Sabtu, 05 Juni 2010

ILALANG KAMPUS

http://inart.wordpress.com/files/2008/11/grass_by_jorlin1.jpg

Selamat pagi kampus. Pagi yang gerah walaupun sang fajar masih malu-malu muncul di antara awan yang berarak. Mentari pagi itu membiaskan harapan dengan cahayanya yang lembut. Tapi sering kali ia bohong, janji awal kehidupan yang baik itu, biasanya ingkar ketika siang tiba. Kelembutan sang fajar kadang-kadang berganti menjadi garang dan membakar atau ia malah lenyap dan mempersembahkan hujan lebat.

Cahaya lembut pagi berpadu dengan dingin hingga menghasilkan embun. Titik air di atas daun itu tak pernah tergesa-gesa untuk jatuh ke bumi. Kontras dengan para mahasiswa, dosen dan pegawai di Kampus Merah ini, meski malam baru saja di singkap matahari, mereka telah berarak memenuhi kampus. Mereka menyambut kedatangan keluarga baru, mahasiswa-mahasiwa baru yang dinyatakan lulus dan berhak mengenyam pendidikan di kampus ini, manusia-manusia berpakaian putih hitam. Ingatanku melesat jauh ke tiga tahun yang lalu.

Aku berdiri di sebuah barisan bersama lainnya. Berbagai imaji bergeliat liar di kepalaku ketika itu, di labirin berpikir seorang mahasiswa baru yang baru saja lulus jenjang pendidikan SMU. Seorang siswa yang dengan mulus mampu lulus dari jerat Ujian Akhir Nasional dan dengan keberuntungannya berhasil berstatus mahasiswa Fakultas Teknik Unhas. Kampus, tempat ini telah lama menghiasi mimpi-mimpiku, tempat mahasiswa bergeliat dengan seabrek kegiatannya, berkuliah, berinteraksi dan berbagai kegiatan humanis lainnya.

Kala itu aku berharap dapat menempuh kegiatan akademik dengan menggunakan pakaian bebas, rupanya aku salah. Aku dan juga mahasiswa baru lain masih diwajibkan berseragam seperti ketika di sekolah dulu. Kami di wajibkan memakai pakaian berwarna seragam, putih dan hitam. Tak lama, mungkin sekitar tiga bulan pertama perkuliahan kami.

Mahasiswa-mahasiswa baru, teman-temanku kala itu, tampak beragam. Ada yang menyebut diri mereka adalah anak kota yang dahulu bersekolah di sebuah SMU pusat bukan SMU cabang, istilah yang selalu di gaungkan untuk mereka yang berasal dari sekolah daerah. Meski berasal dari kota yang sama namun mereka tetap beragam. Ada yang terlihat sederhana. Berpakaian seadanya. Berkendaraan umum. Tetapi ada pula yang terlihat mencerminkan masyarakat urban yang berkelas. Pakaian yang bermerk. Gaya berpakaian yang terlihat modern. Bahkan ke kampus dengan kendaraan pribadi. Bahkan terkadang mereka memilih teman, hanya bergaul sesamanya.

Sebagian mahasiswa baru berasal dari daerah. Individu-individu tersebut biasanya menyatu dalam sebuah kelompok berdasarkan asal mereka masing-masing. Beberapa di antara mereka memiliki bekal yang cukup untuk menjadi perantau. Biasanya mereka berasal dari keluarga ekonomi menengah ke atas. Tetapi ada yang hanya membawa mimpi dari sebuah kampung nun jauh disana, dari sebuah desa entah berantah. Secara fisik mereka tampak sederhana tapi dalam pikiran mereka tersimpan angan yang begitu tinggi untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Kelompok terakhir ini yang biasanya mendominasi organisasi kemahasiswaan.

Bagaimanapun keanekaragaman itu, semua menyatu dalam sebuah kegiatan penyambutan Mahasiswa Baru. Satu kegiatan, satu metode, satu sistem untuk beragam individu. Melebur perbedaan menjadi satu untuk menciptakan kebersamaan dan kesolidan. Sebuah proses yang tidak sekedar mengajarkan pengetahuan akademik dan kemampuan intelektual tetapi lebih dari itu kegiatan ini mampu membawaku ke ranah kecerdesan emosi, memberi jalan untuk memahami arti kedewasaan, bahkan membuatku mengerti arti perubahan. Memang kesadaran itu tak datang hari itu juga, namun kegiatan inilah yang membukanya, kegiatan inilah yang memulainya.

Seingatku, beberapa orang yang menyebut diri mereka senior terus berorasi di depan kami, walaupun terkadang kami tak mengerti dengan apa yang mereka sampaikan. Kata-kata mereka tidak familiar di telinga.

Setelah proses penyambutan dinyatakan selesai, di sinilah kami di hadapkan pada beberapa pilihan. Memilih jalan menjadi mahasiswa baru yang datang ke kampus, tidak mencoba menceburkan diri dalam organisasi apapun, belajar, lulus dan setelah itu terserah hendak kemana. Atau mencoba berjuang dengan mengikuti organisasi kemahasiswaan, namun dilakukan setengah-setengah. Atau menjadi mahasiswa yang kritis terhadap keadaan sekitarnya.

Aku tak begitu yakin memilih pintu yang mana di kala itu. Dengan keluguanku, aku mengenyam bahwa mahasiswa punya tanggung jawab sosial. Dengan kepolosanku, aku ingin berjuang dan dengan senang hati akan menceburkan diri dan bergeliat dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Kharisma serta retorika para senior-senior itu seakan menghipnotisku untuk memikul keharusan moral untuk membuat bangsa ini lebih baik.

Ketika ilalang-ilalang kampus menjemput diri
Sesuatu terpatri lugu dalam sanubari
Kutitip ego saat asa mengikuti
Ego yang membuatku berdiri, berlari dan terus berlari
`tuk menggapai cita dan impian yang pasti

***

Hari terus berlari, minggu bergulir dan bulan pun terus berganti. Tidak cukup setahun aku sudah begitu lekat dengan langkah-langkah seseorang aktivis kemahasiswaan. Kegiatan demi kegiatan aku ikuti, sebagai peserta hingga sebagai panitia. Aku pun semakin giat mencari literatur yang mampu menunjang kegiatan-kegiatanku. Membaca buku dan berdiskusi.

Seiring langkahku yang terus mengayuh, semakin dalam aku selami organisasi kemahasiswaan itu. Namun makin aku hanyut dan tenggelam, makin aku dapati penyimpangan-penyimpangan. Banyak hal yang berbenturan dengan ideologi yang mereka ukir di setiap sel-sel otakku semenjak aku dinyatakan sebagai mahasiswa baru. Mungkinkah karena aku yang terlalu termakan retorika hingga masuk dan terjun ke dunia ini hanya karena ikut-ikutan? Hanya sebagai bentuk aktualisasi diri agar bisa menjadi senior yang berbicara di depan mahasiswa baru yang belum mengerti banyak?

Gerakan mahasiswa laiknya pertarungan dalam kekuasaan negara yang penuh dengan kepentingan. Kepentingan-kepentingan pribadi untuk mencapai ambisi masing-masing. Saat pemilihan ketua lembaga misalnya, semua membawa kepentingan dan isu masing-masing. Kekuatan pikiran digunakan untuk memenangkan calon tertentu agar bisa mendapatkan “sesuatu”. Apakah ada perjuangan yang murni? Entahlah aku tak bisa menjawabnya.

Kebesaran organisasi kemahasiswaan hanyalah masa lalu. Hanyalah dongeng senior. Mahasiswa kini hanya bisa terpukau tanpa bisa memukau. Hanya mengamat tanpa bisa berbuat. Hanya mampu menatap namun enggan melangkah dengan mantap. Terpenjara oleh sejarah. Merasa besar untuk hal yang tidak mereka benah. Hingga akhirnya kehilangan arah.

Organisasi itu sangat rapuh. Bagaimana cara mahasiswa mengemban tugas untuk memperbaiki sistem keorganisasian masyarakat yang katanya sangat rapuh sedangkan sistem organisasinya sendiri jauh lebih rapuh?

Namun semua tetap aku jalani bahkan ikut latah dan menjadi bagian. Makin lama semuanya makin memuakkan. Ada yang mengetuk-ngetuk hati nurani. Bergejolak. Bergolak.

***

Ini adalah gerakan moral yang murni atas dasar keinginan nurani yang terpanggil. Setiap mahasiswa berhak mengenyam dan merasakannya. Termasuk mereka yang berstatus mahasiswa baru.

Setidaknya ada yang terjun atau sengaja di hanyutkan dalam laju gerakan mahasiswa. Tak peduli, apakah suatu hari nanti mereka menyesal ketika menyadari kerapuhan organisasi ini. Tak peduli, apakah suatu hari nanti mereka kecewa ketika mendapati keadaan yang tak seideal dalam bayangan. Tak peduli, apakah mereka merasa terlambat untuk mundur dan mengambil jalur yang lain.

Harusnya ada yang memulainya. Harusnya ada yang membuka pintunya. Harusnya ada yang memudahkan jalannya agar mereka, bibit-bibit baru, tumbuh dan akan mengubah segalanya menjadi lebih baik.
Tetapi ketika prosesi penyambutan mahasiswa baru dicekal, akankah hadir wajah baru? Akankah ada yang akan memahami arti kebersamaan? Akankah ada regenerasi? Akankah ada yang memaknai arti perubahan?

Masih adakah yang akan bertanggung jawab?
Pengkaderan adalah harga mati!

Meskipun dosen pernah mengenyam masa menjadi mahasiswa, tetapi mereka tetap tidak berhak untuk membimbing mahasiswa baru dalam memasuki dunia kemahasiswaan sesungguhnya. Kita beda masa wahai para birokrasi. Kita berbeda masalah dan kita pun berbeda cara untuk menyelesaikan semuanya. Sudah seharusnya suatu proses dan metode penerimaan mahasiswa baru dilakukan oleh mahasiswa, untuk mahasiswa dan kepada mahasiswa. Eksistensi prosesi penerimaan mahasiswa baru oleh mahasiswa harus tetap dipertahankan. Aku sadar, bukan hanya sekedar ajang balas dendam apalagi ajang untuk pamer retorika. Ini adalah sebuah panggilan moral. Prosesi penerimaan mahasiswa baru harus tetap dilaksanakan.
Situasi makin hangat. Aku yakin aku sadar. Aku pun ikut-ikutan aktif pada sebuah demo besar-besaran untuk mengadakan kegiatan tersebut. Sekali lagi aku sadar. Aku berteriak lantang. Berorasi. Terlihat begitu kritis. Dan….

***

Aku kembali ke ruang waktuku dan menyimpan semua nostalgia itu, di sebuah kotak di sel otakku. Kupicingkan mata melihat sebuah pemandangan dari kejauhan. Beberapa aktivis mahasiswa itu berorasi dengan argumentasi yang sangat meyakinkan di depan mahasiswa-mahasiswa baru. Memperlihatkan kharisma yang memesona dan berucap dengan retorika yang begitu indah. Mahasiswa-mahasiswa yang dulu entah kemana.

“Satu kata untuk penindasan, LAWAN!” teriak salah satu di antaranya sambil mengepalkan tangan dan menaikkannya ke udara, lalu di lanjutkan orasi lainnya.

Tutup telinga kalian, wahai adik-adik mahasiswa baru. Tak semua yang kalian dengar itu benar. Aku membatin.

Aktivis-aktivis itu memang banci tampil. Mereka selalu ingin terlihat cerdas. Intelek. Berani. Hebat. Di ruang diskusi mereka selalu tampak meraung-raung padahal obrolan mereka tak lebih dari sekedar debat kusir. Dengan penuh kenikmatan mereka menyeruput kopi lalu menghisap rokok dalam-dalam kemudian menyebarkan polusinya ke udara sembari menyampaikan idealisme-idealisme yang hanya sampai di bibir saja, minus implementasi. Lidahnya menari-nari mengkritisi kaum hedon, menghujat para sapi kapitalis padahal mungkin mereka bagian dari itu. Dan mungkin termasuk aku.

Tak beberapa hari setelah peristiwa demonstrasi di halaman rektorat hari itu, surat keputusan bahwa aku dan beberapa teman lain diskorsing. Kemana mereka saat keputusan itu dikeluarkan? Dimana lidah-lidah tajam itu? Mengapa mereka tidak mengiris para birokrat yang mengeluarkan surat itu? Mengapa mereka tiba-tiba menjadi ompong? Tak ada lagi gemeretak gigi, kehilangan taring kah? Semangat yang membara saat ini, di depan mahasiswa baru yang belum tahu apa-apa, raib kemana saat kami meminta uluran tangan? Ciutkah? Musnahkah? Apakah mereka tak lagi melihat? Butakah? Atau telinganya sudah tak berfungsi lagi? Tulikah?

Mereka tampak begitu takut mengalami hal yang sama seperti yang kami alami. Tapi mereka juga tak punya nyali untuk menolong kami.

Kalian pikir, aku terkesan sinis dan mungkin sangat sarkastis? Aku rasa tidak.
Kami siap jadi korban, kami tak mempermasalahkan itu. Bukankah sebuah perubahan memang memerlukan pengorbanan? Tetapi jatuhnya korban ini, mengapa tak membuat para kaum yang katanya intelektual itu jadi melek? Mengapa mereka tak juga membenahi semuanya?

Angan yang kemarin membesarkan jiwa
Angan yang hadir dalam dialetika keremajaan
Angan yang membuatku terus berkarya
Angan yang tercipta dari keluguan dan kepolosan
Hanya tinggal idealisme-idealisme apologi

Mungkin ini hanya sebuah angan utopis
Yang menciptakan kebahagian semu yang meringis
Yang dipenuhi kata-kata retorika opurtunis
Dengan janji futuristik yang optimis
Yang mengotori telinga dan merusak sel otak dengan sadis

***

Sebenarnya aku sudah muak memasuki kampus ini. Tetapi percakapanku dengan Ahmad, seorang mahasiswa yang terkena sanksi DO, seolah mendorongku untuk kembali, bukan malah berlari. Menjauh. Menghindar. Terlepas. Tetapi berbalik dan menghadapi.

“Yul, kamu lihat ilalang-ilalang itu?”

“Ya!” jawabku singkat dan memandang ilalang-ilalang yang tumbuh liar di tepi danau.

“Mereka memang tampak kompak. Satu ke kanan lainnya ke kanan, satu ke kiri lainnya pun ikut ke kiri. Tetapi bukan ke kompakan seperti itu yang kita cari untuk memperbaiki penyimpangan di sekitar kita. Ilalang-ilalang itu baru bergerak ketika sang bayu berhembus. Bukan karena keinginan sendiri. Tidak punya inisiatif. Hanya mengikuti. Kalau begitu, bagaimana perubahan itu akan menjadi nyata?”

Aku terdiam melumat tiap baris kata-kata Ahmad.

“Kamu mungkin masih lebih beruntung, masih bisa melanjutkan kuliah. Hanya di skorsing. Sedangkan aku?”

“Aku mengerti apa yang kamu rasakan!”

“Kalau kau mau, kau bisa tetap menjadi ilalang, latah dan larut dalam peradaban, punya banyak teman dan membiarkan sang bayu meniupkan jiwamu sesuka hati. Atau kau terlepas dari mereka tetapi mungkin menghadapi kenyataan bahwa kau akan sendiri. “

Ada gejolak yang menggelora, menyesakkan kediamanku. Apakah aku mampu berdiri tegak sendiri? Aku menutup mata, menunduk.

“Pilihan penting dalam hidup ini hanya dua Yul, menerima hidup apa adanya atau menerima tanggung jawab untuk merubahnya. Aku yakin kamu tahu persis pilihan mana yang harus kamu pilih dan aku percaya kamu bisa menghadapi resiko pilihanmu itu!”

Ia seakan menjawab kediamanku.

“Ah… Sudahlah, aku harus pergi, tempatku tak di sini lagi. Paling tidak aku bersyukur pernah mengenyam warna-warni kehidupan mahasiswa.”

“Lalu, kau mau kemana?”

“Terjun dalam denyut kehidupan nyata di luar sana!”

“Bukankah rimba di luar sana jauh lebih ganas?”

“Yah… aku tahu. Dan aku tidak takut itu! Kaum muda seperti kita seharusnya tidak takut, maju dan hadapilah sekeras apapun itu. Ingat, perubahan tidak mungkin ditunggu, ia harus dijemput. ”

Ahmad pun meninggalkanku sendiri di tepi danau. Meninggalkan kata-kata yang masih membekas di palung jiwaku. Dari air danau, aku melihat pantulan bayangan punggungnya mengecil dan akhirnya menghilang. Aku lalu berdiri tegak dan dengan keyakinan melangkahkan kaki kembali memasuki kampus.

Dan kini, pada ilalang-ilalang merah
Aku mencoba membuka sisi kelam
Membuka manipulasi atas nama pergerakan
Kembali membakar semangat tanpa takut kesendirian
Bukan hanya menunggu sang bayu menghampiri sang ilalang…

0 komentar: