Melalui definisi tersebut kita dapat memberikan batasan pembelajaran menulis naskah drama sebagai proses belajar menulis naskah drama yang didukung oleh serangkaian komponen pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran menulis naskah drama.
Drama adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak pelaku melalui tingkah laku atau dialog yang dipentaskan. Drama sering disebut dengan teater, yaitu sandiwara yang dipentaskan sebagai ekspresi rasa keindahan atau seni. Sebagai karya seni, drama perlu diapresiasi. Salah satu cara apresiasi drama ialah dengan menemukan unsur-unsur drama. Salah satu unsur tersebut ialah tokoh.
Mulyana (1998) mejabarkan struktur drama sebagai berikut.
a. Alur dan pengaluran
b. Tokoh dan penokohan
c. Latar dan peran latar
d. Tema
e. Perlengkapan
f. Bahasa
a. Alur dan Pengaluran
Yang menyangkut kaidah alur adalah pola dasar cerita, konflik, gerak alur, dan penyajiannya. Yang disebut konflik adalah terjadinya tarik-menarik antara kepentingan-kepentingan yang berbeda, yang memungkinkan lakon berkembang dalam suatu gerak alur yang dinamis. Dengan demikian, gerak alur terbentuk dari tiga bagian utama, yaitu situasi awal atau disebut juga pemaparan, konflik, serta penyelesaiannya. Kemudian, penyajian pola dasar tersebut dilakukan dengan membaginya ke dalam bagian-bagian yang disebut adegan dan babak. Kekhasan sebuah drama akan tampak melalui penyajian cerita dalam susunan babak dan adegan.
Menentukan Konflik dengan Menunjukan Data yang Mendukung
Dalam drama, konflik merupakan unsur yang memungkinkan para tokoh saling berinteraksi. Konflik tidak selalu berupa pertengkaran, kericuhan, atau permusuhan di antara para tokoh. Ketegangan batin antar tokoh, perbedaan pandangan, dan sikap antar tokoh sudah merupakan konflik. Konflik dapat membuat penonton tertarik untuk terus mengikuti atau menyaksikan pementasan drama.
Bentuk konflik terdiri dari dua, yaitu konflik eksternal dan konflik internal. Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan lingkungan alamnya (konflik fisik) atau dengan lingkungan manusia (konflik sosial). Konflik fisik disebabkan oleh perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam. Misalnya,seorang tokoh mengalami permasalahan ketika banjir melanda desanya. Konflik sosial disebabkan oleh hubungan atau masalah sosial antar manusia. Misalnya, konflik terjadi antara buruh dan pengusaha di suatu pabrik yang mengakibatkan demonstarasi buruh. Konflik Internal adalah konflik yang terjadi dalam diri atau jiwa tokoh. Konflik ini merupakan perbenturan atau permasalahan yang dialami seorang tokoh dengan dirinya sendiri, misalnya masalah cita-cita, keinginan yang terpendam, keputusan, kesepian, dan keyakinan.
Kedua jenis konflik diatas dapat diwujudkan dengan bermacam peristiwa yang terjadi dalam suatu pementasan drama. Konflik-konflik tersebut ada yang merupakan konflik utama dan konflik-konflik pendukung. Konflik Utama (bias konflik eksternal, konflik internal, atau kedua-duanya) merupakan sentral alur dari drama yang dipentaskan, sedangkan konflik-konflik pendukung berfungsi untuk mempertegas keberadaan konflik utama.
Bagaimana menentukan konflik dengan menunjukkan data yang mendukung dalam sebuah drama? Data pendukung adanya konflik antara lain dapat dicermati dari perbedaan pandangan dan sikap yang ditampakkan dalam dialog, ekspresi dan lakuan tokoh-tokoh.
b. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dalam drama mesti memiliki ciri-ciri, seperti nama diri, watak, serta lingkungan sosial yang jelas. Pendeknya, tokoh atau karakter yang baik harus memiliki ciri atau sifat yang tiga dimensional, yaitu yang memiliki dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Harymawan (1988:25-26) dalam bukunya, Dramaturgi, menyebutkan bahwa rincian dimensi fisiologis terdiri atas usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, dan ciri-ciri muka; dimensi sosiologis terdiri atas status sosial, pekerjaan (jabatan dan peranan di dalam masyarakat), pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan hidup (kepercayaan, agama, dan ideologi), aktivitas sosial/organisasi, hobi dan kegemaran, bangsa (suku dan keturunan); dimensi psikologis meliputi mentalitas dan moralitas, temperamen, dan intelegensi (tingkat kecerdasan, kecakapan, dan keahlian khusus dalam bidang-bidang tertentu).
Biasanya, tokoh-tokoh utama muncul di awal cerita, yaitu pada tahap pemaparan. Hal itu dimaksudkan agar publik, khususnya pembaca atau penonton dapat mengenali mereka. Sepanjang cerita, tokoh-tokoh akan mempertahankan ciri-ciri mereka. Kemudian, konflik tercipta akibat perbedaan yang terdapat di antara tokoh-tokoh, yang berupaya mewujudkan keinginan mereka. Perbedaan itulah yang semakin lama semakin meningkatkan konflik dan berpuncak sebagai klimaks.
c. Latar dan Peran Latar
Latar dalam pementasan drama terdiri dari tempat, waktu, dan suasana. Penataan latar akan menghidupkan suasana. Penataan latar akan menghidupkan suasana, menguatkan karakter tokoh, serta menjadikan pementasan drama semakin menarik. Oleh karena itu, ketetapan pemilihan latar akan ikut menentukan kualitas pementasan drama secara keseluruhan.Seperti halnya alur dan tokoh, unsur ruang dan waktu pun mengikuti konvensi umum yang didasari pada peniruan realitas kehidupan. Ruang dapat disisipi pengarang dengan petunjuk pemanggungan (kadang-kadang disebut dengan istilah kramagung, waramimbar, atau teks samping) dan dialog, cakapan, atau wawancang. Ruang yang merupakan pijakan tempat peristiwa terjadi umumnya jelas, menunjang lakuan drama, dan sesuai dengan lingkup cerita.Konvensi waktu juga mesti tunduk pada prinsip kepaduan dan kejelasan. Dalam drama, waktu lakukan atau saat tokoh-tokoh bertindak adalah waktu kini, sedangkan waktu cerita atau waktu yang digunakan oleh para tokoh dalam dialog mereka dapat berupa waktu lampau maupun waktu yang akan datang. Waktu lampau terjadi, misalnya untuk menceritakan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, sementara waktu yang akan datang dapat digunakan untuk menyampaikan rencana atau ramalan peristiwa yang akan terjadi.
d. Tema Drama
Tema drama adalah gagasan atau ide pokok yang melandasi suatu lakon drama. Tema drama merujuk pada sesuatu yang menjadi pokok persoalan yang ingin diungkapkan oleh penulis naskah. Tema itu bersifat umum dan terkait dengan aspek-aspek kehidupan di sekitar kita.
Tema Utama adalah tema secara keseluruhan yang menjadi landasan dari lakon drama, sedangkan tema tambahan merupakan tema-tema lain yang terdapat dalam drama yang mendukung tema utama.
Bagaimana menemukan tema dalam drama? Tema drama tidak disampaikan secara implisit. Setelah menyaksikan seluruh adegan dan dialog antarpelaku dalam pementasan
drama, kamu akan dapat menemukan tema drama itu. Kamu harus menyimpulkannya dari keseluruhan adegan dan dialog yang ditampilkan. Maksudnya tema yang ditemukan tidak berdasarkan pada bagian-bagian tertentu cerita.
Walaupun tema dalam drama itu cenderung”abstrak”, kita dapat menunjukkan tema dengan menunjukkan bukti atau alasan yang terdapat dalam cerita. Bukti-bukti itu dapat ditemukan dalam narasi pengarang, dialog antar pelaku, atau adegan atau rangkaian adegan yang saling terkait, yang semuannya didukung oleh unsur-unsur drama yang lain, seperti latar, alur, dan pusat pengisahan.
e. Perlengkapan
Perlengkapan juga tunduk pada konvensi seperti unsur yang telah kita sebutkan. Perlengkapan merupakan unsur khas teater, yang dapat berupa objek atau benda-banda yang diperlukan sebagai pelengkap cerita, seperti perlengkapan tokoh, kostum, dan perlengkapan panggung. Perlengkapan (dalam kramagung dan wawancang) selalu sesuai dengan keperluan cerita.
f. Bahasa
Bahasa dalam drama konvensional juga tunduk pada konvensi stilistika. Misalnya, para tokoh melakukan dialog dengan menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan lingkungan sosial mereka serta watak mereka. Selain itu, seorang tokoh berkomunikasi dengan tokoh lainnya untuk menyampaikan suatu amanat. Kemudian, di antara mereka diharapkan terjadi dialog yang bermakna yang akan menyebabkan cerita berkembang.
Menulis sebuah drama diperlukan persiapan dengan menentukan tema, plot, untuk kerangka cerita, penokohan, konflik, dan penyelesaian. Pada umumnya, naskah drama dipersiapkan untuk dipentaskan di panggung. Oleh karena itu, naskah drama tersusun atas dialog-dialog antar tokoh yang satu dengan yang lainnya.Cerita drama yang sering dipentaskan saat ini biasanya menceritakan sisi kehidupan manusia seperti kemiskinan, perjuangan hidup, cinta pada orang tua dan sebagainya. Jadi, cerita dalam drama merupakan miniatur kehidupan masyarakat yang dapat direnungkan, diambil hikmahnya, atau bahan kritikan yang sangat halus namun tajam mengenai kehidupan masyarakat atau kehidupan bernegara. Namun ada juga drama yang hanya bertujuan untuk menghibur atau juga untuk mendidik.
Menulis Naskah Drama
Menulis naskah drama berbeda dengan menulis puisi, cerpen atau novel, kalau puisi ditulis dengan bentuk beris dan bait. Cerpen dan novel ditulis dengan kalimat yang membentuk paragraf-paragraf dengan kutipan langsung atau percakapan. Sedangkan, pada drama ditulis dengan dua bagian. Bagian pertama berisi percakapan dan bagian kedua berisi petunjuk pemanggungan, misalnya ketentuan gerak, mimik para pemain drama atau situasi panggung.
Langkah-langkah menyusun naskah drama
a. Menentukan tema/ide cerita
b. Menentukan para pelaku/tokoh
c. Menentukan adegan-adegan
d. Menulis naskah
Kualifikasi ketika kita akan menulis naskah drama
Remy Sylado (1996) mengemukakan bahwa terdapat empat segi kualifikasi ketika kita akan menulis drama, yaitu (1) isi dramatik, (2) bahasa dramatik, (3) bentuk dramatik, dan (4) struktur dramatik.
a. Isi Dramatik
Dalam drama hendaknya berisi premis dan tema. Premis merupakan persoalan utama yang hendak diangkat dalam cerita, sedangan tema dapat dipahami sebagai perwujudan dari premis, yaitu dengan memberi jawaban atau pemecahan yang bersifat menympulkan. Misalnya, apabila premisnya adalah “takut pada wanita”, maka temanya dapat berupa pernyataan berikut, “seorang lelaki yang takut pada istri langsung mencelakakan orang lain”.
Setelah kita dapat menentukan premis dan tema, kita pun dapat menguraikan secara singkat isi dramatik yang akan kita kembangkan dalam drama nanti. Misalnya, premis dan tema di atas dapat diuraikan demikian, “Seorang kolonel tiba-tiba geram di lapangan, memarahi mayor. Mayor bingung, tak berdaya, dan tak berani pada atasan itu, lantas mendamprat habis-habisan pada kapten. Kapten tak berani pada atasannya, lantas memaki-rnaki letnan. Letnan tak berani pada atasannya, lantas menempeleng pipi kanan dan pipi kiri sersan. Sersan tak berani pada atasannya, lantas menggebuk dan menendang kopral. Kopral tak berani pada atasannya, lantas menghajar prajurit sampai babak belur. Di bawah prajurit tak ada lagi pangkat terendah. Tiba-tiba seekor anjing lewat di situ. Langsung prajurit memukul anjing itu dengan popor bedil sampai mati. Persoalan pokoknya ternyata dapat diusut dari awal sekali, sang kolonel ternyata punya “atasan” yang sangat ditakutinya, yaitu istrinya sendiri.
b. Bahasa Dramatik
Bahasa drama yang kita gunakan dapat prosaik, puitik, atau sosiologik. Apabila kita menyukai dialog-dialog yang disusun dengan kalimat-kalimat seperti layaknya prosa, maka bahasa drama kita termasuk ke dalam bahasa prosaik. Namun, apabila kita menuliskannya dengan berfokus pada versifikasi, seperti penataan bait, larik, rima, dan irama, maka bahasa drama kita bersifat prosaik. Kemudian, jika dialog-dialog drama kita sesuaikan dengan konteks, sehingga memungkinkan munculnya ragam dan dialek bahasa Indonesia, maka sudah dapat dipastikan bahwa kita menggunakan bahasa drama yang bersifat sosiologik.
b. Bentuk Dramatik
Yang menyangkut bentuk dramatik adalah ragam ekspresi, gaya ekspresi, dan plot literer. Dalam drama konvensional, kita telah mengenali ragam ekspresi yang baku, seperti tragedi, komedi, tragikomedi, melodrama, dan farce (banyolan).
Gaya ekspresi menyangkut visi dan pandangan penulis, yang penuangannya biasanya sesuai dengan paham atau aliran yang dianutnya, apakah realisme, ekspresionisme, eksistensialisme, atau absurdisme. Penulis dapat saja memilih ragam ekspresi yang sesuai dengan pandangannya.
Plot literer adalah plot yang terdapat dalam teks drama. Jadi, plot yang dibuat oleh pengarang, buka plot yang diwujudkan oleh gerak yang dilakukan aktor di atas panggung.
c. Struktur Dramatik
Strukur dramatik menyangkut pekembangan dan kaitan antarkonflik yang muncul, memuncak, dan berakhir. Dalam drama konvensional, struktur dramatiknya seperti konvensi klasik plot menurut Aristotelles atau dapat juga seperti yang dikembangkan oleh Gustav Freytag (Harymawan, 1988: 20), yaitu eksposisi, komplikasi, resolusi, klimaks, dan konklusi. Konklusi dalam tragedi disebut katastrof (berakhir dengan kesedihan), sementara dalam komedi disebut denumen (berakhir dengan kebahagiaan).
Beberapa Pelatihan Menulis Naskah Drama
Dengan pengetahuan mengenai konvensi drama dan dengan ditambah keberanian, kita dapat memulai untuk menulis drama sesuai dengan saran Japi Tambajong. Akan tetapi, jika penguasaan kualifikasi di atas memerlukan waktu yang tidak sekejap, maka beberapa pelatihan praktis yang dimodifikasi dari Moody (1971: 88) dapat dijadikan bahan pegangan, yaitu dengan (1) menggali nilai-nila dramatik (dari drama yang sudah ada), (2) menulis dialog imajiner, dan (3) menciptakan situasi dramatik dari berbagai sumber.
a. Mengadaptasi, Menyadur, dan Memvisualisasi Drama yang sudah Ada
Drama yang tersedia di perpustakaan, di toko-toko buku, atau yang dijadikan bahan kurikulum di sekolah lebih banyak yang “enak” untuk dibaca daripada dipentaskan. Hal itu disebabkan tidak semua pengarang drama mengetahui seluk-beluk teater atau pemanggungan, meskipun ketika mereka menulis drama, benaknya pasti berusaha untuk memvisualisasi panggung. Keadaan ini mengakibatkan pihak yang akan mementaskan drama, misalnya sutradara, perlu menyunting terlebih dahulu naskah drama yang akan dipentaskan. Selain itu, antara drama sebagai karya sastra di satu pihak dan teater di lain pihak merupakan bentuk seni yang memiliki kekhasan masing-nasing. Dalam teater, naskah drama hanyalah salah satu unsur teater sehingga kretaivitas sutradara lebih penting daripada otonomi pengarang drama.
Anggap saja bahwa Anda adalah seorang sutradara yang akan mewujudkan sebuah naskah drama ke dalam seni pertunjukan. Ada dua buah naskah drama yang menarik Anda, akan tetapi terdapat dua masalah yang belum terpecahkan. Naskah pertama merupakan naskah terjemahan dari bahasa asing sehingga belum kontekstual. Naskah kedua sedikit sekali mencantumkan kramagung atau petunjuk pentasnya sehingga miskin dengan imajinasi visual. Bagaimana cara memecahkan masalah ini? Agar kontekstual, naskah pertama dapat Anda adaptasi atau Anda sadur sesuai dengan konteks zaman dan tempat yang Anda inginkan dan naskah kedua dapat dikonkretkan dengan lebih memperjelas kramagungnya. Contoh pertama telah kita singgung pada saat membicarakan Rendra dengan drama Perampok-nya, sedangkan cohtoh kedua sering kali dilakukan oleh sutradara dalam proses produksinya, yaitu dengan lebih mengkonkretkan naskah drama dengan floo-rplan (penggambaran arah gerak pemain) dan promp-tbook (naskah yang sudah disunting sesuai dengan keperluan pementasan).
b. Membuat Dialog Imajiner
Latihan menulis pun dapat Anda lakukan dengan membuat dialog imajiner berdasarkan situasi dramatik yang sangat Anda kenal. Misalnya, Anda membuat dialog antara dua pihak yang memiliki masalah atau konsep yang bertentangan: para buruh dengan majikannya, para pemburu dengan pencinta lingkungan hidup, para pedagang kakilima dengan petugas Tibum atau Satpol P.P., atau dapat juga kita memecahkan persoalan yang di tinjau dari dua sudut yang berbeda. Di media massa kadang-kadang terdapat rubrik yang berisi wawancara imajiner dengan tokoh-tokoh yang sudah meninggal, misalnya wawancara imajiner Christianto Wibisono dengan Bung Karno. Wawancara itu dibuat karena pengarang (pewawancara) sangat mengenal subjek yang dibicarakan. Dia tahu betul siapa Bung Karno, apa gagasan dan filsafatnya.
c. Mendramakan berbagai Sumber yang Mengandung Peristiwa Dramatik
Zaman kita kini adalah zaman informasi. Apabila peristiwa kecil dan remeh dapat menarik karena dikemas secara apik dalam pemberitaannya, bagaimana dengan peristiwa besar, seperti jatuhnya pesawat terbang, kudeta berdarah, gempa bumi, dan meningganya
kepala negara? Peristiwa-peristiwa seperti itu tentu dapat Anda jadikan bahan penulisan drama. Dengan catatan, Anda mesti mampu melihat atau menemukan peristiwa dramatik di dalamnya. Misalnya, apabila Anda membaca berita mengenai jatuhnya pesawat terbang Adam Airi atau Garuda, peristiwa dramatik dapat Anda buat dengan membayangkan bahwa Anda adalah bagian dari penumpang yang selamat, atau ketika Anda membaca berita terhentinya pertandingan sepak bola karena ulah penonton yang berlaku anarki, Anda membayangkan bahwa Andalah trouble maker-nya sehingga khawatir, cemas, dan takut berkecamuk di dalam dada.
Sumber pencarian peristiwa dramatik, tentunya tidak hanya berita dalam surat kabar, majalah, atau televisi, namun segala sumber yang menarik Anda dan dipandang sebagai potensi dalam memunculkan peristiwa dramatik. Misalnya, esai, pledoi pengadilan, bahkan profil seorang tokoh dapat mengandung peristiwa dramatik, terlebih-lebih jika orientasi kita pada pertunjukkan di atas panggung. Sebagai bukti, kelompok teater di Jakarta, yaitu Teater SAE pernah menampilkan drama berjudul Pertumbuhan di Meja Makan, yang naskahnya bersumber dari berbagai tulisan di surat kabar; Wellem Pattirajawane, seorang aktor dari Teater Kecil, pernah menampilkan monolog yang bersumber dari buku Indonesia Menggugat karangan Bung Karno, Atau Adi Kurdi, aktor dari Bengkel Teater Rendra, pernah menampilkan monolog yang bersumber dari profil dan keberanian Adi Andojo sebagai hakim agung muda.
Namun, kita harus kembali pada tujuan semula, yaitu berlatih menulis drama. Oleh sebab itu, segala bahan yang dipilih dibaktikan agar Anda terampil menulis drama, misalnya dengan mengemas bahan itu secara apik ke dalam dialog dan kramagung, yang kemudian ditata kembali dalam adegan demi adegan serta babak.