Hamba tak sanggup melakukan tugas yang berat ini. Tak mungkin hamba membunuh gadis yang ternyata membuat nafas hamba memberat. Hamba terpaksa mengatakan yang sebenarnya, bahwa hamba hanya menjalankan tugas. Sepasang matanya mengisyaratkan iba atas kesetiaan hamba dalam menjalankan tugas yang berat ini. Lantas, ia menuding ke langit bahwa ada matahari kembar di sana. Saat hamba mendongakkan kepala, diam-diam ia mencabut keris yang terselip di pinggang hamba. Menembus jantungnya.
Hamba memacu kuda menuju Karandan, sebuah dusun di Semampir bersama beberapa pengawal kerajaan. Hamba datang atas titah Raja Jenggala, Kediri. Hamba tak menyangka bahwa dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh nayaka praja dan para pejabat, hambalah yang tertunjuk untuk melaksanakan tugas berat ini.
Tugas ini, tak lain dan tak bukan, adalah untuk membunuh Dewi Anggraeni. Gadis yang konon katanya sangat cantik itu dianggap telah meracuni hati Panji Saputra, putra Raja Jenggala. Panji Saputra atau biasanya disebut Panji Kuda Rawis Rangga itu telah melupakan kehidupan kerajaan, itulah yang membuat Raja Jenggala murka. Sebab, berbagai cara telah dilakukan, namun Panji Saputra tetap gigih pada pendiriannya.
Beberapa hari hamba telah memikirkan cara untuk membunuh gadis itu. Akhirnya, atas masukan dari para petinggi kekuasaan, hamba mendapatkan cara untuk menutup cinta Panji Saputra dan mengembalikannya ke kerajaan Jenggala.
Sampailah rombongan kami di dusun Karandan. Telik sandi yang hamba kirim memberitakan bahwa Panji Saputra dan Dewi Anggraeni tengah memadu kasih di sebuah tamansari yang dikelilingi kembang-kembang rindang. Dengan senang hati Panji Saputra menyambut kedatangan kami. Pun, dengan penuh kebanggaan memperkenalkan Dewi Anggraeni kepada hamba.
Apa yang selama ini diceritakan oleh banyak orang itu adalah benar. Dewi Anggraeni sungguh gadis yang elok parasnya. Rambut panjangnya terjuntai di depan dada, teruntai dengan rajutan melati. Lakunya kalem seperti hembusan bayu di bawah pohon rindang ketika musim panas.
Dewi Anggraeni menyatukan kedua telapak tangan dan mengangkatnya hingga pergelangan tangannya menyentuh kening. Hamba terima salam sembah dari putri yang jelita itu. Ia memperkenalkan diri dengan santun. Sepasang mata hamba tak bisa lepas dari paras Dewi Anggraeni.
Hamba lupa tentang tugas yang diemban raja. Lamunan hamba membuyar ketika Panji Saputra menanyakan maksud kedatangan hamba. Lantas, hamba menjelaskan kepada Panji Saputra bahwa Eyang Kilisuci yang menjadi pendeta di Kepucangan sedang sakit parah. Beliau dapat sembuh, apabila beliau mendapatkan empal daging banteng yang berada di hutan Lodaya.
Hamba mencoba menyakinkan kepada Panji Saputra. Hamba melihat kebimbangan memenuhi wajahnya. Asmara telah memabukkan hati Panji Saputra. Pun, kasih akan eyangnya membuat dirinya harus segera memberi keputusan.
”Dewi,” Pamit Panji Saputra kepada Dewi Anggraeni ”kanda musti pergi mencari empal daging banteng di Lodaya.”
”Pergilah kanda. Hati-hati di perjalanan. Sudi kiranya kanda membawakan kekasihmu ini bunga pohon sana”
Dua pengawal menemani Panji Saputra, beberapa pengawal lainnya bersama hamba berangkat terlebih dahulu ke hutan Lodaya. Selama perjalanan, hamba terbayang terus paras Dewi Anggraeni. Namun, seperti yang sudah direncanakan, di tengah perjalanan hamba dan pengawal menyimpang jalan. Hamba dan pengawal membelok kembali ke tamansari untuk membunuh Dewi Anggraeni.
Sampailah kami di tempat Dewi Anggraeni. Gadis itu berlari ke arah kami, ketika melihat kedatangan kami yang begitu cepat tanpa Panji Saputra. Hamba tak kuasa menatap paras itu menahan kesedihan. Tanpa hamba sadari, jemari hamba mengusap air mata gadis itu. Dewi Anggraeni tertegun.
Hamba tak sanggup melakukan tugas yang berat ini. Tak mungkin hamba membunuh Dewi Anggraeni yang ternyata membuat nafas hamba memberat. Hamba terpaksa mengatakan yang sebenarnya, bahwa hamba hanya menjalankan tugas dari kerajaan. Sepasang mata Dewi Anggraeni mengisyaratkan iba atas kesetiaan hamba. Lantas, Dewi Anggraeni menuding ke langit bahwa ada matahari kembar di sana. Saat hamba mendongakkan kepala, diam-diam ia mencabut keris yang terselip di pinggang hamba. Menembus jantungnya.
Dewi Anggraeni terjatuh, hamba bergegas meraih pinggangnya. Dalam duduk, hamba memeluk tubuh yang berlumur darah itu. Keris hamba masih menancap di dadanya. Hamba ratap paras teduh itu lekat-lekat. Keringat membulir di keningnya.
”Matahari kembar”
Itulah kata terakhir yang hamba dengar dari balik sepasang bibir Dewi Anggraeni sambil tangannya menunjuk ke dalam dadanya. Hamba sangat menyesal. Hati hamba terasa teriris, tatkala hamba mencabut keris yang menancap di jantung Dewi Anggraeni. Hamba membawa jasad Dewi Anggraeni ke sebuah hutan dan menutupnya dengan daun-daun kering pohon sana.
Selepas melaksanakan tugas berat tersebut, hamba memilih mengasingkan diri di sebuah gunung bernama Gunung Wilis. Menurut telik sandi setia hamba, Panji Saputra telah berhasil mendapatkan empal daging banteng di hutan Lodaya. Tetapi, saat dirinya menuju perjalanan pulang, ia ingat akan janjinya kepada Dewi Anggraeni untuk membawakan bunga pohon sana.
Ketika dilihatnya pohon sana, Panji Saputra segera memanjat pohon tersebut. Namun, dari atas pohon, ia menemukan sesosok jasad di bawah tumpukan daun-daun kering sana. Alangkah terkejutnya Panji Saputra, ketika jasad tersebut adalah Dewi Anggraeni.
Panji Saputra sangat murka. Ia memiliki keyakinan bahwa hambalah yang membunuh kekasihnya. Dan dikutuklah hamba. Panji Saputra bersumbar akan mencari hamba untuk menuntut balas sambil menggendong jasad Dewi Anggraeni yang terus menitikkan darah.
Telik sandi hamba, yang tak lain adalah pengawalnya, menceritakan kepada hamba bahwa Panji Saputra melantunkan kidung sendu selama perjalanan tersebut. Salah satu syairnya adalah agar getah pohon sana selalu berwarna merah hingga akhir zaman sebagai bukti kasih dan dendamnya.
Hari demi hari, jasad Dewi Anggraeni membusuk dan rambutnya mulai rontok. Helai-helai rambut tersebut dikumpulkan dan ditempelkan pada sebuah pohon yang tengah meranggas. Hingga suatu ketika pohon tersebut kembali bersemi yang dedaunnya mirip helai-helai rambut. Semenjak saat itu, orang-orang sekitar percaya bahwa pohon tersebut adalah jelmaan rambut Dewi Anggraeni. Pohon itu disebut sebagai pohon cemara.
Perjalanan Panji Saputra mencari hamba belum berhenti. Ia masih menggendong jasad yang makin hari makin membusuk. Pada suatu langkah, Panji Saputra mengusap pipi kekasihnya dengan selembar daun dan mencium pipi itu.
Panji Saputra kembali berkidung sendu dalam melanjutkan perjalanan. Salah satu syairnya adalah bukti kasihnya akan tetap mengharum bersama daun yang diusapkan di pipi Dewi Anggraeni. Tanpa sengaja, salah satu pengawalnya membawa beberapa helai daun itu. Daun itu selanjutnya sering dicium orang karena baunya yang wangi. Daun itu adalah daun tembakau.
Tibalah pada hari jasad Dewi Anggraeni tak lagi dapat dibawa, karena bau busuknya makin menyengat. Wajah cantiknya telah hilang. Pada saat itu pula, menurut telik sandi hamba, Panji Saputra menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini pasti akan kembali ke asalnya. Ia sadar bahwa cinta sejatinya musti pada sesuatu yang abadi. Bukan pada sesuatu yang fana.
Namun, dendam belum bisa diterima hatinya. Selepas ia menguburkan jasad Dewi Anggraeni, ia terus mencari keberadaan hamba. Hari meluruh mengganti minggu. Minggu menjelma cuaca, merubah bulan menjadi tahun. Hamba masih menunggu Panji Saputra di gunung Wilis. Hamba masih juga memikirkan teka-teki kalimat terakhir Dewi Anggraeni, tentang matahari kembar di dalam dadanya yang ditunjukkan dengan jemarinya.
Hingga suatu senja, ketika hamba tengah menikmati purnama senja yang perlahan menuruni lereng gunung, hamba mendapatkan bisikan jawaban teka-teki tentang matahari kembar dalam hati Dewi Anggraeni. Tiba-tiba seseorang di belakang hamba dengan suara yang tak bisa hamba lupakan, tengah berdiri menunggu hamba membalik tubuh dan menatapnya.
“Masih ingat aku, Brajanata?”
0 komentar:
Posting Komentar