernur yang sepenuhnya dapat bekerjasama dengan Parardhya. Dan dengannya menepis potensi munculnya kepemimpinan ganda di Yogyakarta. Akan tetapi karena kelemahan-kelemahan yang melekat di dalamnya sedemikian mendasar, skenario pertama ini tidak direkomendasikan oleh Tim JIP.
Skenario kedua, pemilihan terbatas Gubernur dan Wakil Gubernur melalui DPRD. Secara hipotetis skenario kedua ini memiliki keunggulan dalam hal melokalisasi potensi konflik, serta efisiensi dan efektivitas dari sudut waktu dan pembiayaan. Hanya saja, kelemahan pokok skenario ini terletak pada sifatnya elitis-oligarkhis, serta potensi mekanisme ini menempatkan calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur sebagai "sandera" dari partai. Demikian pula, mengingat skenario pada proses pencalonan awal sudah sepenuhnya menjadi wilayah kewenangan partai atau gabungan partai, serta persetujuan akhir telah ditetapkan sebagai wilayah kewenangan Parardhya, maka diperlukan sebuah mekanis "kontrol" dan "pernyataan kehendak rakyaf dalam proses menghasilkan Gubernur dan Wakil Gubernur. Mekanisme ini tidak disediakan melalui skenario kedua ini.
Skenario ketiga, yakni pemilihan secara langsung oleh rakyat yang memiliki hak pilih sesuai peraturan perudang-undangan. Skenario ini memiliki kelemahan berupa besarnya potensi konflik serta pembiayaan yang besar. Tetapi keunggulan skenario ini adalah sifatnya yang lebih demokratis dimana partisipasi warga masyarakat dapat dijamin secara luas, serta peluang bagi adanya kompetisi politik yang tinggi. Lebih lagi, skenario ini bisa menjadi arena bagi masyarakat untuk mengontrol dan memberikan persetujuan atau ketidak-setujuan atas proses-proses politik di tingkat partai atau gabungan partai dalam memunculkan kandidat; dan sekaligus dapat mengontrol dan menguji keabsahan dari putusan Parardhya. Karena alasan yang demikian, Tim JIP - dan sekali lagi dengan tetap berpegang pada prinsip kesinambungan sejarah, kebutuhan untuk menjawab perkembangan kekinian Yogyakarta dan Indonesia, serta kebutuhan untuk membangun masa depan Yogyakarta yang istimewa bagi diri sendiri dan bagi Indonesia -merekomendasikan pemilihan secara langsung oleh setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai pilihan satu-satunya untuk pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur D1Y.
Dengan konstruksi berpikir sebagaimana digambarkan di atas, maka Gubernur dan Wakil Gubernur D1Y adalah Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, dengan fungsi, hak dan kewajiban yang sama dengan di daerah lainnya. Dengan ini, instusi ini menjalankan fungsi ganda, yakni sebagai Kepala Wilayah yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah Pusat dan sebagai Kepala Daerah yang mereprentasikan politik lokal Yogyakarta.

Tetapi berbeda dengan gubernur dan wakil gubernur di provinsi lainnya, proses untuk menghasilkan calon-calon gubernur dan wakil gubernur melibatkan Parardhya. Parardhya berwenang menyatakan persetujuan atau penolakan atas calon atau calon-calon baik gubernur maupun wakil gubernur, dengan alasan-alasan yang telah dirumuskan secara jelas dan tegas serta telah dijadikan sebagai dokumen publik. Prinsip dasar dalam memberikan persetujuan dan penolakan oleh Parardhya adalah (1) bersifat individual. Penolakan tidak ditujukan pada pasangan calon. (2) alasan-alasan penolakan terbatas pada alasan-alasan di luar yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Dengan ini, lembaga penyelenggara Pemilu (KPUD) tetap menjadi institusi satu-satunya yang bertanggung-jawab datam keseluruhan mata-rantai proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur. (3) Penolakan atas calon dilakukan setelah KPUD menyatakan calon-calon yang ada telah memehuhi syarat-syarat kesehatan dan administratif yang diperlukan. Penggunaan wewenang ini dilakukan sebelum KPUD melakukan penetapan calon-calon.
Kempat, masih dalam bidang politik dan pemerintahan, keistimewaan Yogyakarta diletakkan pada tingkat Provinsi. Hal ini sejalan dengan regulasi-regulasi sebelumnya. Undang-undang yang pernah diberlakukan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah dan desentralisasi menetapkan bahwa titik berat otonomi diberikan pada pemerintahan Provinsi DIY. Hal itu misalnya dinyatakan dengan jelas baik UU No. 22 Tahun 1948 ataupun UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, sampai dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 yang disempurnakan. Oleh karena itu Undang-Undang ini menegaskan kembali bahwa otonomi dalam rangka Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ada pada Provinsi. Hanya saja, perlu ditegaskan bahwa aksentuasi otonomi pada tingkat Provinsi, tidak berakibat pada pengurangan kewenangan kabupaten dan kota ataupun pada perubahan struktur pemerintahan dan politik di kabupaten dan kota. Refleksi dari aksentuasi otonomi pada tingkat Provinsi dibatasi hanya pada kewenangan Parardhya dalam bidang kebudayaan, pertanahan dan penataan ruang. Hal ini diwujudkan melalui adanya kewajiban kabupaten dan kota untuk melakukan konsultasi dengan Parardhya dalam menetapkan kebijakan (Perda) yang terkait dengan masalah kebudayaan pertanahan, dan petaan ruang, serta adanya hak veto Parardhya Keistimewaan dalam ketiga bidang di atas bagi kebijakan yang sedang berlaku.
2. Bidang Kebudayaan, Pertanahan dan Penataan Ruang
Dalam rangka penyelenggaraan Keistimewaan, pemerintahan Provinsi DI Yogyakarta memiliki kewenangan istimewa dalam bidang kebudayaan, pertanahan dan penataan ruang. Kewenangan istimewa dalam ketiga urusan ini diwujudkan melalui kewenangan penuh dalam menetapkan kebijakan-kebijakan dan dalam merumuskan Peraturan Daerah Istimewa tentang ketiga urusan pemerintahan itu. Dalam bidang kebudayaan kewenangan tersebut meliputi kewenangan penuh dalam mengatur dan mengurus pelestarian, serta pembaharuan aset dan nilai-nilai budaya Jawa pada umumnya, dan Yogyakarta khususnya. Sedangkan dalam bidang pertanahan, kewenangan istimewa meliputi kewenangan mengatur dan mengurus kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond. Dalam kaitannya dengan kewenangan dalam bidang pertanahan di atas, Sultan dan Paku Alam sebagai Parardhya Keistimewaan memiliki berwenang dalam memberikan arah umum kebijakan, pertimbangan, persetujuan dan veto terhadap rancangan Peraturan Daerah Istimewa diajukan DPRD dan Gubernur dan atau Peraturan Daerah Istimewa yang berlaku. Kewenangan ini juga berlaku dalam bidang penataan ruang. Kewenangan Parardhya juga menjangkau Perda yang terkait kebudayaan, pertanahan dan penataan ruang yang dihasilkan oleh pemerintah kabupaten dan kota di lingkungan DIY. Kewenangan dalam bidang pertanahan juga diwujudkan melalui pengakuan secara status hukum Kesultanan dan Pakualaman dalam bentuk Badan Hukum Kebudayaan yang memiliki hak pemilik atas tanah dan aset lainnya.
Pemberian kewenangan dalam bidang kebudayaan didasarkan pada pertimbangan bahwa Yogyakarta - Kesultanan dan Pakualaman serta rakyat Yogyakarta - memiliki budaya yang khas yang merupakan inti dari kebudayaan Jawa. Kebudayaan yang dimanisfestasikan dalam wujud nilai-nilai, norma, adat-istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur memiliki akar yang panjang dalam masyarakat daerah Istimewa Yogyakarta yang telah dibentuk melalui proses dialog yang sangat panjang. Lebih lagi, budaya Yogyakarta, terutama dalam wujudnya sebagai nilai telah memainkan peranan penting dalam proses masyarakat Indonesia menjadi sebuah bangsa.
Sementara itu, pemberian kewenangan dalam bidang pertanahan dan penataan ruang didasarkan pada pertimbangan: Pertama, tanah Kesultanan dan Pakualaman memiliki fungsi perlindungan sosial bagi kelompok-kelompok marginal. Fungsi yang oleh Nurhasan Ismail dirumuskan sebagai pertimbangan filosofis yang terkait dengan nilai keadilan dan kemanfaatan. Lebih lanjut ditegaskan, , u(N)lia kedua keadilan terkait dengan sikap dan kebijakan kedua kraton yang selalu ingin memberikan kesempatan dan perlakukan yang sama kepada semua kelompok masyarakat yang ada dengan tidak membedakan agama atau etnis dalam kepemilikan tanah serta sikap memberikan perlindungan kepada kelompok yang lemah" (Ismail 2007:3). Kebijakan-kebijakan Keraton yang terkait dengan pemanfaatan tanah juga ditunjukan oleh konsistensi kedua penguasa dalam memperkuat hak penguasaan tanah oleh rakyat dengan memberikan hak yang lebih kuat dari sekadar hak menggarap tanah58 (Maria: 2007; Nurhasan Ismail: 2007).


58 Detail tentang bentuk-bentuk hukum kepemilikan dan pemanfaatan tanah Kesultanan dan Pakualaman oleh rakyat dapat dilihat dalam Suyitno, "Tanah Keraton (SG-PAG)", Makalah, disampaikan dalam Sarasehan Format Keistimewaan Yogyakarta Untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesia, Kerjasama UGM dengan Kagama DIY, 9-10 Mei 2007. Lihat pula, Ni'matul Huda, "Pengaturan Tanah-Tanah Kraton Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan UUPA No. 5 Tahun 1960", Makalah, disampaikan dalam Lokakarya RUU Keistimewaan Yogyakarta, diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Daerah, Yogyakarta, 24 April 2007.







Kedua, sebagaimana ditegaskan Maria SW Sumardjono (2007:2), "...secara yuridis formal dinyatakan sudah hapus dan menjadi tanah nega, namun ...fakta menunjukan bahwa tanah Kraton masih eksis dan diakui oleh masyarakat maupun birokrasi (secara diam-diam)."
Ketiga, ruang bagi Yogyakarta memiliki fungsi kebudayaan. Pengaturan ruang tidak semata-mata menyangkut dimensi fisikal, tapi sekaligus menggambarkan filosofosi keseimbangan (harmoni) antara makro kosmos - mikro kosmos (jagad gedhe - jagad cilik) yang menjadi fondasi dari kebudayaan Yogyakarta. Setiap perubahan dalam penataan ruang sebagai sebuah sistem dan proses perencanaan tata-ruang, serta pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 26 Tahun 2007 akan berimplikasi pada perubahan budaya. Karenanya, penataan ruang harus juga mendapatkan direksi dan sekaligus dapat dikontrol oleh Parardhya.
E. Format Kelembagaan Pemerintahan Dl Yogyakarta59
Penetapan bidang politik pemerintahan, kebudayaan, pertanahan dan penataan ruang sebagai bidang-bidang dimana DIY memiliki keistimewaan memiliki implikasi yang sangat luas pada tata cara pengelolaan pemerintahan, termasuk kelembagaan, kewenangan dan hubungan hubungan kelembagaan dan kewenangan. Berikut ini akan dielaborasi masing-masingnya secara lebih detail.
1. Penyelenggaraan Pemerintahan
Salah satu implikasi penting dari substansi keistimewaan Yogyakarta terkait dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan Provinsi DIY didasarkan pada prinsip Monarki Konstitusional secara terbatas. Dalam sistem ini Sultan dan Paku Alam menempati posisi sebagai simbol pemersatu seluruh komponen masyarakat dengan tanggung jawab strategis dan seremonial lengkap dengan sejumlah kewenangan politik yang terbatas. Sistem ini dilaksanakan sebagai salah satu wujud keistimewaan Yogyakarta dan ditetapkan sebagai pilihan untuk menjamin tetap berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis dan

59 Berbagai kajian komparatif yang menjadi basis rujukan dan sumber informasi dalam kajian ini bersumber dart tulisan ensiklopedia wikipedia, website constitusional monarchy.com, dan konsitusi masing-masing negara yang menganut sistem monarki konstitusional. Untuk kasus Inggris dan Belanda, informasi lebih detail dapat dilihat di http://www.royal.gov.uk dan http://www.koninklijkhuis.nl.


pada saat yang bersamaan dapat menjamin keberlanjutan institusi Kesultanan dan Pakualaman sebagai warisan budaya bangsa dan dunia. Prinsip Monarki Konstitusional dalam sistem pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta ini dijabarkan dalam bentuk (a) Pemisahan antara institusi monarki dengan institusi demokrasi; (b) Institusi monarki berfungsi sebagai simbol pemersatu dengan kewenangan strategis dan terbatas dalam pemerintahan sehari-hari; (c) Institusi demokrasi menjalankan pemerintahan sehari-hari; (d) Institusi monarki merupakan institusi tunggal, yang diwujudkan melalui keberadaaan institusi Parardhya Keistimewaan yang merupakan kesatuan dari Sultan dan Paku Alam.
Pemisahan antara institusi monarki dengan institusi pemerintahan sehari-hari. Prinsip ini diaktualisasikan dalam bentuk pemisahan antara institusi monarki yang terdiri dari Sultan dan Paku Alam dengan institusi demokrasi yang menyelenggarakan pemerintahan sehari-hari. Hal ini membawa beberapa konsekuensi:
1. Institusi monarki dalam pemerintahan Provinsi DIY dijabat oleh Parardhya Keistimewaan yang terdiri dari Sultan sebagai representasi institusi Kesultanan dan Paku Alam sebagai representasi institusi Pakualaman.
2. Institusi demokrasi dalam pemerintahan Provinsi DIY dilaksanakan oleh Gubernurdan DPRD sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang pemerintahan daerah.
3. Parardhya mempunyai kewenangan strategis dan seremonial dalam penyelenggaraan pemerintahan dan mempunyai kewenangan untuk memberikan pengesahan terhadap beberapa kebijakan dalam lingkup urusan keistimewaan, termasuk di dalamnya hak veto atas peraturan daerah, khususnya dalam kebudayaan, pertanahan dan penataan ruang.
4. Gubernur DIY dan DPRD DIY dipilih secara demokratis sebagaimana diatur dalam peraturan-perundang-undangan.
5. Berbeda dengan praktek kekuasaan Monarki Konstitusional pada umumnya, sumber rekrutmen bagi calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur bersifat terbuka, termasuk bagi calon yang berasal keluarga dan kerabat Kesultanan dan Pakualaman. Calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur, sekalipun berasal dari lingkungan kerajaan bukan merupakan perwakilan Kesultanan dan Pakualaman, tapi sebagai warga-negara. Karenanya, proses kendidasi tetap melewati keseluruhan prosedur sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pemisahan antara institusi monarki dan demokrasi bagi Yogyakarta mempunyai landasan yang kuat, terutama secara historis. Sementara itu, pengalaman komparatif dari negara-negara lain menegaskan kemampuan dari masing-masingnya untuk terus bertahan di tengah-tengah perubahan ditentukan oleh kapasitas adaptasi yang dicapai pertama-tama dan terutama melalui pemisahan antara institusi monarki dengan institusi pemerintahan sehari-hari.
Landasan historis pemisahan Kesultanan dan Pakualaman dengan Institusi Pemerintahan. Hasil kajian yang kami lakukan atas sejarah perkembangan kelembagaan Kesultanan dan Pakualaman membuktikan pemisahan antara institusi Kesultanan dan Pakualaman dengan institusi penyelenggara pemerintahan sehari-hari mempunyai preseden historis yang kuat dalam diri keduanya. Sejak jaman Sultan Agung, para raja Mataram sudah menunjuk dan mengangkat orang kepercayaan dari pegawainya yang bergelar Tumenggung menjadi Pepatih Dhalem. Tempat tingal pepatih dhalem disebut jagaraga artinya penjaga raja (Suwarno, 1994: 57). Tugas pokok pepatih dhalem ini adalah bersama-sama abdi dhalem melayani sang raja sebagai sumber kekuasaan kerajaan. Pada fase awal pepatih dhalem didampingi 4 penasihat yang membawahi 500 orang terkemuka dan di antara mereka terdapat saudara raja. Empat penasihat tersebut menjadi penghubung antara raja dengan 500 orang terkemuka tersebut. Raja dalam menyampaikan pesannya kepada 500 orang terkemuka tersebut melalui pepatih dhalem.
Keberadaan dan peran Patih ini juga terungkap dalam beberapa bukti sejarah. Penyelenggaraan pemerintahan keseharian di Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sejak jaman Hindia Belanda dijabat seorang Pepatih Dhalem (rijksbestuurder) yang diangkat Sultan dengan persetujuan Gubenur Hindia Belanda (Sujamto, 1988: 193). Sejak perjanjian politik Giyanti pada tahun 1755 yang ditandatangani Sultan HB I dan Gubernur Hartingh menetapkan bahwa Patih harus ditunjuk bersama oleh Sultan dan Gubernur Belanda (Soemardjan, 1981: 48-49). Patih Dhalem harus mengucapakan sumpah setia kepada Raja Negeri Belanda dan Sultan. Patih sebagai kepala pemerintahan eksekutif mempunyai pengaruh kekuasaan yang kuat dan vital bagi kepentingan politik Belanda. Pepatih bertanggungjawab terhadap Sri Sultan maupun kepada Gubenur sehingga memiliki kedudukan rangkap baik sebagai aparat Kesultanan sekaligus sebagai aparat Gubernemen. Gajinya berasal dari Kesultanan dan Gubernemen.
Pengalaman sejarah Kesultanan dan Pakualaman di atas memberikan keyakinan bahwa pemisahan antara institusi simbolik dan institusi penyelenggara politik dan pemerintahan bukan merupakan gagasan tanpa preseden sejarah. Bahkan, pembacaan atas sejarah perkembangan kelembagaan monarki di Yogyakarta di atas memastikan kuatnya watak pemisahan ini.
Landasan Komparatif Pemisahan Institusi Monarki dan Demokrasi.
Pergulatan keberadaan dan peran institusi monarki dalam sistem kepemerintahan modern telah mewarnai pemikiran dan praktek politik dalam sejarah dunia. Perbedaan karakter antara dua sistem ini membuat antar keduanya tidak mudah untuk dipadukan. Sistem monarki menekankan pada kekuasaan privilege pada diri dan institusi monarch (raja) yang diwariskan secara askriptif (keturunan). Sementara, sistem demokrasi menempatkan demos (masyarakat) sebagai pemegang kedaulatan yang kekuasaan pemimpinnya yang dipilih melalui proses pemiiu dibatasi oleh konstitusi. Perbedaan juga sangat menonjol dalam corak kepemimpinan. Kekuatan kepemimpinan terletak pada "diam", sementara kekuatan kepemimpinan demokrasi justru pada "debat".
Sejarah pemerintahan di Eropa dan Asia telah memberikan pelajaran yang sangat penting bagi perancangan sistem pemerintahan yang memadukan sistem monarki dengan sistem demokrasi. Banyak institusi monarki yang kemudian runtuh dan digantikan sepenuhnya oleh institusi demokrasi, baik melalui mekanisme revolusi maupun disolusi. Tetapi terdapat pula institusi monarki yang berhasil mempertahankan posisinya dalam sistem pemerintahan modern melalui proses adaptasi terhadap tuntutan demokratisasi.
Banyak bukti menunjukkan, kegagalan institusi monarki membangun legitimasi baru dalam tuntutan demokratisasi harus dibayar mahal dengan tumbangnya institusi yang ada melalui proses revolusi. Gerakan rakyat dalam bentuk revolusi Perancis telah menggulingkan dan mengeksekusi Raja Louis XVI tahun 1793, dan menggantikannya dengan republik. Hal yang serupa juga terjadi pada kasus Nepal. Sampai dengan tahun 1990, Nepal masih merupakan monarki absolut yang dikelola oleh kekuasaan eksekutif Sang Raja. Namun ketika terjadi gerakan rakyat yang menggugat kekuasaan raja tahun 1990, Raja kemudian sepakat melakukan reformasi politik dengan menciptakan sistem kerajaan parlementer. Sayangnya pemerintahan di Nepal tidak pernah stabil dan bertahan hanya lebih dari 2 tahun sebagai akibat dari kolapse internal maupun dibubarkan oleh raja. Pada April 2006, gerakan massa telah berhasil memaksa terjadinya perubahan. Raja otokratik berhasil didesak untuk menyerahkan kekuasaannya, dan dewan perwakilan rakyat berhasil dibentuk kembali.
Selain melalui gerakan rakyat radikal, institusi monarki juga bisa diruntuhkan secara damai oleh rakyat ketika institusi yang ada gagal membangun legitimasi politik sesuai tuntutan keadaan. Pada kasus Belgta, Raja Leopold III diturunkan rakyat melalui referendum tahun 1950 pasca kepemimpinan Hitler. Raja Victor Emmanuel III di Itali juga digulingkan melalui referendum tahun 1946 pasca rejim Benito Mussolini. Dua kasus ini menunjukkan bahwa posisi politik raja yang 'salah' dengan mendukung otoritarianisme harus diakhiri dengan runtuhnya monarki itu sendiri.
Namun, banyak juga kasus yang menunjukkan institusi monarki mampu mempertahankan relevansinya dalam sistem pemerintahan moderen sejalan dengan proses demokratisasi. Pilihan institusi monarki untuk melakukan evolusi ini terjadi pada kasus Inggris, Denmark, Swedia, Luxemburg, Belanda dan Norwegia. Dalam kesemua kasus suskses di atas, raja mengurangi perannya dalam politik dan pemerintahan sehari-hari sejak awal sejalan dengan tekanan elit. Pada kasus Inggris, "parlemen" yang bukan hasil pemilu memaksa raja Charles I untuk mengurangi perannya.
Apa yang bisa dipelajari dari pengalaman sejumlah negara di atas adalah bahwa keberlangsungan hidup masing-masing merupakan fungsi dari kapasitasnya melakukan separasi antara institusi monarki dengan institusi demokrasi dan sekaligus pengintegrasian antara keduanya melalui mekanisme yang mampu menjaga tetap bekerjanya monarki dan demokrasi secara simultan. Sebaliknya, kegagalan dalam melakukan separasi, telah berakhir dengan kehancuran permanen dari institusi monarki. Dalam konteks inilah, imperatif sifatnya bagi Kesultanan dan Pakualaman untuk melakukan penyesusian diri dengan perubahan yang terjadi melalui pemisahan institusi monarki dengan institusi demokrasi agar tetap relevan dengan perubahan zaman.
2. Parardhya Keistimewaan sebagai Simbol Pemersatu dengan Kewenangan Strategis-Terbatas
Sebagai konsekuensi dari pemisahan antara institusi monarki dengan demokrasi, maka hak penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari berada di tangan institusi yang dipilih rakyat. Sementara itu, institusi monarki sekalipun tidak lagi memegang kendali penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari, tetap dijamin dengan sejumlah kewenangan strategis sekalipun lebih terbatas. Sebagai penjabaran dari substansi keistimewaan Provinsi DIY sebagaimana telah dikemukakan, kewenangan institusi monarki yang dijalankan Parardhya ini terbatas pada keterlibatannya dalam memberikan persetujuan dan penolakan atas calon-calon gubernur dan wakil gubernur dan kewenangan untuk menolak kebijakan penggunaan Sultanaate grond and Pakualamanaat grond.
Tidaklah mudah menemukan kesepadanan peran Sultan dan Paku Alam sebagai Parardhya dengan praktek di negara-negara lain. Hal ini dikarenakan keberadaan institusi monarki dalam praktek pemerintahan modern pada umumnya terjadi di tingkat nasional, bukan di tingkat daerah. Walaupun demikian, penempatan posisi Sultan dan Paku Alam sebagai simbol pemersatu yang sekaligus mempunyai kewenangan dalam beberapa urusan pemerintahan, mempunyai kesepadanan di beberapa negara yang mempertahankan institusi monarki dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
Pada kasus Nepal, raja diposisikan sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Legislatif Nepal mengadopsi sistem Bikameral yang terdiri dari Dewan Perwakilan (House of Representatives) dan Dewan Nasional (National Council). Dewan perwakilan memiliki anggota 205 orang yang langsung dipilih oleh rakyat. Sedangkan Dewan Nasional terdiri dari 60 orang (10 dinominasikan oleh raja, 35 dipilih oleh Dewan Perwakilan, dan 15 dipilih oleh electoral college yang berasal dari Desa dan Kota). Masa kerja legislatif 5 tahun namun boleh dibubarkan oleh raja. Sedangkan eksekutif terdiri dari Raja dan Dewan Menteri (Kabinet). Pemimpin koalisi atau partai yang memperoleh kursi terbanyak dalam Pemilu akan ditunjuk sebagai Perdana Menteri. Kabinet ditunjuk Raja setelah mendapat rekomendasi Perdana Menteri. Adapun hak-hak raja adalah (a) Sebagai Kepala Negara yang berhak mencampuri urusan pemerintahan; (b) Raja berhak membubarkan pemerintahan dan parlemen; (c) Raja menunjuk 10 anggota di Dewan Nasional; (d) Raja berhak menunjuk menteri yang diajukan Perdana Menteri.
Pada kasus Thailand, Raja adalah Kepala Negara, simbol Wakii rakyat, dan Perdana Menteri adalah Kepala Pemerintahan. Majelis Nasional (National Assembly) terdiri dari 2 kamar: House of Representative dan Senate. Undang-undang ditetapkan oleh 2 dewan Majelis Nasional. Senat sebagai badan penetap memiliki kekuatan yang besar. Senat memegang peranan penting dalam menjalankan pemerintahan. Raja membentuk parlemen dan mengangkat perdana menteri melalui pemilihan yang dilakukan partai-partai ataupun militer. Sejak tahun 1932 perdana menteri diangkat dan dipilih parlemen. Tetapi kebanyakan perdana menteri Thailand tidak dipilih parlemen tapi diangkat militer. Keberadaan kerajaan diatur oleh hukum kerajaan yang disebut dengan Gotmontienboan.
Dalam kasus inggris, kekuasaan eksekutif yang merupakan otoritas kerajaan dipegang Perdana Menteri dan para menteri. Kerajaan secara teknis mengelola kekuasaan eksekutif dan harus menominasikan kepala pemerintahan (Perdana Menteri) yang disepakati parlemen. Perdana menteri saat ini selalu berasal dari anggota House of Commons. Kabinet, Perdana Menteri dan anggota kabinetnya secara kolektif menjalankan pemerintahan Sang Ratu. Kabinet tersebut berasal dari parlemen dan bertanggungjawab terhadap parlemen. Perdana Menteri menunjuk para menteri dalam pos-pos pemerintahan yang biasanya berasal dari anggota senior partainya dan sisanya berasal dari anggota House of Lord. Kerajaan bukanlah sesuatu yang ada di luar parlemen. Sang Penguasa kerajaan merupakan bagian dari parlemen (Mahkota di dalam Parlemen) dan memungkinkan parlemen membuat UU, namun keputusan-keputusan di parlemen tidak akan bisa menjadi perundang-undangan tanpa ditandatangani Sang Penguasa Kerajaan.
Pada kasus Belanda, Ratu adalah head of the state, bersama dengan menteri-menteri membentuk pemerintahan. The Council of Ministers merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan pemerintahan. Monarki dan The Council of Ministers inilah yg disebut dengan Kerajaan (Crown). Menurut Aturan Parlemen, anggota keluarga kerajaan terdiri dari (a) Sang Raja atau Ratu; (b) Mantan Raja/Ratu; (c) Anggota keluarga yang berhak menjadi Putera Mahkota.
Sedangkan Spanyol merupakan Monarki Parlementer dimana Raja atau Ratu Spain (Rey de Espaha or Reina de Espana) sebagai Kepala Negara dan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Kekuasaan monarki sangatlah simbolik karena seluruh aktivitas keluarga kerajaan harus disetujui Perdana Menteri atau Presiden Lower House of Reseprentation, Pemerintahan di Spanyol terdiri dari Raja sebagai Kepala Negara dan presiden sebagai kepala pemerintahan yang dibantu 2 Wakil presiden. Sedangkan Dewan Menteri atau kabinet dibentuk oleh presiden.
Pengalaman sejumlah monarki konstitusional di atas menunjukan, terjadi separasi kekuasaan simbolik monarki dengan kekuasaan politik sehari-hari dilakukan secara tegas melalui regulasi yang jelas pula. Sekalipun demikian, pengalaman di atas sekaligus menunjukan tidak adanya pola tunggal dalam pengaturannya. Karenanya, bagi Yogyakarta, format pengaturannya juga harus disesuaikan dengan konteks sejarah, kultural dan konteks Yogyakarta sendiri.
Instltusi Parardhya Keistimewaan dalam Struktur Pemerintahan merupakan Institusi Tunggal.
Posisi institusi monarki dalam sistem pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta diwujudkan dengan keberadaaan satu institusi Parardhya. Tidak seperti praktek monarki konstitusional di beberapa negara di mana hanya ada satu institusi monarki dalam satu kesatuan wilayah, di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat dua institusi monarki dalam satu kesatuan wilayah. Sejarah telah menghasilkan keberadaan Kesultanan yang dipimpin Sultan dan Pakualaman yang dipimpin Paku Alam. Namun, atas alasan kepastian dan efektivitas peran institusi monarki dalam sistem pemerintahan modern di DIY, Parardhya Keistimewaan tampil sebagai institusi yang tunggal.
Keterlibatan institusi monarki dalam pemerintahan modern di negara-negara Eropa seperti di Inggris, Belanda dan Norwegia, direpresentasikan oleh satu orang Raja atau Ratu. Demikian juga yang terjadi di negara-negara di Asia, seperti Thailand, Nepal, bahkan juga di negara-negara di Timur Tengah. Bahkan, di Malaysia yang mempunyai banyak Raja, menampilkan satu Sultan sebagai representasi para Sultan dalam struktur pemerintahan di Malaysia. Sebagai simbol dari keseluruhan masyarakat, keberadaan monarki sebagai satu kesatuan sangat penting guna mencegah persaingan simbolik dan politik dan sekaligus untuk memberikan kepastian rujukan kepada masyarakat secara keseluruhan.
Kepemimpinan tunggal institusi monarki dalam struktur pemerintahan modern DIY masih menyisakan masalah. Hal ini bersumber pada kenyataan bahwa di Yogyakarta terdapat dua institusi monarki. Karenanya, pertanyaan yang muncul adalah apakah Sultan ataukah Paku Alam, ataukah keduanya sebagai institusi yang tunggal. Dalam menentukan institusi monarki yang tunggal dalam struktur pemerintahan DIY ini, menjadi penting bagi kita untuk menentukannya berdasarkan pengalaman keduanya yang telah diletakkan sejak awal pemerintahan Indonesia dimana Sultan memainkan peranan lebih besar dibandingkan dengan Paku Alam. Dalam konteks ini, Sultan akan terus memainkan peranan utama, sementara Paku Alam menjadi orang kedua dalam kesatuan Parardhya Keistimewaan. Untuk mengindari komplikasi yang mungkin timbul di kemudian hari, penetapan keduanya sebagai satu kesatuan dilakukan melalui UU Keistimewaan Yogyakarta.
Hal di atas sangat penting karena pembedaan status urutan keduanya membutuhkan pondasi historis dan politis yang kuat. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa secara historis, penyatuan institusi Kesultanan dan Pakualaman tidak mempunyai pondasi panjang, kecuali sejak kemerdekaan Indonesia. Selama era kolonial, Gubenur Stanford Raflles menghadiahkan sebagian kecil daerah Yogyakarta kepada pangeran Notokusumo, putera Sultan Hamengku Buwono I dan Saudara Sultan Hamengku Buwono II yang saat itu sedang memerintah. Pangeran tersebut diakui sebagai pangeran yang merdeka dan terlepas dari Sultan dan diberi gelar Paku Alam (Soemardjan, 1981: 20-21). Hal ini menunjukkan bahwa ada fondasi sejarah yang kuat bagi pemisahan antara institusi Kesultanan dan Pakualaman. Padahal, dalam pemerintahan modern Indonesia, kewilayahan Kesultanan dan Pakualaman ini berada dalam satu unit pemerintahan, yaitu wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Realitas sejarah seperti ini dapat menjadi pusat kontroversi dan melahirkan komplikasi politik di masa-masa yang akan datang. Karenanya perlu diselesaikan dalam UU Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Secara komparatif, Malaysia merupakan satu contoh negara dengan banyak Kesultanan yang dituntut untuk menempatkan satu pemimpin yang merepresentasikan institusi monarki dalam pemerintahan modern. Mekanisme yang digunakan adalah pemilihan di kalangan para Sultan. Kepala negara Malaysia adalah Yang di Pertuan Agung yang merupakan raja Malaysia yang dipilih setiap lima tahun sekali di antara sembilan Sultan yang memerintah negara-negara bagian. Sedangkan empat negara bagian lainnya yang dipimpin seorang Gubernur tidak ikut dalam pemilihan. Yang bertanggungjawab secara politis untuk menjadi Kepala Pemerintahan Negara Bagian (Executive Chief Minister) adalah Menteri Besar (Negara bagian berbasis kerajaan) dan Ketua Menteri (Negara yang bukan berbasis kerajaan) yang dipilih oleh legislatif Negara Bagian untuk mendampingi Sultan atau Gubernur. Sedangkan yang bertindak sebagai Kepala Negara adalah Sultan atau Gubernur.
Sekalipun pengalaman Malaysia menyajikan kemungkinan rute lain untuk menghasilkan kepemimpinan tunggal di atas, Tim JIP Fisipol UGM memilih penetapan dalam UU Keistimewaan Yogyakarta sebagai cara untuk menghasilkan kepemimpinan tunggal yang mempresentasikan monarki. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa secara historis, Daerah Istimewa Yogyakarta sejak awal kemerdekaan telah mempraktekan struktur kepemimpinan monarki, yaitu Hamengku Buwono sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakil Gubernur. Mekanisme yang telah berlangsung lebih dari setengah abad ini, sekalipun masih sangat pendek dibandingkan usia kedua monarki, mempunyai landasan historis untuk dilanjutkan di masa-masa yang akan datang. 3. Struktur Pemerintah Propinsi DIY
Prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang telah dijabarkan di atas perlu diimplementasikan dalam format struktur pemerintah daerah. Dalam kaitan ini, identifikasi lembaga-lembaga utama dalam pemerintah propinsi daerah istimewa Yogyakarta, kewenangan masing-masing lembaga dan tata hubungan antar lembaga serta antara propinsi DIY dan pemerintah nasional dan pemerintah kabupaten/kota yang ada di daerah Yogyakarta akan dileborasi.
a. Penyelenggara Pemerintah Propinsi DIY
Proses penyelenggaraan pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sehari-hari diselenggarakan 3 unsur yang saling terikat dan dalam satu kesatuan, yaitu:
Pertama, Gubernur Pemerintah Propinsi DIY. Gubernur pemerintah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam penyelenggaraan pemerintahan bertindak sebagai kepala wilayah dan kepala daerah istimewa Yogyakarta. Peran dan fungsi Gubernur sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Istimewa. DPRD propinsi daerah istimewa Yogyakarta merupakan unsur legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Peran dan fungsi DPRD sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Ketiga, Parardhya Keistimewaan. Parardhya keistimewaan merupakan simbol kebudayaan dan penjaga stabilitas masyarakat DIY. Lembaga ini berfungsi sebagai pelindung, pengayom, dan penjaga budaya; dan simbol pemersatu masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Parardhya keistimewaan dipangku oleh Sultan dan Paku Alam sebagai satu kesatuan, Parardhya keistimewaan memiliki peran terbatas dalam penyelenggaraan pemerintahan yang terkait dengan urusan-urusan politik dan pemerintahan, kebudayaan, serta pengaturan Sultanaat grond dan Pakulamanaat grond dan penataan ruang.
b. Pengisian Jabatan
Proses rekruitmen dan pengisian jabatan unsur penyelenggara pemerintahan adalah sebagai berikut:
Pertama, Gubernur Pemerintah Propinsi DIY. Pengisian jabatan Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan melalui mekanisme pemilihan langsung sesuai dengan prinsip demokrasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengecualiaan atas pengisian jabatan Gubernur adalah pada kewenangan Parardhya menyatakan persetujuan atau penolakan atas calon-calon yang telah memenuhi syarat-syarat administrasi dan kesehatan sebelum ditetapkan sebagai calon definitif oleh KPUD. Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Istimewa.
Anggota DPRD Istimewa dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung sesuai dengan prinsip demokrasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Ketiga, Parardhya Keistimewaan. Jabatan Parardhya keistimewaan diisi secara otomatis oleh Sultan dan Paku Alam yang jumeneng. Keduanya merupakan satu kesatuan kelembagaan. Dalam hal Sultan dan/ atau Paku Alam yang jumeneng belum memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat menjalankan fungsi, dan/ atau tidak lagi mampu menjalankan fungsinya, maka Sultan atau Paku Alam masing-masingnya akan didampingi oleh wall. Mekanisme perwalian mengikuti Paugeran dari masing-masing monarki yang telah dinyatakan terbuka kepada publik.
c. Kedudukan dan Kewenangan
Masing-masing unsur pemerintahan DIY, memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintah propinsi. Kewenangan-kewenangan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Gubernur Pemerintah Propinsi DIY. Gubernur propinsi DIY memiliki kedudukan ganda, yakni sebagai sebagai (a) kepala wilayah dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. (b) Kepala daerah dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan ,
Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Istimewa. DPRD DIY berkedudukan sebagai representasi rakyat dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Ketiga, Parardhya Keistimewaan. Parardhya berkedudukan sebagai simbol budaya dan penjaga stabilitas masyarakat. Parardhya berfungsi sebagai pelindung, pengayom, dan penjaga budaya serta simbol pemersatu masyarakat Yogyakarta. Dalam kedudukan dan fungsi sebagaimana disebutkan di atas, Parardhya memiliki kewenangan (a) strategis-terbatas dalam perumusan kebijakan di (i) bidang politik dan pemerintahan yang meliputi kewenangan memberikan persetujuan atas calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang dinyatakan telah memenuhi syarat oleh KPUD; serta memberikan pertimbangan dalam penetapan kelembagaan pemerintahan Provinsi DIY. (ii) bidang kebudayaaan yang menyangkut seluruh kebijakan umum yang terkait kebudayaan, (iii) pengaturan dan penggunaan sultanaate grond dan Pakualamanaat grond dengan ketentuan, (a) urusan sultanaat grond diatur sepenuhnya oleh Sultan sebagai representasi institusi Kesultanan dan (b) urusan Pakualamanaat grond diatur sepenuhnya oleh Paku Alam sebagai representasi institusi Pakualaman. Dan (iv) Tata ruang yang menyangkut seluruh kebijakan umum yang terkait dengan penataan ruang.
(b) Kewenangan strategis-terbatas di atas diwujudkan melalui kewenangan Parardhya dalam (i) memberikan arah umum kebijakan dalam keempat bidang di atas yang disampaikan setidak-tidaknya sekali dalam lima tahun pada pembukaan masa sidang DPRD dan dalam forum yang dimaksudkan untuk itu. (ii) memberikan persetujuan atas Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) yang terkait dengan kewenangan istimewa. (iii) Parardhya juga memiliki kewenangan memberikan saran dan pertimbangan terhadap rencana perjanjian kerjasama pemerintah provinsi dengan pihak ketiga yang dapat membebani masyarakat, serta rencana pinjaman daerah sebelum diajukan kepada Pemerintah.
(c) Di samping kewenangan, Parardhya juga memiliki hak-hak khusus, antara lain hak (i) menyampaikan usul dan pendapat kepada pemerintah pusat dalam rangka penyelenggaraan kewenangan istimewa; (ii) mendapatkan seluruh informasi mengenai kebijakan atau yang diperlukanuntuk merumuskan kebijakan; (iii) pengajukan pertanyaan kepada pemerintah Provinsi dan DPRD yang terkait dengan kelembagaan pemerintahan, pertanahan, kebudayaan dan penataan ruang; dan kepada pemerintah kabupaten/kota dan DPRD Kabupaten/Kota yang terkait dengan bidang kebudayaan, pertanahan dan penataan ruang; (iv) mengusulkan perubahan atau penggantian Perdais; (v) mengusulkan pemberhentian gubernur/wakil gubernur setelah diputuskan oleh badan peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, tidak lagi memenuhi syarat, dan/ atau melanggar larangan. Hak-hak imunitas, keuangan, pelayanan dan dukungan administrasi, serta hak protokoler setingkat menteri juga menjadi hak yang dilekatkan pada Parardhya.
d. Hubungan Antar Lembaga
Kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga dalam struktur pemerintah daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut di atas melahirkan hubungan kewenangan yang perlu dirumuskan secara teliti. Hal ini bukan saja terkait dalam hubungan antar lembaga di internal pemerintah Provinsi DIY, tetapi juga antara pemerintah Provinsi DIY dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintah Kabupaten/ Kota di Provinsi DIY.
Pertama, hubungan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi DIY. Wakil pemerintah pusat di pemerintah provinsi DIY adalah Gubernur dalam posisinya sebagai Kepala Wilayah Administratif, merujuk pada Integrated Prefectoral System sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam kedudukan demikian, terdapat hubungan kewenangan yang besifat hierarkis antara Presiden dengan Gubernur. Presiden berwenang memberikan instruksi kepada Gubernur, termasuk untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap institusi-institusi pemerintahan yang ada di daerah; serta menjalankan kewajiban-kewajiban lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk keperluan ini, Gubernur diberi sumberdaya staf dan keuangan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam kedudukanya sebagai Kepala Daerah Otonom, Gubernur adalah pimpinan eksekutif tertinggi di DIY, yang bersama-sama dengan DPRD menjalankan urusan-urusan daerah otonom dan urusan-urusan yang dinyatakan oleh Undang-undang ini sebagai substansi keistimewaan Yogyakarta.
DPRD DIY merupakan lembaga representasi rakyat Yogyakarta yang bersifat otonom dan tidak memiliki hubungan hirarkis dengan pemerintah nasional. DPRD DIY tunduk pada semua peraturan perundang-undangan.
Parardhya merupakan institusi otonom yang tidak memiliki hubungan kewenangan yang bersifat hirarkhis dengan pemerintah nasional. Hubungan antara pemerintah nasional dengan Parardhya bersifat koordinatif dalam rangka memperlancar penyelenggaraan pemehntahan dimana Parardhya Keistimewaan memiliki kewenangan terbatas-strategis. Hubungan koordinasi ini terbatas pada urusan-urusan yang dinyatakan sebagai substansi keistimewaan Yogyakarta.
Kedua, hubungan Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah kabupaten/ kota. Pada prinsipnya hubungan antara Pemerintah Provinsi DIY dengan pemerintah Kabupaten/ Kota adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang pemerintah, kecuali yang menyangkut urusan-urusan yang dinyatakan sebagai substansi keistimewaan Yogyakarta.
Dalam hal ini, seluruh kebijakan, yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grand, serta pengelolaan dan pemanfaatannya di tingkat Kabupaten/ Kota harus mengacu pada arah kebijakan umum yang ditetapkan Parardhya dan Perdais Provinsi DIY yang mengatur hal ini. Dalam proses, semua kebijakan yang terkait dengan Sultanaat grond dan Pakualamanaat grond yang akan diambil kabupten dan kota harus dikonsultasikan dengan Parardhya. Dalam hal kebijakan kebijakan Kabupaten/ Kota bertentangan dengan arah umum kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Sultanaat grond dan Pakualamanaat grond yang digariskan Parardhya serta Perdais Provinsi yang telah mendapatkan persetujuan Parardhya, Parardhya memiliki kewenangan membatalkan kebijakan yang ada. Pembatalan ini secara adminsitratif dilakukan pemerintah provinsi. Prinsip dan mekanisme yang sama berlaku untuk kebijakan-kebijakan kabupaten/ kota yang mengatur hal-hal yang terkait dengan urusan penataan ruang dan kebudayaan.
Ketiga, hubungan antar lembaga dalam struktur pemerintah provinsi DIY. Hubungan kewenangan antara Gubernur dan DPRD adalah sebagai institusi eksekutif dan legislatif sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang pemerintah daerah. Dalam kaitannya dengan seluruh penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi DIY, Gubernur melakukan konsultasi secara reguler dengan Parardhya. Untuk urusan-urusan di luar substansi keistimewaan konsultasi dilakukan secara suka-rela. Sementara untuk urusan-urusan yang menjadt substansi keistimewaan Yogyakarta, konsultasi merupakan kewajiban yang harus dilakukan Gubernur. Dalam kaitannya dengan proses perumusan kebijakan yang terkait dengan urusan-uruan keistimewaan, DPRD DIY mengacu pada arah umum kebijakan
Parardhya yang disampaikan pada pembukaan masa sidang DPRD DIY. Dalam proses kebijakan yang terkait dengan urusan-urusan keistimewaan, DPRD DIY wajib melakukan konsultasi dengan Parardhya. Setiap Perdais yang menyangkut kebudayaan, Sultanaat grond dan Pakualamanaat grond dan penataan ruang belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat kecuali telah mendapatkan persetujuan Parardhya.
Secara skematik, hubungan kewenangan di antara lembaga-lembaga di tingkat pemerintahan DIY adalah sebagai berikut:








F. Implikasi Protokoler dan Keuangan
Perubahan kelembagaan, kewenangan, dan hubungan kelembagaan sebagaimana digambarkan di atas memiliki dua implikasi lanjutan penting, yakni protokoler dan keuangan. Kedua implikasi penting lanjutan di atas akan dibahas berikut ini,
1. Kedudukan Protokoler
Kedudukan protokoler adalah bentuk penghormatan secara resmi yang diberikan karena jabatan publik yang diemban. Kedudukan protokoler pada dasarnya merupakan bentuk penghormatan yang dilekatkan pada seseorang karena posisi dan fungsi bakunya di mata publik. Pengaturan kedudukan protokoler perlu diatur tegas. Hal ini bukan saja untuk memperlihatkan posisi dan fungsi yang diemban pejabat publik dalam tata pemerintahan tetapi juga untuk memperlihatkan posisi relatif seorang pejabat publik dihadapan pejabat publik lain. Kedudukan protokoler mengisyaratkan posisi seseorang dalam tata kelembagaan pemerintahan yang cenderung berjenjang. Sekalipun demikian, kedudukan protokoler tidak dengan serta merta mengisyaratkan besarnya kekuasaan seorang yang menduduki jabatan publik. Kedudukan protokoler memberikan acuan bagi pemberian penghormatan di depan publik. Dalam kaitannya dengan kelembagaan-kelembagaan di lingkungan DIY, pengaturannya dilakukan sebagai berikut.
Pertama, Sultan dan Paku Alam sebagai Parardhya Keistimewaan DIY. Dalam kedudukan sebagai Parardhya Keistimewaan DIY, Suitan dan Paku Alam memiliki (a) kedudukan protokoler yang setara dengan menteri, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat di dalamnya. Hak dan kewajiban ini termasuk di dalamnya perlakuan hukum, dan kewajiban untuk menjaga martabat bangsa. Sekalipun demikian, Parardhya bukan merupakan Wakil pemerintah pusat di DIY dan juga bukan Kepala Wilayah yang bertugas mengintegrasikan berbagai kegiatan sektoral yang diselenggarakan birokrasi pemerintah dalam kerangka spasial. Institusi ini merupakan institusi otonom yang berperan sebagai simbol keutuhan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai suatu entitas budaya dan politik. (b) Parardhya memberikan persetujuan atau penolakan atas Perdais yang telah disetujui DPRD dan Gubernur untuk urusan-urusan yang ditetapkan sebagai substansi keistimewaan Yogyakarta. (c) Memberikan persetujuan atau penolakan atas calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang telah dinyatakan memenuhi syarat-syarat administratif dan kesehatan sebelum ditetapkan oleh KPUD.
Kedua, Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kedudukan protokoler yang sama dengan Gubernur di propinsi lain di Indonesia. Begitu juga, angota dan pimpinan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kedudukan protokoler yang sama dengan anggota dan pimpinan DPRD di daerah lain. Yang membedakan adalah bahwa, secara protokoler, keduanya harus memberikan penghormatan kepada Parardhya.
Ketiga, Bupati/Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bupati/Walikota di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kedudukan protokoler yang sama dengan Bupati/Walikota di wilayah lain di Indonesia. Begitu juga, anggota dan pimpinan DPRD Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kedudukan protokoler yang sama dengan yang dimiliki oleh anggota dan pimpinan DPRD di Kabupaten/Kota lain.
2. Kedudukan Keuangan.
Status istimewa yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta membawa beban-beban tambahan yang harus ditanggung oleh pemerintah Provinsi DIY. Selain menyelenggarakan kewenangan sebagaimana dimiliki oleh pemerintah provinsi lainnya di Indonesia, pemerintahan Provinsi DIY juga mengatur dan mengurus kewenangan istimewa yang mencakup tata cara pencalonan Gubernur/ Wakil Gubernur, arah kebijakan penetapan kelembagaan pemerintah provinsi, kebudayaan, pertanahan dan penataan ruang. Ditambahkannya kewenangan istimewa yang diberikan kepada pemerintah provinsi DIY membawa konsekuensi pada bertambahnya fungsi yang harus dijalankannya. Oleh karenanya, tambahan desentralisasi fungsi ini harus diikuti dengan tambahan desentralisasi fiskal kepada Provinsi DIY.
Penerimaan Daerah Provinsi sebagaimana yang lazirn diatur dalam UU tentang Pemerintahan Daerah dan UU tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, mencakup Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Pinjaman Daerah. Sumber penerimaan daerah seperti ini merupakan desentralisasi fiskal yang standar sebagai konsekuensi dari desentralisasi fungsi yang standar pula. Untuk menopang penyelenggaraan kewenangan istimewa, diperlukan desentralisasi fiskal tambahan yang bisa bersumber pada beberapa alternatif sumber penerimaan.
Alternatif pertama, desentralisasi fiskal tambahan bisa dilakukan melalui desentralisasi pajak (tax assignment) dengan menambahkan jenis-jenis pajak baru kepada Pemerintah Provinsi DIY. Namun, alternatif ini tidak fisibel karena tidak menjamin adanya penambahan pendapatan yang terduga (predictable) dan memadai (adequacy) karena lemahnya basis pajak di DIY. Selain itu, hal ini akan memperumit sistem perpajakan daerah di Indonesia yang tidak pernah dilakukan sebelumnya.
Alternatif kedua adalah dengan menambahkan porsi Bagi Hasil (BH) sebagaimana yang dilakukan untuk Provinsi Nangroe Aceh Darusalam maupun Provinsi Papua. Namun, tidak seperti dua provinsi otonomi khusus ini yang kaya sumber daya alam, provinsi DIY tidak memiliki potensi penerimaan nasional yang bisa dibagi hasilkan dengan kontribusi yang memadai bagi provinsi DIY. Oleh karena itu, desentralisasi fiskal tambahan melalui Bagi Hasil ini tidak memadai sebagai sumber pendanaan tambahan.
Alternatif ketiga adalah dengan memberikan tambahan alokasi pendapatan melalui mekanisme subsidi khusus (Dana Alokasi Khusus). Karakter DAK ini adalah untuk kebutuhan yang telah ditegaskan (earmarked grant) oleh pemerintah pusat, pengalokasiannya diadministrasikan oleh departemen tertentu di tingkat pusat, dan besarannya tidak pasti dari tahun ke tahun. Berbeda dengan DAU yang totalnya sudah ditentukan dalam UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Karakter DAK seperti ini tidak tepat untuk mendukung penyelenggaraan kewenangan istimewa DIY yang membutuhkan kepastian besaran setiap tahunnya dengan keleluasaan untuk membelanjakannya sesuai dengan keburuhan daerah.
Alternatif terakhir sumber pembiayaan bagi tambahan kewenangan istimewa dilakukan melalui penambahan Dana Alokasi Umum (block grant). Total DAU ini stabil setiap tahunnya, karena besarannya telah ditentukan dalam UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Selain itu, daerah penerima DAU mempunyai keleluasaan untuk menggunakannya sesuai dengan kebutuhan daerah. Karakter ini paling tepat untuk mendukung pembiayaan dari wewenang istimewa Provinsi DIY. Namun, karena pendistribusian DAU dilakukan dengan formula standar yang berlaku untuk seluruh daerah, maka model yang memungkinkan adalah Provinsi DIY tetap menerima alokasi DAU seperti semula dengan formula standar, ditambah dengan sebagian (persentase tertentu) dari plafon DAU sebelum didistribusikan ke daerah-daerah.
Selain alokasi yang berasal dari persentase plafon DAU nasional, penyelenggaraan urusan istimewa Yogyakarta juga perlu didukung oleh pembiayaan yang berasal dari Pemerintah Kabupaten/ Kota di lingkungan provinsi DIY. Keistimewaan DIY bukan saja menjadi tanggung jawab Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Kontribusi yang paling fisibel adalah diambilkan dari sebagian PAD yang diperoleh masing-masing Kabupaten/ Kota. Skema sumber penerimaan yang berupa sebagian plafon DAU nasional ditambah dengan sebagian PAD Kabupaten/ Kota di Provinsi DIY inilah yang kami sebut sebagai Dana Daerah Istimewa (DDI). Dengan kata lain, DDI adalah penerimaan Provinsi DIY dari desentralisasi fiskal tambahan dari pemerintah pusat dan dukungan fiskal dari Pemerintah Kabupaten/ Kota di provinsi DIY dalam rangka mendukung penyelenggaraan wewenang istimewa yang merupakan wewenang tambahan bagi Pemerintahan Provinsi DIY.
Dengan model alokasi tambahan fiskal berupa Dana Daerah Istimewa (DDI) diharapkan akan mendukung ketercukupan (adequacy) yang berkelanjutan dan dan terduga bagi penyelenggaraan wewenang Provinsi DIY yang mencakup pula wewenang istimewa. Model alokasi berupa subsidi umum (block grant), membuat pemerintah Provinsi DIY mempunyai keleluasaan dalam menggunakannya. Walaupun Dana Daerah Istimewa ini dimaksudkan untuk mendukung penyelenggaraan wewenang istimewa, namun tidak berarti bahwa Dana Daerah Istimewa hanya untuk wewenang istimewa atau wewenang istimewa hanya dibiayai oleh Dana Daerah Istimewa.
Penerimaan standar yang mencakup PAD, BH, DAU, DAK, Pinjaman dan pendapatan lain yang sah, serta penerimaan berupa DDI sebagai konsenkuensi dari wewenang istimewa, merupakan sumber pendapatan yang kemudian disatukan dalam APBD. Bisa saja terjadi pendapatan Provinsi DIY dari DDI tidak dibelanjakan semua untuk penyelenggaraan wewenang istimewa. Bisa juga sebaliknya, DDI tidak mencukupi untuk membiayai belanja penyelenggaraan wewenang istimewa, dan karenanya harus ditambah dari sumber lain. Semua alokasi belanja daerah ini dirumuskan melalui mekanisme standar penganggaran yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, perencanaan belanja harus dirumuskan secara partisipatif (participatory budgeting), berbasis pada visi daerah (visionary budgeting), yang yang disertai dengan tolok ukur pencapaian yang jelas (performance budgeting).
Walaupun mekanisme dan sistem penganggaran menggunakan standar sebagaimana diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun pembiayaan bagi wewenang istimewa harus bisa dijamin. Melalui penyelenggaraan wewenang di bidang kebudayaan, Pemerintahan Provinsi DIY wajib mengalokasikan anggaran bagi Kesultanan dan Pakualaman sebagai institusi sosio-kultural warisan budaya bangsa. Sebagaimana sejumlah monarki konstitusional yang dipelajari Tim JIP, mengoptimalkan peran-peran sosio-kultural suatu monarki yang dilakukan secara bersamaan dengan keharusan memenuhi kebutuhan finansial secara mandiri tidak dapat diwujudkan. Pengalaman Kerajaan Inggris menunjukan, keseluruhan pengeluaran rumah-tangga istana yang terkait dengan tugas dan kewajiban publiknya sebagai Kepala Negara atau Kepala Commonwealth ditanggung melalui keuangan Negara60. Namun, dalam konteks keistimewaan Provinsi DIY, besaran alokasi anggaran untuk Kesultanan dan Pakualaman ini adalah bagian dari penyelenggaraan wewenang kebudayaan yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Hal serupa juga berlaku untuk penyelenggaraan kewenangan istimewa lainnya. Unit atau lembaga yang bertanggung jawab dalam pembelanjaan uang negara adalah unit-unit pemerintah daerah yang merumuskannya melalui mekanisme teknokratis dan politis sesuai peraturan perundang-undangan. Prinsip-prinsip efektivitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas serta prinsip-prinsip lain yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan juga harus ditaati oleh kebijakan belanja bagi penyelenggaraan urusan istimewa.
Sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, pengadministrasian penyelenggaraan wewenang istimewa sebagian besar ditangani oleh Sekretariat Parardhya. Dalam hal pertanggung jawaban penggunaan keuangan, Sekretariat Parardhya merupakan unit penyelenggara administrasi dan bukan merupakan unit pelaksana teknis, kecuali untuk protokoler Parardhya Keistimewaan. Namun, atas keputusan Parardhya, Sekretariat Parardhya mengelola berbagai macam kegiatan yang secara



60 Untuk kasus Inggris sumber keuangan untuk membiayai Kerajaan bisa berasal dari enam sumber: {1)7/je Civil List, yakni anggaran yang jumlahnya ditentukan oleh parlemen ditujukan untuk pembiayaan aktivitas kerumahtanggaan Sang Ratu sebagai Kepala Negara dan Kepala Commonwealth. (2) The Grants-in-Aid for upkeep of Royal Palaces, yakni sejumlah anggaran yang ditentukan oleh parlemen setiap tahun yang digunakan untuk membiayai pemeliharaan seluruh Istana. (3) The Grants-in-Aid and for Royal travel, yakni anggaran yang disediakan parlemen melalui departemen Transportasi untuk membiayai seluruh perjalanan Ratu. (4) The Privy Purse and Ducy Lancaster, merupakan sumber pembiayaan independen sang Ratu yang berasal dari kepemilikan (tanah, properti dan aset) Ducy Lancaster yang digunakan untuk membiayai aktivitas Sang Ratu yang tidak bisa dibiayai oleh Civil List (6) The Queen's personal wealth and incom, yang berasal dari investasi pribadi sang Ratu dan digunakan membiayai kebutuhan pribadi sang Ratu. Dalam kasus Belanda, pembiayaan terhadap segala aktivitas Kerajaan diatur dalam regulasi khusus yang disebut Royal House Finances Act. Informasi lebih lanjut dapat diakses di http://www.royal.gov.uk/output/Page4966.asp. Sementara itu, menurut regulasi tersebut anggota kerajaan memperoleh tunjangan dari negara, kemudian segala official expenses dan segala pembiayaan yang meliputi pembiayaan terhadap pemeliharaan dan perlindungan terhadap Kerajaan ditanggung oleh negara. Lebih lanjut lihat http://www.koninklijkhuis.nl/english/content jsp?objectid=13337.



teknis dikelola oleh institusi Kesultanan, Pakualaman, ataupun unit-unit dan lembaga lain yang pada akhirnya dipertanggung jawabkan oleh Sekretariat Parardhya.
Penyelenggaraan wewenang istimewa bukan semata urusan Parardhya yang dibantu oleh Sekretariat Parardhya. Mengacu pada Peraturan Parardhya tentang Arah Umum Kebijakan dan Perdais, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota merencanakan, mengalokasikan anggaran dan melaksanakan wewenang istimewa. Wewenang dalam penetapan tata kelembagaan pemerintah, pertanahan kebudayaan dan penataan ruang menjadi tanggung jawab semua institusi pemerintah, termasuk Sekretariat Parardhya, berdasarkan Peraturan Parardhya dan Perdais. Melalui mekanisme ini institusi Kesultanan dan Pakualaman memperoleh dukungan dari anggaran daerah melalui istitusi-institusi pemerintah daerah. Selain itu, Kesultanan dan Pakualaman juga bisa memperoleh bantuan dari pemerintah pusat.
Walaupun Kesultanan dan Pakualaman dibiayai oleh Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Pusat, sebagai Badan Hukum Kebudayaan, Kesultanan dan Pakualaman mempunyai hak milik, antara lain hak kepemilikan atas tanah. Namun demikian, sebagaimana telah dikemukakan sebelumya, fungsi-fungsi konservasi budaya dan perlindungan bagi kelompok masyarakat kecil yang melekat dalam pengelolaan Sultanaat grond dan Pakualamanaat grond tidak memungkinkan kapitalisasi tanah secara besar-besaran yang mengorbankan kepentingan pelestarian budaya dan perlindungan kelompok masyarakat kecil. Karenanya, seiring dengan adanya pengakuan bahwa Kesultanan dan Pakualaman merupakan warisan leluhur bangsa (national heritage) dan bahkan warisan budaya dunia, ketercukupan pembiayaannya harus dijamin oleh negara.
G. Syarat-Syarat, Kewajiban, Hak dan Larangan Bagi Parardhya Keistimewaan Yogyakarta
Penetapan keistimewaan Yogyakarta sebagaimana digambarkan pada bagian-bagian sebelumnya, memiliki implikasi lebih lanjut yang terkait dengan syarat-syarat, kewajiban, hak dan larangan bagi Parardhya. Hal ini terutama terkait dengan status institusi ini sebagai institusi publik, simbol kebudayaan, dan simbol permersatu. Berikut ini adalah elaborasi mengenai syarat, kewajiban, hak dan larangan bagi Parardhya Keistimewaan Yogyakarta.
1. Syarat-syarat Menjadi Parardhya Keistimewaan
Parardhya Keistimewaan Yogyakarta adalah Sri Sultan Hamengku Buwono danAdipati Paku Alam yang secara sah bertahta di Kesultanan dan Pakualaman. Tata-cara mengenai penetapan Sultan dan Paku Alam sepenuhnya menjadi kewenangan Kesultanan dan Pakualaman sesuai dengan Paugeran. Dalam keadaan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam berhalangan sementara, tugas-tugasnya sebagai Parardhya Keistimewaan dapat digantikan oleh pendamping yang ditunjuk Kesultanan dan Pakualaman. Dalam keadaan salah satu atau kedua-duanya berhalangan tetap maka tugas-tugasnya sebagai Parardhya dilakukan oleh pengganti yang ditetapkan sesuai dengan Paugeran yang berlaku di kedua institusi tersebut.
2. Kewajiban Parardhya Keistimewaan
Dalam kedudukannya sebagai Parardhya Keistimewaan, Sri Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam mempunyai kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang melekat pada posisi dan kedudukan tersebut. Kewajiban tersebut dirumuskan berdasarkan tatacara dan kebiasaan yang ada di Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman yang diselaraskan dengan sistem polittk nasional.
Beberapa kewajiban Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Parardhya adalah: Pertama, melakukan kodifikasi tatacara penggantian Sultan dan Paku Alam di lingkungan Kesultanan dan Pakualaman untuk kemudian dijadikan sebagai dokumen publik. Pengalihan dokumen tata-cara pergantian Sultan dan Paku Alam sebagai dokumen publik dilakukan melalui pengundangannya dalam Lembaran Daerah. Kedua, merumuskan arah umum kebijakan mengenai kebudayaan, pertanahan dan penataan ruang bagi kepentingan umum dengan memperhatikan peraturan perundangan-undangan. Kebijakan umum berkaitan dengan tanah dan kebudayaan yang diberlakukan di Yogyakarta tidak semata-mata didasarkan atas peninggalan leluhur tetapi dimaksimalkan untuk kesejahteraan umum. Ketiga, melakukan konsolidasi dan klasifikasi tanah-tanah Kesultanan61 dan Pakualaman untuk kemudian didaftarkan pada Badan Pertanahan Nasional. Keempat, merumuskan tata-hubungan antara Sultan dan Paku Alam sebagai satu kesatuan kelembagaan. Kelima, sebagai Parardhya Keistimewaan, Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam berkewajiban menjamin tersedianya sumber-daya manusia yang cakap dalam menjalankan fungsi-fungsi publik dan mampu memikul tanggung jawab pelestarian dan pengembangan budaya. Keenam, menetapkan mekanisme pengambilan keputusan oleh Parardhya. Mekanisme dan prosedur pengambilan keputusan ini merupakan dokumen publik yang dapat diakses oleh masyarakat. Ketujuh, mengkonsolidasi dan menginventarisasi aset-aset budaya Kesultanan dan Pakualaman sebagai warisan budaya bangsa.


61 Kebutuhan akan hal ini semakin mendesak karena dalam perkembangan terakhir, telah muncul gugatan atas keabsahan kepemilikan Sultanaat grand oleh kerabat HB VII. Lihat dokumen-dokumen gugatan yang ditanda-tangani oleh RM. Triyanto Prastowo, Wakil Ketua Yayasan Trah Hamengku Buwono VII.






3. Larangan
Dalam posisinya sebagai Parardhya, Sultan dan Paku Alam dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, terlibat dalam kegiatan bisnis yang terkait dengan fungsi-fungsinya, serta membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok ataupun kroni tertentu. Larangan dimaksudkan untuk (a) menjamin kewibawaan institusi Parardhya Keistimewaan sebagai institusi publik dan Sultan serta Paku Alam sebagai pejabat publik. (b) menjamin tetap terjaganya posisi Sultan dan Paku Alam sebagai pengayom bagi seluruh masyarakat Yogyakarta. (c) menjamin Sultan dan Paku Alam tetap menjadi milik seluruh warga Yogyakarta, sesuai dengan run Yogyakarta.
G. Mekanisme Transisi
Mengingat kompleksitas dan luasnya perubahan yang ditimbulkan oleh penetapan status keistimewaan dan substansi keistimewaan yang dirumuskan, maka bisa dipastikan realisasi pelaksanaan keistimewaan Yogyakarta hanya dapat dilakukan secara gradual, melalui sebuah proses persiapan yang matang, komprehensif dan mendalam. Karenanya, diperlukan sebuah skenario transisi. Terdapat beberapa kemungkinan skenario transisi bagi DIY.
Dalam hal waktu, masa waktu yang diperlukan untuk masa transisi sebelum seluruh ketentuan dalam Undang-Undang ini diberlakukan secara penuh adalah 5 (lima). Pilihan waktu di atas didasarkan pada perhitungan beban tugas yang harus diselesaikan oleh agencies atau agency yang bertanggung-jawab atas masa transisi yang sangat besar.
Dua substansi kunci yang harus dirumuskan bagi masa transisi, yakni agencies atau agency yang bertanggung-jawab selama masa transisi dan tugas-tugas yang harus diselesaikan agencies atau agency selama masa transisi. Untuk persoalan pertama, terdapat dua kemungkinan skenario, yakni pertama, Sri Sultan HB X dan Paku Alam IX ditetapkan kembali sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur dimana keduanya berfungsi sebagai agencies yang menjalankan transisi. Kedua, Pejabat Gubernur yang ditetapkan oleh pusat.
Untuk pilihan pertama, yakni Sri Sultan HB X dan Paku Alam IX ditetapkan kembali sebagai Gubernur dengan tugas menyelesaikan agenda transisi, maka terdapat dua persoalan dasar yang membutuhkan penyelesaian. Persoalan yang pertama terkait dengan Orasi Budaya HB X. Persoalan ini penting karena terkaitkan dengan prinsip seorang raja, yakni "sabda pandhito ratu tan kena wolak vva//7c" sebagaimana ditegaskan sejumlah nara sumber dalam berbagai kesempatan forum pertemuan dengan Tim JIP. Tetapi peluang untuk tidak menyangkali tradisi seorang raja ini juga tersedia melalui dua kemungkinan mekanisme (a) adanya tanggung-jawab lebih besar dan strategis yang harus dikerjakan seorang raja sebagaimana disampaikan Sri Sultan HB X dalam pertemuan dengan Tim JIP Fisipol UGM; dan (b) kewajiban raja untuk tunduk pada Sabdanya sendiri dapat dibatalkan oleh "sabda rakyaf sebagaimana diinterpretasikan publik yang terungkap dalam berbagai media dan dikonfirmasi oleh sejumlah nara sumber selama proses perumusan Naskah Akademik ini. Peluang untuk membatalkan Orasi Budaya terbuka melalui dua mekanisme di atas. Persoalan yang kedua terkait dengan rendahnya insentif bagi perubahan; dan dengannya, sebuah transisi tidak akan menghasilkan perubahan berarti.
Pilihan pertama di atas memiliki sejumlah keunggulan, yakni
(1) Transisi dapat dilakukan secara komprehensif karena dilakukan oleh dua figur yang merepresentasikan keseluruhan entitas politik yang membutuhkan penyiapan transisi di Yogyakarta, yakni Kesultanan, Pakualaman dan Pemerintah Provinsi DIY.
(2) Transisi dapat berjalan dengan efektif dan mudah dengan kendala yang sangat minimal.
(3) Transisi tidak akan menimbulkan komplikasi politik baik di lingkungan Kesultanan dan Pakualaman, birokrasi pemerintahan Provinsi DIY, maupun di tingkat masyarakat.
(4) Proses transisi dan hasil-hasil yang dicapai selama proses transisi, memiliki legitimasi yang kuat di hadapan masyarakat Yogyakarta.
Untuk pilihan kedua, transisi dilaksanakan oleh pejabat Gubernur yang ditetapkan pemerintah pusat. Terdapat empat kemungkinan skenario untuk ini. Pertama, pejabat Gubernur yang ditetapkan pusat berasal dari pejabat pusat sebagaimana kebiasaan yang berlaku untuk pejabat Gubernur di berbagai daerah lainnya. Pilihan cara ini memiliki keunggulan berupa (1) kemudahan dalam melakukan koordinasi dengan Jakarta dan (b) kuatnya dukungan politik Jakarta, serta (c) kuatnya perspektif nasional dalam proses transisi. Tetapi kelemahan dari cara pertama ini adalah:
(1) Transisi hanya dapat dilakukan secara parsial dan terbatas pada ranah pemerintahan dan tidak akan dapat menjangkau Kesultanan dan Pakualaman. Dengannya, tidak dapat melakukan skenario transisi yang diperlukan di lingkungan Kesultanan dan Pakualaman.
(2) Proses transisi akan dihadapkan pada kesulitan menjangkau wilayah Kesultanan dan Pakualaman, dan bahkan terbuka kemungkinan yang sangat luas pejabat yang ditunjuk mengalami kesulitan luar biasa dalam melakukan koordinasi dengan Kesultanan dan Pakualaman.
(3) Kehadapan publik Yogyakarta, transisi yang dilakukan oleh pejabat Jakarta yang yang ditetapkan Jakarta akan kesulitan dalam mendapatkan legitimasi publik.
(4) Kemungkinan resistensi masyarakat akan sangat besar.
Kedua, pemerintah pusat menetapkan Paku Alam IX sebagai pejabat Gubernur untuk melaksanakan tugas-tugas transisional. Kemungkinan ini memiliki preseden sejarah yang kuat ketika fungsi-fungsi politik dan pemerintahan Yogyakarta diletakan secara efektif di tangan Adipati Paku Alam IX ketika Sri Sultan HB IX sedang melaksanakan tugas-tugas kenegaraan yang lebih besar di Jakarta. Tetapi ada kelemahan mendasar dengan pilihan ini, yakni:
(1) Kesulitan mobilitas sebagai fungsi dari usia dan kesehatan.
(2) Kesulitan untuk menjangkan Kesultanan karena posisi politik institusi Kesultanan sebagai institusi yang terpisah dari Pakualaman; dan
Tetapi pilihan ini memiliki paling tidak dua keunggulan, yakni:
(1) Pengalaman kerjasama antar Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX yang sudah berjalan dengan baik dalam kedudukan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur merupakan modal bagi kerjasama lebih lanjut dalam proses transisi.
(2) Pilihan ini memberikan peluang bagi artikulasi kepentingan Kesultanan dan Pakualaman secara lebih luas dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Ketiga, penetapan pejabat Gubernur yang berasal dari lingkungan Kesultanan dan Pakualaman oleh pemerintah pusat atas usul HB X dan PA IX. Pilihan ini memiiki kelemahan dasar sebagai berikut, yakni
(1) Dapat mendorong persaingan politik di internal Kesultanan dan Pakualaman.
(2) Alternatif figur yang dapat dipilih sangat terbatas baik dari segi jumlah, kemampuan, maupun pengalaman yang diperlukan.
Keunggulan dari pilihan ini terletak pada dua hal penting, yakni:
(1) akan mudah bekerjasama dengan Keraton dan Pakualaman; dan dengannya potensi untuk melakukan transisi secara menyeluruh akan lebih mudah dicapai.
(2) Potensi dukungan masyarakat akan sangat besar; dan karenanya tidak akan melahirkan pertanyaan tentang legitimasi, baik keterlibatan mereka, proses yang dilewati dan hasil-hasil yang dicapai.
Terakhir, penetapan pejabat Gubernur oleh Pusat yang berasal dari lingkungan non-kerabat dan non-keluarga Kesultanan dan Pakualaman atas usulan Sri Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX. Pilihan ini memiliki sejumlah limitasi berikut ini:
(1) kemungkinan lemahnya dukungan masyarakat, yang bisa berujung pada persoalan legitimasi dari keseluruhan proses transisi.
(2) Pilihan ini memberikan peluang bagi munculnya pejabat Gubernur yang sepenuhnya tunduk pada Kesultanan dan Pakualaman.
Tetapi keunggulan pilihan ini terletak pada tiga hal penting, yakni:
(1) Terbuka kemungkinan yang luas untuk mendapatkan figur pejabat Gubernur dengan kompetensi, pengalaman, dan penerimaan yang luas dalam masyarakat
(2) Terbuka peluang yang sangat luas untuk menemukan figur pejabat Gubernur yang bukan saja dapat bekerjasama dengan Kesultanan dan Pakua Alaman, tapi juga memiliki pengetahuan, pemahaman dan empati yang dalam atas Kesultanan dan Pakualaman.
(3) Terbuka peluang untuk mendapatkan figur pejabat Gubernur yang dapat menjadi jembatan yang efektif dari berbagai stake-holders di lingkungan Yogyakarta.
Dengan berbagai keunggulan dan limitasi sebagaimana digambarkan di atas, Tim JIP mengusulkan agar pilihan skenario pertama, yakni penetapan kembali Sri Sultan HB X dan Adipati Paku Alam IX sebagai pejabat Gubernur dan Wakil Gubernur untuk menjalankan tugas-tugas transisional merupakan pilihan yang terbaik bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pilihan ini dapat menjawab sejumlah persoalan krusial yang perlu mendapatkan jawaban selama periode transisi. Dengan kata lain, TIM JIP Fisipol UGM mengusulkan agar selama proses transisi ini, jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY adalah tetap berada di tangan Sri Sultan HB X dan Paku Alam IX. Untuk itu, Presiden Rl menetapkan kembali Sri Sultan HB X dan PA IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY untuk lima tahun ke depan. Dalam kedudukan baik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur dan penguasa Kesultanan dan Pakualaman, Sri Sultan dan Paku Alam di samping tetap menjalankan fungsinya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, juga menjalankan fungsi dalam mempersiapkan transisi ke arah keistimewaan Yogyakarta yang baru.
Sebagai penguasa Kesultanan dan Pakualaman, Sri Sultan HB X dan Paku Alam IX dalam periode transisi melaksanakan tugas-tugas sebagai berikut;
Pertama, melakukan kodifikasi kerangka umum dan keseluruhan tata-cara penggantian Sultan dan Paku Alam di lingkungan Kesultanan dan Pakualaman yang dijadikan rujukan bagi proses pergantian kepemimpinan dalam Kesultanan dan Paku Alam.
Kedua, menyiapkan tata-cara penyeleksian dan penetapan, serta syarat-syarat yang diperlukan calon-calon Gubernur dan dan Wakil Gubernur sebagaimana diusulkan partai atau gabungan partai politik sebagai rujukan Parardhya Keistimewaan dalam menerima atau menolak calon-calon Gubernur dan Wakil Gubernur.
Ketiga, menyiapkan kerangka umum pondasi filosofi dan arah umum kebijakan mengenai kebudayaan; serta menyiapkan kerangka umum dan arah pengelolaan dan penggunaan pertanahan, khususnya Sultanaat grond dan Pakualaman gronddan penataan ruang.
Keempat, melakukan konsolidasi dan klasifikasi tanah-tanah Kesultanan dan Pakualaman untuk kemudian mendaftarkannya kepada Badan Pertanahan Nasional.
Kelima, Melakukan konsolidasi dan inventarisasi aset-aset Kesultanan dan Pakualaman sebagai warisan budaya bangsa.
Keenam. merumuskan tata-hubungan antara Sultan dan Paku Alam sebagai satu kesatuan kelembagaan.
Ketujuh, menyiapkan masyarakat Yogyakarta secara keseluruhan untuk memasuki sebuah era politik baru di Yogyakarta.
Sementara dalam kedudukan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, Sultan dan Paku Alam menjalan tugas-tugas transisi sebagai berikut:
Pertama, mempersiapkan jajaran birokrasi pemerintahan DIY untuk memasuki era baru pengelolaan pemerintahan istimewa Yogyakarta.
Kedua, menyiapkan kerangka umum dan arah penataan kelembagaan pemerintahan DIY yang baru.
Ketiga, menyiapkan kerangka umum regulasi yang terkait dengan urusan-urusan politik-pemerintahan, kebudayaan, pertanahan dan penatan ruang.
Keempat, menyiapkan dukungan administrasi bagi pelaksanaan kesitimewaan Yogyakarta.
Keiima, menyiapkan mekanisme konsultasi antara Gubernur/Wakil Gubernur dengan Parardhya, serta antara DPRD dan Parardhya sebagai dasar bagi Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih, serta DPRD dalam melakukan komunikasi dengan Parardhya.

Semua pembiayaan, baik yang di lingkungan Kesultanan dan Pakualaman maupun di lingkungan pemerintah Provinsi DIY yang ditimbulkan selama masa transisi dibebankan pada APBN dan APBD. Skema transisi sebagaimana digambarkan di atas ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah.






DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Atmakusumah (Penyunting), Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Keht'dupan Sultan Hamengkubuwono IX, Gramedia, Jakarta, 1982.
Banjaransari, Sudomo, Sedjarah pemerintahan Kota Jogjakarta, Djawatan Penerangan Kotapradja Jogjakarta, 1952.
Chidmad, Tatag, Sri Endang Sumiyati dan Budi Hartono, Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949, Media Presindo, 2001.
Dahana H, dkk, Sri Sutan Hamengku Buwono IX, Sebuah Presentasi Majalah, Grafiti Press, 1988.
Dipodiningrat, Sunarjo, UU No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Gunung Agung, Jakarta, 1957.
Djawatan Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Jogjakarta 1958, Jogjakarta, 1958.
Graaf, HJ. De, Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati (Jilid 3, terjemahan), Grafiti Pers: Jakarta, 1985.
———_____„.„_ Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (Jilid 4, terjemahan), Grafiti Pers, Jakarta, 1986.
———————t Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I (Jilid 5, terjemahan), Grafiti Pers, Jakarta, 1987.
GPH. Buminata, Sera? Kuntaratama: Adeging Nagari Dalem Ngayugyakarta Hadiningrat (terjemahan), Praja Dalem Ngayugyakarta Hadiningrat, Yogyakarta, 1992.
Greve, Tim, Haakon VII of Norway: Founder of a New Monarchy, Hurst, 1983.
Hendrowinito, Nurinwa, Jacob Sumardjo dkk, Sri Sultan Hamengkubowono X, Pisowanan Ageng, Sebuah Percakapan, Yogya Forum, Yogyakarta, 2003.
Houben, Vincent, Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870, Bentang Budaya, Yogyakarta, 2002.
Ismoyo, Wasi dan Sunaryo Purwo Sumitro, Sri Sutan Hamengku Buwono X, Bersikap Bukan Karena Ambisit Bigraf Publishing, 1998.
K.P.H Brongtodiningrat, Arti Kraton Yogyakarta, Museum Kraton Yogyakarta, 1978.
Keating, Michael, Nations Against the State: The New Politics of Nationalism in Quebec, Catalonia and Scotland, Palgrave MacMillan, 2001.
Kershaw, Roger, Monarchy in South East Asia: The Faces of Tradition in Transition, Routledge, London, 2001.
KGPH Mangkubumi, Kerangka dan Konsepsi Politik Indonesia: Sebuah Tinjauan dan Analisa Perkembangan Politik Nasional Indonesia, Mitra Gama Widya, Yogyakarta, 1989.
Khairuddin, H, Filsafat Kota Yogyakarta, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1995.
Kingdom, John, Governments and Politics in Britain: An Introduction, Polity Press, Cambridge, 1991.
Kismoyo, Keistimewaan Jogja vs Demokratisasi, Bigraf, Yogyakarta, 2004.
Kristiyani, Kristiyanto & Kristiyanti, Kristiyana (Penghimpun). Himpunan Peraturan-peraturan Daerah: Perihal Tanah yang Masih Berlaku untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, Patria, Yogyakarta, 1981.
Kusuma,R.M, A.B, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.
Kusumayudha, Oka dan Ronny Sugiantoro, SABDA, Ungkapan Hati Seorang Raja, Kedaulatan Rakyat.
Kutojo, S & M. Safwan (editor), Sejarah daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen pendidikan dan kebudayaan, Jakarta, 1977.
Margana, S., Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874, Pusataka pelajar & the Toyota Foundation, 2003.
Moedjanto, G., Kesultanan Yogyakarta & Kadipaten Pakualaman, Tinjauan Historis Dua Praja 1755- 1992, Kanisius, Yogyakarta, 1994.
Monfries, John Elliot, A Prince in A Republic, The Political Life of Sultan Hamengkubuwono IX of Yogyakarta, Desertasi Ph.D di Australian National University, Canberra Australia, 2005.
Muslimin, Amrah, Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah 1903-1958, Djambatan, Jakarta, 1960. Mulder, Niels, Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kultural, Gramedia, Jakarta, 1983.
Nusantara, Ariobimo, Sri Sutan Hamengku Buwono X Meneguhkan Tahta untuk Rakyat, Grasindo, 1999.
Pearsall, Ronald, Kings and Queens: A History of British Monarchy, New Line Books, Inggris, 2005
Prodjosoegrdo, R.W., Buku Pegangan Among Pradja Daerah Keistimewaan Jogjakarta, Djawatan Pradja Daerah Keistimewaan Jogjakarta, Yogyakarta, 1950.
Purwokusumo, Sudarisman, Sebuah Tinjauan tentang Pepatih Dalem, Proyek Javanologi, Yogyakarta, 1981.
______„„__„—.__._„„_„_——t Daerah Istimewa Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1984.
———————————————t Kadipaten Pakualaman, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1985.
„—_____—.__._—————, Kesuitanan Yogyakarta: Suatu Tinjauan tentang Kontrak Politik (1877-1940), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1985.
Ricklefs, MC., Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1772: A History of the Division of Java, Oxford University Press, London, 1974.
Sri Sultan Hamengku Buwono X, Ruh Yogyakarta Untuk Indonesia: Berbakti Bag! Ibu Pertiwi (Orasi Budaya), disampaikan di Kraton Yogyakarta, 7 April 2007, Tidak Dipublikasikan.
__„„______—____>____„_„—__——__-_ Bercermin di Kalbu Rakyat, Kanisius, 1999.
___————————————————t Mencapai Persatuan dan Keagungan Bangsa (Tawaran Alternatif Melalui Pendekatan Kultural), Inpedham, Yogyakarta, 2003.
Soekamto, Sekitar Jogjakarta 1755-1825: Perdjanjian Gijanti - Perang Dipanegara), Djakarta, 1952.
Sujamto, Daerah Istimewa da/am Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1988.
Sujamto, et.al., UU No 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Proses Kelahirannya, Biro Hukum dan Humas Sekjend Depdagri, Jakarta, 1977.
_____„____.„——t Proses Pembuatan Undang-Undang Nomer 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (ed. Revisi), Bina Aksara, Jakrta, 1985.
SESKOAD, Serangan UMUM 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Latar Belakang dan Pengaruhnya, Seskoad, 1989.
Sugiono MP, Sang Demokrat: Hamengku Buwono IX, Dokumen Setelah Sri Sultan Mangkat, Yayasan Budi Luhur Jakarta, 1988.
Sumardjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gadjah Mada Press, Yogyakarta, 1981.
Surjomihardjo, Abdurrachman, Kota Yogyakarta 1880-1930 Suatu Tinjauan Historis Perkembangan Sosial (Disertasi), UGM, Yogyakarta, 1988.
Suwannathat-Pia, Kings, Country and Constitutions: Thailand's Political Development 1932-2000, Routledge Curzon, London, 2003.
Suwarno, P.J., Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974, Sebuah Tinjauan Historis, Kanisius, Yogyakarta, 1994.
The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid I, Liberty, Yogyakarta, 1993




The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid II, Liberty, Yogyakarta, 1993.
Wibatsu, Prajurit Kraton Yogyakarta, Yayasan Mandra Giri Mataram, tanpa tahun.
Wyatt, David K., Thailand: A Short History (2nd Ed), Silkworm Books, Chiang Mai, 2003.
Van, Ghee Khoon, The monarchy in Malaysia, Pelanduk Publications, Malaysia, 1984.
Jurnal dan Makalah:
Beland, Daniel dan Andre Lecours, "Sub-state Nationalism and the Welfare State: Quebec and Canadian Federalism", National and Nationalism 12 (1), 2006.
Brown, Archie, "Asymetrical Devolution: The Scottish Case", Political Quarterly, Juli-September 1998, Vol. 69, Issue 3.
Djohar, Keistimewan Yogyakarta dari Sisi Pendidikan, disampaikan dalam Sarasehan: Format Keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesia kerjasama UGM dengan Pengurus Daerah KAGAMA DIY, Yogyakarta, 9-10 Mei 2007. (Tidak dipublikasikan).
DPD Rl, Peran DPD dalam Memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY, disampaikan dalam Forum Diskusi Penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, Yogyakarta, 2007.
Harsadiningrat, Proses dan Sejarah Pemerintahan DIY, disampaikan dalam Sarasehan: Format Keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesia kerjasama UGM dengan Pengurus Daerah KAGAMA DIY, Yogyakarta, 9-10 Mei 2007. (Tidak dipublikasikan).
______—-._-____„ Negosiasi Monarkhi Konstitusional dalam Rangka Menuju
NKRI yang Demokratis (makalah), disampaikan Diskusi Pemetaan Alternatif Rumusan Keistimewaan Yogyakarta, JIP, 15 Maret 2007 (Tidak Dipublikasikan).
Huda, Ni'matul, Pengaturan Tanah-Tanah Kraton Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan UUPA No. 5 Tahun 1960 (makalah), disampaikan dalam Lokakarya RUU Keistimewaan Yogyakarta, Yogyakarta 24 April 2007 (Tidak Dipublikasikan).
Ismail, Nurhasan, Menempatkan realitas Pertanahan Lokal dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY, disampaikan dalam Penyempurnaan Makalah yang disajikan di Seminar tentang Sistem pertanahan di DIY dalam Kerangka Keistimewaan, diselenggarakan PARWI FOUNDATION, Yogyakarta, 26 April 2003.
_______________________ Unsur Keistimewaan Bidang Pertanahan dan Altematif
Materi dan Muatannya, disampaikan dalam Diskusi Panel Ahli I Penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Jurusan llmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Yogyakarta, 11 Mei 2007. (Tidak dipublikasikan).
Kuncoro, Mudrajad, Keistimewaan DIY dari Aspek Keuangan dan Ekonomi di Bidang Kuangan Publik, disampaikan dalam Sarasehan: Format Keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesia kerjasama UGM dengan Pengurus Daerah KAGAMA DIY, Yogyakarta, 9-10 Mei 2007. (Tidak dipublikasikan).
Kuntowijoyo, Masalah Tanah dan Runtuhnya Mitos Negara Budiman, Lembaga Penyadaran Rakyat Pedesaan, Yogyakarta, 1992.
Mahfud MD, Moh., Quo Vadis Rancangan Undang-Undang DIY, disampaikan dalam Focus Group Discussion Wacana Keistimewaan Yogyakarta dalam Kacamata Desentralisasi dan Good Governance, Yogyakarta, 6 Februari 2007. (Tidak dipublikasikan).
Marwito, Tirun, Pelajaran/ Ajaran Sri Sultan Hamengku Buwono I, disampaikan dalam Depth Interview Penyusunan Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY yang diselenggarakan oleh Jurusan llmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Yogyakarta, 30 Maret 2007 (Tidak dipublikasikan).
Marwito, Tirun, Keistimewaan DIY (Makalah), disampaikan dalam Diskusi Terbatas Tim RUUK JIP UGM, Yogyakarta 30 Maret 2007 (Tidak Dipublikasikan).
————————————( Kearifan Lokal dan Budaya Jawa dalam Menghadapi Korupsi (KKN) disampaikan dalam Depth Interview Penyusunan Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY yang diselenggarakan oleh Jurusan llmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Yogyakarta, 30 Maret 2007 (Tidak dipublikasikan).
Minde, Henry, "Sami Land Right In Norway: A Test Case for Indigenous Peoples", International Journal on Minority and Group Rights 8, Netherland, 2001.
Nudu Stepanus, Dkk, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Biro Bina Pemerintahan Umum Setwilda Propinsi DIY, 1992.
Nurbaningsih, Enny & Aminoto, Tanggapan Atas Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, disampaikan dalam Diskusi Pembahasan Draft RUU Keistimewaan DIY di Gedung Gandok Kiwo, Kepatihan Yogyakarta, 11 Juli 2005 (Tidak Dipublikasikan).
Nurbaningsih, Enny, Masukan untuk Naskah Akaemik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, disampaikan dalam Diskusi Panel Ahli II Penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta
yang diselenggarakan oleh JIP FISIPOL UGM, Yogyakarta, 12 Mei 2007. (tidak dipublikasikan).
„_..„_——_____________ Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta:
Perspektif Politik Perundang-undangan Pengisian Jabatan Kepala Daerah (makalah), disampaikan dalam Diskusi Panel ahli II Penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Jurusan llmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Yogyakarta, 12 Mei 2007. (Tidak dipublikasikan).
Panitia Pengkajian Sejarah Pangeran Mangkubumi, Perjuangan Pangeran Mangkubumi, Sultan Hamengkubuwono I, Jakarta, Tanpa Tahun.
Pratikno dan Bambang Purwoko, Landasan KeistimewaanYogyakarta Perspektif Sosiologis-Politis, disampaikan dalam Sarasehan: Format Keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesia kerjasama UGM dengan Pengurus Daerah KAGAMA DIY, Yogyakarta, 9-10 Mei 2007. (Tidak dipublikasikan).
Purwoko, Bambang dan Wawan Mas'udi, "Wakil Gubernur dan Keistimewaan DIY", Jumal llmu Sosial llmu Politik, Fakultas llmu Sosial dan llmu Politik Universitas Gadjah Mada, Vol. 5 no. 2, November 2001.
Radjiman, Gunung, Tata Ruang Yogyakarta dan Keistimewaan DIY, disampaikan dalam Sarasehan: Format Keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesia kerjasama UGM dengan Pengurus Daerah KAGAMA DIY, Yogyakarta, 9-10 Mei 2007. (Tidak dipublikasikan).
Riwukaho, Josef, Keistimewaan DIY, disampaikan dalam disampaikan dalam Diskusi Pemetaan Pemikiran dan Alternatif I: Dimensi Sejarah, Penyusunan Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY yang diselenggarakan oleh Jurusan llmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Yogyakarta, 14 Maret 2007 (Tidak dipublikasikan).
—_—_______________) Masukan untuk Penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, disampaikan dalam Diskusi Panel Ahli I Penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta yang diselenggarakan oleh JIP FISIPOL UGM, Yogyakarta, 11 Mei 2007. (tidak dipublikasikan).
Sumardjono, Maria S.W, Pokok-Pokok Pikiran tentang Keistimewaan ogyakarta di Bidang Pertanahan, disampaikan dalam Sarasehan: Format Keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesia kerjasama UGM dengan Pengurus Daerah KAGAMA DIY, Yogyakarta, 9-10 Mei 2007. (Tidak dipublikasikan).
Sunaryo, Sudomo, Modernisasi Pemerintahan Kesultanan, disampaikan dalam Depth Interview Penyusunan Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY yang diselenggarakan oleh Jurusan llmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Yogyakarta, 30 Maret 2007 (Tidak dipublikasikan).
—————————5 Peranan dan Jasa Yogya terhadap Rl (Makalah), Disampaikan Dalam Diskusi terbatas dengan Tim RUUK JIP UGM, Yogyakarta, 30 Maret2007 (Tidak Dipublikasikan).
Suryo, Djoko, Perspektif Sosial-Budaya Provinsi DIY dalam Perspektif Sejarah Nasional Lampau, Kini dan Mendatang, disampaikan dalam Sarasehan: Format Keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesia kerjasama UGM dengan Pengurus Daerah KAGAMA DIY, Yogyakarta, 9-10 Mei 2007. (Tidak dipublikasikan).
Suwarno, P.J., Memahami Sejarah Keistimewaan Yogyakarta (makalah), disampaikan dalam Diskusi Pemetaan Pemikiran dan Alternatif I: Dimensi Sejarah, Penyusunan Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY yang diselenggarakan oleh Juruan llmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Yogyakarta, 14 Maret 2007 (Tidak dipublikasikan).
Suwito, Yuwono Sri, Substansi Keistimewaan Yogyakarta dalam Kebudayaan dan Kepariwisataan, disampaikan dalam Sarasehan: Format Keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesia kerjasama UGM dengan Pengurus Daerah KAGAMA DIY, Yogyakarta, 9-10 Mei 2007. (Tidak dipublikasikan).
Suyitno, Tanah Karaton (SG-PAG), disampaikan dalam Sarasehan: Format Keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesia kerjasama UGM dengan Pengurus Daerah KAGAMA DIY, Yogyakarta, 9-10 Mei 2007. (Tidak dipublikasikan).
Thaib, Dahlan, Keistimewaan DIY Perspektif Hukum Tata Negara, disampaikan dalam Sarasehan: Format Keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesia kerjasama UGM dengan Pengurus Daerah KAGAMA DIY, Yogyakarta, 9-10 Mei 2007. (Tidak dipublikasikan).
———————( Substansi Posisi Legal draft Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY, disampaikan dalam disampaikan dalam Focus Group Discussion Wacana Keistimewaan Yogyakarta dalam Kacamata Desentralisasi dan Good Governance, Yogyakarta, 6 Februari 2007. (Tidak dipublikasikan).
Thontowi, Jawahir, Meneguhkan Keistimewaan DIY: Upaya Mengakomodasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal dan Nilai-Nilai Pembaruan dalam RUUK DIY (Makalah), disampaikan dalam Lokakarya tentang Keistimewaan Yogyakarta yang diselenggarakan DPD Rl DIY, Yogyakarta, 24 April 2004 (Tidak Dipublikasikan).
„__„„____..—_——t Tanggapan terhadap Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Jurusan llmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Yogyakarta, 12 Mei 2007. (Tidak dipublikasikan).
Wahyono, S. Bayu, Catatan Kecil terhadap Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Jurusan llmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Yogyakarta, 12 Mei 2007. (Tidakdipublikasikan).
Wahyono, S. Bayu, Dinamika Masyarakat Yogyakarta Kontemporer, disampaikan dalam Diskusi Panel Ahli II Penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Jurusan llmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Yogyakarta, 12 Mei 2007. (Tidak dipublikasikan).
Wahyudi, Immawan, Masukan untuk Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, disampaikan dalam diskusi Pemetaan Pemikiran dan Alternatif III: Perspektif Komparasi Penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Jurusan llmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Yogyakarta, 16 Maret2007. (Tidakdipublikasikan).
Wehner, Joachim H-G, "Asymmetrical Devolution", Development Southern Africa Vol 17, No.2 Juni, 2000.
Weiss, Meredith, The Basque Nationalist Movement (Paper), 1 November 2002.
Wuryadi, Masa Depan Yogyakarta sebagai Provinsi Pendidikan, disampaikan dalam Sarasehan: Format Keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesia kerjasama UGM dengan Pengurus Daerah KAGAMA DIY, Yogyakarta, 9-10 Mei 2007. (Tidak dipublikasikan).
Peraturan Hukum:
Lampiran: Perjanjian Kontrak Politik Laporan Penelitian:
Wahyono, S Bayu, Faktor Sosial Budaya dalam Pengembangan Teknologi Komunikasi dan Informatika (Studi Kasus Yogyakarta), Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi Departemen Komunikasi dan Informatika, Yogyakarta, 2006.
Wahono, S. Bayu, dkk., "Resonansi Kekuasaan Keraton Jogjakarta Dalam Masyarakat Pada Era Demokrasi", Laporan Penelitian, Infedham, Yogyakarta, 2001 (Tidak dipublikasikan)
Kliping:
Jurusan llmu Pemerintahan FISIPOL UGM, Keistimewaan DIY dalam Rekaman Media (Kompas, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos) 7April 2007 sampai dengan 27 april 2007, Yogykarta, 2007.

Website:
http://www.royal.gov.uk http://www.koninklijkhuis.nl
Peraturan Hukum:
Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949.
Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (hasil amandemen)
Undang Undang Dasar Sementara tahun 1950.
UU No. 1 tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
UU Pokok tahun 1948 No. 22 tentang Pemerintahan Daerah
Lain-Lain:
Draft RUU Keistimewaan Yogyakarta versi Pemprov DIY, 2006. Draft RUU Keistimewaan Yogyakarta versi tim DPD DIY, 2005. Draft RUU Keistimewaan Yogyakarta versi tim Prof. Afan Gaffar, 2002. Draft RUU Keistimewaan Yogyakarta versi tim Prof. Muchsan, 2001.
Kliping "Hamengku Buwono X dalam Fenomena Pemilihan Gubernur DIY di Era Reformasi", Pusat Pengkajian Pembangunan Daerah, Yogyakarta, 1999.
Kliping "Keistimewaan DIY Dalam Rekaman Media Massa (Kompas, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos) Tanggal 07 April s.d. 19 April 2007", Jurusan llmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta, 2007.
Surat Yayasan Trah Hamengkubuwono VII kepada tim Jurusan llmu Pemerintahan Fisipol UGM pertanggal 20 Mei 2007