Rabu, 06 Mei 2009

Kisah Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel, sangat mencintai anak kecil itu. Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. Ayo ke sini, bermain-main lagi denganku, pinta pohon apel itu. Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi, jawab anak lelaki itu, aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya. Pohon apel itu menyahut, Duh, maaf aku pun tak punya uang..tapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu. Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun setelah itu, anak lelaki itu tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih. Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang. Ayo bermain-main denganku lagi, kata pohon apel. Aku tak punya waktu, jawab anak lelaki itu, Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kini membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolong-ku? Duh, maaf aku pun tak punya rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu, kata pohon apel. Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang. Tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih. Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya. Ayo bermain-main lagi denganku, kata pohon apel. Aku sedih, kata anak lelaki itu. Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar? Duh, maaf aku tak punya kapal. Tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah. Kemudian anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalau pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu. Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. Maaf anakku, aku sudah tak memiliki buah apel
lagi untukmu. Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk menggigit buah apelmu. Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat. Sekarang aku sudah terlalu tua untuk itu. Aku benar-benar tak punya apa-apa lagi yang bisa aku berikan kepadamu. Yang tersisa hanyalah akar akarku yang sudah tua dan sekarat ini, kata pohon apel sambil menitikkan air mata. Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang. Aku hanya membutuhkan tempat beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu. Ooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang. Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air
matanya. Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita. Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau ketika kita dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Antum mungkin berpikir betapa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon apel itu. Tapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

“Mari kita sayangi orang tua kita selagi mereka masih ada. Berbuat baiklah pada mereka dan bahagiakan mereka. Jangan tunggu sampai beliau meninggalkan kita, karena penyesalan takan ada artinya, lakukan apa yang bisa kita lakukan untuknya, sebagaimana mereka banyak berkorban untuk kita “

0 komentar: