Puasa Ramadan telah berakhir, nuansa perayaan Idul Fitri masih terasa di awal bulan Syawal ini. Secara harfiah, Idul Fitri bermakna hari suci, sering diartikan hari kembali sucinya jiwa-jiwa umat Muslim setelah menjalankan puasa dan berbagai rangkaian ibadah sebulan penuh selama Ramadan.
Di Indonesia, perayaan Idul Fitri memiliki kekhasan tersendiri. Hari raya Idul Fitri yang sering diistilahkan dengan “lebaran” ini tidak saja menjadi milik umat Muslim secara eksklusif, tapi telah menjadi kultur bangsa yang unik. Dua istilah yang sering kita dengar, baik secara verbal, tertulis di kartu lebaran, maupun gejala beberapa tahun belakangan ini melalui pesan pendek di telpon seluler kita adalah “minal aidin wal faizin” dan “halal bi halal”. Dua frasa bahasa Arab itu, konon tak ditemukan dalam kultur Arab sendiri. Istilah yang lebih sering dipakai dalam budaya Arab adalah ungkapan “kullu aam wa wantum bi khair” (Semoga sepanjang tahun Anda dalam keadaan baik-baik), atau “taqabbalallahu minna wa minkum” (Semoga Allah menerima amal kami dan Anda) [Qaris Tajudin; 2006].
Selain itu, masyarakat lebih sering menyebut hari raya ini dengan istilah “Lebaran”, sebuah istilah yang khas bangsa Indonesia. Bukan saja secara istilah, rangkaian tradisi menyambut hari raya di Indonesia juga unik, sebut saja misalnya tradisi mudik, mengunjungi kampung halaman dan bersilaturrahmi kepada orang tua, sanak famili, guru, serta handai taulan. Tradisi lebaran menyisakan pertanyaan besar, bagaimana tradisi yang sangat kuat ini terbentuk? Makna apa di balik pertemuan momen keislaman ini dengan tradisi kultur bangsa kita? Mungkinkan ditarik satu makna dan nilai yang lebih terbuka dan berguna bagi proses penguatan kebangsaan kita?
J.J. Rizal baru-baru ini menulis sebuah artikel yang sangat menarik tentang tradisi lebaran. Sejarawan muda ini mengungkapkan, istilah Lebaran, tidak saja berdimensi religi, tapi sekaligus sosial-budaya- politik. Istilah yang dipopulerkan oleh orang Betawi ini --sepadan dengan istilah Jawa Syawalan atau Bada— direproduksi terus dalam kultur bangsa lebih dari 80 tahun sejak waktu itu. Sejarah mencatat, sejak tahun 1927 istilah tersebut telah dipakai. Pada tahun 1929, Lebaran dijadikan momentum politik yang penting, Java Bode untuk pertama kalinya mempelopori sembahyang Idul Fitri di lapangan terbuka Konengslein (sekarang Gambir), Jakarta. Para tokoh pergerakan nasional menjadikannya ajang pertemuan dan menguatkan semangat rakyat, sekaligus menghayati penderitaannya.
Di awal masa revolusi kemerdekaan, dimana Belanda datang lagi, keadaan negeri ini sangat terancam. Sementara itu terjadi polarisasi dan perpecahan yang sangat hebat diantara bangsa Indonesia sendiri. Keadaan memprihatikan dan rakyat terjepit. “Sejumlah tokoh di bulan puasa 1946 menghubungi Soekarno. Mereka minta agar ia bersedia di hari raya yang jatuh pada Agustus itu, mengadakan perayaan ‘Lebaran’ dengan mengundang seluruh komponen revolusi yang pendirian politiknya beraneka macam, dan kedudukannya dalam masyarakat pun berbeda-beda. Biar Lebaran menjadi ajang saling memaafkan dan memaklumi serta menerima keragaman”. (J.J. Rizal; Tempo 5 Nov 2006) Dari eksplorasi yang singkat ini, bagi kultur kebangsaan kita, bisa dipastikan, bahwa istilah Lebaran memiliki makna yang kuat dan mendalam tentang kemenangan merajut pluralitas bangsa.