AKU masih teringat pertanyaanku ketika aku masih kecil kepada bapak tentang siapakah yang membentangkan layar fajar di langit biru dan menutupnya kembali menjadi kelam. Juga bagaimana seorang bayi itu berada di perut ibu dan dari mana mereka keluar. Hingga pertanyaanku itu ditanyakan kembali oleh anakku.
“Tanyakan saja kepada ayahmu” kata istriku ketika ia sibuk menonton sinetron di tivi.
“Siapa yang melakukannya Yah?”
Kulepas kacamataku. Kuajak anakku duduk di teras rumah. Aku menceritakan kepadanya tentang kisah Syeikh Juha dan Tiga Orang Cendikiawan untuk mengalihkan perhatiannya atas pertanyaan yang dulu tidak pernah kudapatkan jawabannya dari bapak.
“Aku belum pernah mendengar cerita itu” kata anakku antusias untuk mengetahuinya.
Kuawali ceritaku dengan frasa “pada suatu hari” Syeikh Juha melakukan perjalanan dengan seekor keledainya menuju pasar. Ia bertemu dengan tiga orang berjubah yang hendak menguji kepandaian Syeikh Juha yang sudah terkenal itu. Salah satu dari mereka bertanya dimanakah letak tengah-tengah bumi. Kemudian, dengan tenang Syeikh Juha menjawabnya terletak di bawah telapak kaki keledainya.
“ Benarkah itu Yah?” tanya anakku.
Awalnya orang yang bertanya itu tidak percaya dan menganggap jawaban Syeikh Juha hanya sebagai gurauan. Dengan muka tenang Syeikh Juha menjawab pertanyaan orang yang sedang menguji kepandaiannya itu. Syeikh Juha menyuruh orang itu untuk berjalan dimulai dari telapak kaki keledainya berdiri menuju arah barat. Dengan yakin Syeikh Juha mengatakan bahwa lelaki itu akan kembali ke arah telapak kaki keledainya berdiri.
Setelah merasa kalah, lelaki itu mundur. Berikutnya, seorang laki-laki lain mencoba bertanya lagi kepada Syaikh Juha tentang jumlah bintang di langit. Dengan muka yang masih tenang, Syeikh Juha menjawab bahwa jumlah bintang di langit sama dengan jumlah bulu keledainya.
“Kok bisa Yah?”
Seperti lelaki yang bertanya sebelumnya, orang itu juga tidak percaya. Kemudian Syeikh Juha menyuruh lelaki yang bertanya jumlah bintang di langit itu untuk menghitung jumlah bulu di keledainya.
Anakku tertawa. Aku yakin kali ini, ia akan melupakan pertanyaan itu. Seperti halnya aku dulu juga memikirkan hal lain setelah aku bertanya tentang pertanyaan yang sama.
“Lalu orang yang ketiga?”
Dua orang sudah merasa kalah, maka mereka pergi ke belakang. Kini, tinggal satu orang lagi yang memiliki jenggot yang lebat. Iapun bertanya berapa jumlah helai jenggot di dagunya itu. Lelaki itu manggut-manggut melihat Syeikh Juha tidak bisa menjawabnya.
Namun, tak lama kemudian Syeikh Juha memegang ekor keledainya dan mengatakan bahwa jumlah helai jenggot di dagu orang itu sama dengan jumlah helai bulu di ekor keledainya. Mereka bertanya-tanya.
Syeikh Juha menjelaskan bahwa jika bulu di ujung ekor keledainya dan jenggot lelaki itu dicabuti hingga bersih, maka keduanya akan gundul. Kedua lelaki yang sebelumnya, tertawa terpingkal-pingkal. Lelaki yang memiliki jenggot hanya tersenyum, karena ia malu. Betapa jenggotnya yang lebat itu disamakan dengan ujung ekor keledai.
Anakku tertawa terpingkal-pingkal.
“Lalu siapa yang membuat langit menjadi malam dan siang, dan bagaimana aku dulu lahir dan dari mana aku keluar?”
Aku tertegun sesaat. Dulu, bapakku selalu bisa mengalihkan perhatianku ketika aku menanyakan hal itu. Tapi, kali ini kurasa cara yang pernah diajarkan bapak tidak lagi manjur untuk anak zaman sekarang.
“Ah, nanti kalau sudah dewasa akan mengerti sendiri!”
Itu jawaban bapak ketika aku mendesaknya dulu, karena keingintahuanku sangat besar tentang bagimana dua orang, lelaki dan perempuan, menikah lalu punya anak. Bagaimana membuatnya?
“Hus! Tidak boleh bertanya seperti itu.”
Dan itu jawaban yang kudapat dari ibu waktu itu, setelah kurasa ayah tidak bisa memberikan jawaban yang tepat.
“Bagaimana Yah?”
Desak anakku. Di sepasang matanya kulihat sorot kepolosan yang menginginkan keingintahuannya tentang dunia yang baru saja dikenalnya lima tahun yang lalu.
Kucari jawaban seadanya, aku menceritakan kepadanya bahwa yang membentangkan langit menjadi siang, senja, malam, dan kembali membentangkan benang putih dari benang hitam, yaitu fajar dan seterusnya adalah kehendak Allah. Alam semesta ini tunduk kepada perintahNya.
Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang sebagaimana yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atasnya, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan makhluk-Nya, menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya, supaya kamu meyakini Keesaan dan Kekuasaan Allah.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi dari kekeringan. Dia juga yang menyebarkan di bumi ini segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi.
“Dari sinilah anakku, sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang mau memikirkan.”
Kulihat dari sorot sepasang matanya yang lugu, sebuah pengertian yang mungkin masih baru baginya. Tapi, paling tidak apa yang kukatakan mewakili jawaban dari apa yang menjadi keresahan hatinya untuk selalu bertanya sesuatu tentang dunia ini.
“Lalu bagaimana orang bisa memiliki bayi dan bagaimana mereka keluar?”
Pertanyaan ini mudah, tetapi aku sulit mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskannya. Kalau saja yang bertanya adalah orang dewasa, tentu aku dapat menjelaskannya. Tapi, bagaimanapun anak bertanya, aku harus mengatakan kepadanya tentang makna kejujuran dan kebenaran.
Aku kembali mencari-cari penjelasan yang tepat. Awalnya aku ingin menjelaskan kepadanya bahwa bayi itu dibuat dari segumpal tanah liat yang kemudian dibentuk mirip dengan tubuh manusia. Tapi, aku tidak ingin ketika anakku dewasa ia akan berfikir bahwa ayahnya adalah seorang penipu.
Mungkin ada baiknya kuceritakan yang sebenarnya. Aku masih menggaruk-garuj rambut di kepala, ketika anakku mengulangi pertanyaannya. Kuceritakan kepadanya bahwa manusia berasal dari tanah dan mereka akan kembali ke tanah. Kemudian setetes air, menjadi gumpalan darah, gumpalan daging yang sempurna kejadiannya dan ada pula yang tidak sempurna.
Anakku yang menatapku dengan sorot lugu itu tampak tak mengerti. Kukatakan lagi kepadanya bahwa bayi itu akan lahir dari rahim ibu. Entah apa yang berada dalam benaknya. Kukatakan bahwa seorang perempuan memiliki rahim untuk keluarnya bayi. Tentu saja semuanya adalah ketetapan Allah seperti apa yang telah kukatakan kepadanya.
“Lalu bagaimana bayi itu bisa berada dalam perut ibu?”
“Itu adalah ketentuan Allah anakku. Allah yang telah menghidupkannya”
“Jadi setiap orang bisa punya bayi?”
“Tentu saja, tetapi ada aturannya. Mereka harus menikah lebih dahulu.”
“Jadi, kalau belum menikah belum bisa memiliki anak?”
Aku tersenyum sambil mengusap kepalanya. Kumengira bahwa pertanyaan dalam hatinya mungkin sudah separoh terjawab. Paling tidak, aku tidak membohongi dirinya. Aku tak ingin dia tersesat di kemudian hari.
Tak lama kemudian istriku menyusul ke teras rumah. Ia menyuruh kami masuk, karena udara malam semakin dingin.
“Ibu, aku mau tanya.” Kata anakku sambil mendekatkan tubuhnya ke istriku “Perkosa itu apa sih seperti yang ada di tivi-tivi itu lho? Kenapa orang perempuan kok tidak mau diperkosa?”
Kami tertegun. Istriku mengelus-elus kepala anakku untuk menutupi keterkejutannya. Betapa terkejut dan kalutnya pikiranku untuk mencari strategi baru mengalihkan perhatian anakku yang memiliki begitu besarnya rasa ingin tahu.
Dalam hati aku memaki-maki pembuat cerita anak dan sinetron di tv yang tidak lagi memperhatikan sikap mental dan perkembangan anak. Dan, mungkin aku juga musti membicarakan kebiasaan istriku menonton televisi yang berpengaruh besar terhadap anak.
“Yuk … kita masuk ke kamar dengan mama. Di sini sudah mulai dingin. Besok kita cerita lagi.” Kataku memotong keingintahuan anak dengan gaya kekuasaan orang tua.
“Betul lho Pak ya, besok. Jangan bohong.”
“Ya!” Jawabku sekenanya sambil menerawang ke langit mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang ayahku sendiri pun dulu belum pernah memberikan jawaban itu kepada diriku.
0 komentar:
Posting Komentar