Kamis, 21 Januari 2010

Peran BMT Unit Desa untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Petani

Peran BMT Unit Desa untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Petani
Kemiskinan di Indonesia menjadi tema mujarab yang dapat membius masyarakat untuk memenangkan prosesi politik merebut kekuasaan. Baik di level pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Lebih khusus lagi peningkatan kemakmuran masyarakat petani dan buruh tani. Dalam hal ini masyarakat petani dan kemiskinan dikomodifikasi sebagai objek politis yang sangat strategis. Para pelaku politis menjanjikan berbagai kebijakan yang berpihak kepada petani. Akan tetapi, setelah terpilih para wakil rakyat tersebut terlena dengan posisinya di kursi pemerintahan sehingga program yang telah dijanjikan kepada masyarakat hanya sebagai pelicin dan pemanis lidah belaka. Akibatnya, petani-petani miskin di Indonesia tetap saja sebagai nett consumer dari produk yang telah mereka hasilkan sehingga nasib petani pun akan semakin terombang-ambing oleh kebijakan yang tidak jelas arah dan tujuannya. Selain itu masyarakat petani juga dihadapkan dengan pasar terbuka yang semakin bebas. Meski dalam hal ini petani bisa dibilang sebagai produsen, tetapi petani tidak mempunyai bargaining power yang tinggi kepada konsumen dan tidak bisa menetapkan harga pasar. Di era globalisasi yang penuh dengan tantangan ini, pada umumnya mindset dari masyarakat petani masih sangat sederhana. Mereka berpikir sangat mudah, mereka hanya berfokus pada aspek produksinya, ada lahan, pupuk, benih/bibit, tanam, panen, jual, dan proses selanjutnya seperti itu lagi tanpa ada keinginan untuk memberikan nilai tambah pada produk pertanian yang mereka hasilkan. Melihat fenomena diatas cukup riskan bagi kita untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa rendahnya sumber daya manusia, kurangnya manajemen pengelolaan sumber daya, dan tidak tersedianya sarana prasarana pertanian yang memadai dapat mengakibatkan semakin terpuruknya kondisi pertanian di Indonesia. Sebagian besar petani menjual produk hasil pertaniannya kepada sang pemilik modal dan para tengkulak dengan harga yang pas-pasan, maksudnya pas untuk membeli kebutuhan pokok, dan pas untuk mempersiapkan pupuk, benih, dan air untuk proses produksi selanjutnya. Bahkan terkadang hasil produk pertanian yang dijual tidak sebanding dengan biaya produksi yang telah dikeluarkan sehingga masyarakat petani mengalami kerugian. Mari kita evaluasi kondisi pertanian di daerah kita masing-masing. Jika kondisi dan kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada masyarakat petani, apakah taraf hidup petani akan ada harapan untuk lebih baik? Jawabnya pasti tidak akan pernah ada, kalaupun ada kemungkinannya pun kecil. Di jaman orde baru yang lalu, petani difasilitasi dengan lembaga-lembaga pemberdayaan ekonomi semisal KUD (Koperasi Unit Desa) dengan memberikan produk pencairan kredit semisal KUT (Kredit Usaha Tani) meski sebatas kebijakan permukaan yang penuh dengan manipulasi. Akan tetapi, sekarang petani harus terbiasa face to face dengan pemilik modal dan para tengkulak jika ingin mendapatkan modal untuk menjalankan kegiatan pertaniannya. Meski dalam pelaksanaannya sering memberatkan petani dan kebijakan yang dibuat pun terkadang dapat menurunkan harkat dan martabat kaum miskin, dalam hal ini masyarakat petani. Selama ini para pemilik modal dan para tengkulak hanya bisa memanfaatkan petani, memeras tenaga petani, dengan menuntut sesuatu yang lebih tanpa ada keinginan timbal balik untuk meningkatkan kasejahteraan petani. Oleh karena itu, untuk menyikapi hal tersebut dibutuhkan sebuah lembaga yang dapat mengakomodir seluruh aspek yang diperlukan oleh masyarakat petani, mulai dari penyediaan modal, proses pengolahan, penyemaian, penanaman, perawatan, pemanenan, pengolahan hasil panen, hingga pemasaran produk pertanian yang dihasilkan kepada konsumen dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat petani. Salah satu lembaga yang bisa mengcover seluruh aspek yang tersebut diatas adalah sebuah BMT (Baitul Maal Wa Tamwil) yang sering disebut juga sebagai Balai Usaha Mandiri Terpadu. Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) ini merupakan suatu lembaga terpadu yang memadukan antara Baitul Maal sebagai lembaga Sosial dan Baitul Tamwil sebagai lembaga Bisnisnya. Lembaga yang mempunyai badan hukum koperasi ini sering disebut sebagai Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) yang intinya koperasi pengelolaannya menggunakan pola syariah. Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) mempunyai landasan operasional yang tentu berbeda dengan koperasi simpan pinjam pada umumnya. Selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan ketentuan yang berlaku dalam BMT ini kita dapat bebas untuk bermuamalah. Bentuk hasil usaha dalam BMT berupa sistem bagi hasil dan margin jual beli barang. Selain itu dalam BMT Uang bukan sebagai komoditi, tetapi hanya sebagai alat tukar. Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) dapat istiqomah di masyarakat jika modalnya cukup, manajemennya terorganisir dengan baik, pengelolanya amanah, professional, dan dapat dipercaya masyarakat, serta program berkelanjutan yang telah direncanakan dapat direalisasikan dengan sebaik-baiknya. Melihat keunggulan yang ditawarkan oleh Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), masyarakat khususnya petani akan lebih nyaman melaksanakan transaksi simpan pinjam. Baik untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun kebutuhan untuk melaksanakan kegiatan produksi pertaniannya.

Profil Koperasi Simpan Pinjam
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Bank Bunia, di negara Indonesia, terdapat 16% dari jumlah penduduk hidup dalam kemiskinan. Artinya, kurang lebih 33 juta orang Indonesia hidup dengan kesulitan keuangan yang cukup banyak. Pemerintah Indonesia sudah lama berjuang untuk mengurangi keadaan kemiskinan tersebut. Sudah ada banyak program dan kebijakan yang terlaksana. Akan tetapi, akhir-akhir ini, koperasi simpan pinjam di Indonesia main peranan yang penting dalam mengurangi kemiskinan. Koperasi Simpan Pinjam berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Pada saat ini, sudah ada banyak koperasi simpan pinjam di seluruh kepulauan Indonesia. Koperasi tersebut berusaha untuk menyejahterakan anggota dan bisa dikatakan bahwa usahanya sudah sangat berhasil. Koperasi simpan pinjam menyediakan pembinaan dan pendampingan yang diperlukan kepada anggotanya. Alhasil, anggota bisa berkembang, maju dan mencapai status kehidupan yang lebih baik. Tujuan makalah ini adalah untuk mendapatkan pengertian terhadap koperasi simpan pinjam secara keseluruhan. Rupanya koperasi simpan pinjam merupakan bagian ekonomi Indonesia yang penting dan bisa bermanfaat kehidupan anggota. Jadi, makalah ini bertujuan mengetahui pelaksanaan prosedur koperasi simpan pinjam dari semua pihak, masalah dan manfaat. Sejarah koperasi di Indonesia luas sekali. Koperasi sudah ada di Indonesia sejak zaman penjajahan oleh Belanda. Padahal, koperasi pertama didirikan di bawah pemerintah Belanda. Pada saat kemerdekaan koperasi diakui dalam UUD 1945 dan sejak waktu itu mengalami perkembangan sampai sekarang.
Oleh karena itu melalui makalah ini dapat diketahui latar belakang atau sejarahnya juga mengenai pembagian urusan kepemerintahan bidang koperasi dan usaha kecil menengah. Sehingga dapat memeberikan pemahaman bagi semuaorang bahwa keadaan koperasi di Indonesia itu masih kurang kooperatif juga kurangnya dukungan dari pemerintah yang masih kurang berperan aktif untuk mengembangkannya.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Teori
2.1.1. Keadaan Sosial
“ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Pernyataan tersebut merupakan sila kelima dari Pancasila Indonesia. Sila ini berarti tugas dan kewajiban kita masing-masing untuk mengurangi atau menghilangkan kemiskinan di seluruh kepulauan Indonesia. Di Indonesia pada saat ini ada ribuan orang miskin. Menurut Bank Dunia, persentase penduduk Indonesia yang miskin masih 16.0 per sen. Masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di desa, tidak memiliki konsep tabungan, padahal bisa dikatakan bahwa masih ada beberapa hambatan tabungan, misalnya keadaan hidup mereka yang pas-pasan, hambatan psikologis dan pola penabungan tradisional, yaitu tabungan secara ayam, hewan, motor dan sebagainya. Menurut Nugroho misalnya,
“…dalam komunitas pedesaan jawa, hutang merupakan tindakan sosial yang memiliki konotasi negative dan cenderung tabu dibicarakan…”
Oleh karena itu, orang Indonesia perlu bimbingan dan pendidikan terhadap baik konsep maupun pelaksanaan tabungan. Orang miskin merupakan risiko. Akan tetapi, menurut Remenyi orang miskin merupakan risiko baik dan aset bukan pertanggung. Sikap seperti ini dan juga dengan pengertian Yunus bahwa artinya kredit adalah kepercayaan, sudah menyebabkan fenomena koperasi simpan pinjam berkembang di negaraIndonesia.
2.1.2. Konsep Koperasi
Sebagai koperasi, ada beberapa peraturan dan syarat yang harus diikuti oleh koperasi masing-masing. Syarat-syarat dan peraturan tersebut merupakan formalitas yang penting dalam pelaksanaan sehari-hari. Pemerintah Indonesia berperan aktif dalam kehidupan koperasinya. Menurut pasal 37 dalam Undang-Undang no.12 tahun 1967, pemerintah berkewajiban untuk memberikan bimbingan, pengawasan, perlindungan dan fasilitas terhadap koperasi serta memampukannya untuk melaksanakan pasal 33 UUD 1945. Oleh karena pendukungan ini, perkembangan koperasi diIndonesia naik secara terus-menerus.
Menurut Hendrojogi,
“ Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bergabung secara sukarela untuk menemuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya mereka yang sama melalui pemisahan yang dimiliki dan diawasi secara demokratis.”
Menurut Undang-Undang (UU) no.12 tahun 1967, pasal 4, koperasi Indonesia memiliki berfungsi sebagai:
a) alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat
b) alat perdemokrasian ekonomi nasional
c) salah satu urat nadi perekonomian bangsa Indonesia
d) alat pembina insane masyarakat untuk memperkokoh kedudukan ekonomi bangsa Indonesia bersatu dalam mengatur tata laksana perekonomian rakyat.
Yang penting juga adalah mempertinggi taraf hidup anggotanya, meningkatkan produksi dan mewujudkan pendapatan yang adil dan kemakmuran yang merata. Selanjutnya, koperasi Indonesia wajib memiliki dan berlandaskan nilai-nilai menolong diri-sendiri, bertanggung jawab kepada diri-sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan dan solidaritas.
2.1.3. Prinsip Koperasi
Ketentuan dan prinsip koperasi juga cukup banyak dan berasal dari UU no. 79 tahun 1958. Prinsip-prinsip koperasi sebagai berikut:
a) berasas kekeluargaan (gotong-royong)
b) bertujuan mengembangkan kesejahteraan anggotanya pada khususnya dan kesejahteraan masyarakat dan daerah bekerjanya pada umumnya
c) dengan berusaha:
i. mewajibkan dan mengingatkan anggotanya untuk menyimpan secara teratur
ii. mendidik anggotanya ke arah kesadaran (berkoperasi)
iii. menyelenggarakan salah satu atau beberapa usaha dalam lapangan perekonomian
d) keanggotaan berdasar sukarela mempunyai kepentingan, kewajiban dan hak yang sama, dapat diperoleh dan akhiri setiap waktu dan menurut kehendak yang berkepentingan, setelah syarat-syarat dalam anggaran dasar terpenuhi
Undang-undang tersebut diperbarui pada tahun 1992 dengan UU no.25, pasal 33 yang menetapkan yang berikut:
1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis
3. Pembagian sisa hasil usaha (SHU) dilakukan adil dan sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-mading anggota
4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
5. Kemandirian
Bisa dilihat dari definisi dan ketentuan koperasi bahwa koperasi Indonesia dalam konteks umum bertujuan untuk kesejahteraan dan kemanfaatan anggota serta mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Fokus pemerintah terhadap pendirian koperasi menyebabkan pertumbuhan koperasi yang luar biasa di seluruh kepulauan Indonesia. Padahal, jumlah koperasi dan anggotanya meningkat 2 kali lipat pada akhir tahun 2001 dibandingkan dengan Desember 1998. Yang paling dominan adalah koperasi kredit, dan jumlah koperasi yang masih terkait dengan program pemerintah tinggal 25%. Berdasarkan pasal 2, PP 60/1959 ada 7 jenis koperasi. Yaitu,
1. Koperasi Desa
2. Koperasi Pertanian
3. Koperasi Perternakan
4. Koperasi Perikanan
5. Koperasi Kerajinan/Industri
6. Koperasi Simpan Pinjam
7. Koperasi Konsumsi
2.1.4. Koperasi Simpan Pinjam
Fokus makalah ini adalah Koperasi simpan pinjam. Koperasi sejenis ini didirikan untuk memberi kesempatan kepada anggotanya memperoleh pinjaman dengan mudah dan bunga ringan. Koperasi simpan pinjam berusaha untuk,
“…mencegah para anggotanya terlibat dalam jeratan kaum lintah darat pada waktu mereka memerlukan sejumlah uang…dengan jalan menggiatkan tabungan dan mengatur pemberian pinjaman uang…dengan bungayang serendah-rendahnya…”
Koperasi simpan pinjam menghimpun dana dari para anggotanya yang kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada para anggotanya. Menurut Widiyanti dan Sunindhia, koperasi simpan pinjam memiliki tujuan untuk mendidik anggotanya hidup berhemat danjuga menambah pengetahuan anggotanya terhadap perkoperasian.
Untuk mencapai tujuannya, berarti koperasi simpan pinjam harus melaksanakan aturan mengenai peran pengurus, pengawas, manajer danyang paling penting, rapat anggota. Pengurus berfungsi sebagai pusat pengambil keputusan tinggi, pemberi nasehat dan penjaga berkesinambungannya organisasi dan sebagaiorang yang dapat dipercaya. Menurut UU no.25 tahun 1992, pasal 39, pengawas bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan koperasi dan menulis laporan koperasi, dan berwewenang meneliti catatanyang ada pada koperasi, mendapatkan segala keterangan yang diperlukan dan seterusnya. Yang ketiga, manajernya koperasi simpan pinjam, seperti manajer di organisasi apapun, harus memiliki ketrampilan eksekutif, kepimpinan, jangkauan pandangan jauh ke depan dan mememukan kompromi dan pandangan berbeda. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan, rapat anggota harus mempunyai kekuasaan tertinggi dalam organisasi koperasi. Hal ini ditetapkan dalam pasal 22 sampai pasal 27 UU no.25 tahun 1992.
2.1.5. Sumber Permodalan
Seperti dalam semua perusahaan harus ada sumber permodalan. Menurut UU no 12. tahun 1967, sumber permodalan untuk koperasi adalah sebagai berikut:
a) Simpanan pokok – yaitu semjumlah uang yang diwajibkan kepada anggota untuk diserahkan kepada koperasi pada waktu masuk, besarnya sama untuk semua anggota, tidak dapat diambil selama anggota, menanggung kerugian.
b) Simpanan wajib – yaitu simpanan tertentu yang diwajibkan kepada anggota untuk membayarnya kepada koperasi pada waktu tertentu, ikut menanggung kerugian.
c) Simpanan sukarela – berdasarkan perjanijian atau peraturan khusus.
Selanjutnya, sumber permodalan boleh berasal dari koperasi lain, bank atau lembaga keuangan lain. Di samping ini, sumber permodalan boleh berasal dari cadangan, yang menurut pasal 41 Undang-undang no.25 tahun 1992, adalah sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan sisa usaha yang dimasukkan untuk memupuk modal sendiri dan untuk menutup kerugian koperasi bila diperlukan. Yang jelas, sumber permodalan koperasi harus berasal dari lembaga yang sah dan akan berbeda di setiap koperasi.
Walaupun pengertian tersebut baik luas maupun panjang, diperlukan untuk mendapatkan pemahaman terhadap koperasi yang ada di Indonesia pada saat ini. Bisa dilihat bahwa peraturan dan prisip-prinsip koperasi cukup banyak dan tujuannya sangat luas. Oleh karena itu, peran koperasi di ekonomi Indonesia sangat penting.
2.2. Sejarah Koperasi di Indonesia
2.2.1. Zaman Belanda
Sejarah Koperasi di Indonesia, khususnya koperasi simpan pinjam, mulai pada waktu penjajahan oleh Belanda. Konsep koperasi pertama kali diperkenalkan oleh Raden Ana Wiraatmaja, seorang Patih di Purwokerto dengan pendirian bank khusus untuk menolong para pegawai agar tidak terjerat oleh rentenir. Bank ini dinamakan Bank Penolongan dan Tabungan. Pada tahun 1915, ada UU Koperasi yang pertama, yaitu, Verordenin op de Cooperative Vereenigingen. Bisa dikatakan bahwa dengan pelaksanaan UU ini, pemerintah Belanda memang tidak secara ikhlas dan tulus akan mengembangkan dan memajukan koperasi di Indonesia. Jadi, bisa dilihat bahwa negara Indonesia masuk gerakan koperasi sebelum mencapai kemerdekaan.
2.2.2. Zaman Jepang
Dengan pendudukan Jepang pada tahun-tahun akhir Perang Dunia II, gerakan koperasi di Indonesia berubah secara drastis. Menurut Widiyanti dan Sunindhia, koperasi yang ada di Indonesia pada waktu itu “dihancurkan sama sekali” oleh Jepang. Pemerintah mengeluarkan UU no.23 tahun 1942 yang antara lain menentukan bahwa untuk mendirikan perkumpulan dan mengadakan rapat-rapat harus minta ijin terlebih dulu pada residen. Padahal, koperasi menjadi alat pemerintahan militer Jepang untuk mengadakan pengumpulan dan distribusi barang- barang, berdasarkan ketentuan dan kebutuhan perangnya di pasifik. Oleh karena ini, koperasi Indonesia hampir terpaksa mulai lagi dengan deklarasi kemerdekaan pada tahun 1945.
2.2.3. Zaman Awal Kemerdekaan
Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1945. Padahal, ketentuan koperasi ditetapkan di undang-undang dasar 1945. Menurut pasal 33, perekonomian Indonesia disusun berdasarkan asas berikut:
1. Demokrasi ekonomi
2. Kekeluargaan
3. Kebersamaan
4. Individualisme ditolak
5. Keadilan sosial
Yang jelas, cocok dengan asas-asas ini adalah koperasi, jadi Undang-undang ini menjamin berlangsungannya perkoperasian di negara Indonesia. Selanjutnya, ada beraneka ragam Undang-undang tentang perkoperasikan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, sehingga perkembangan koperasi mengalami percepatan karena adanya kemudahan bagi masyarakat untuk mendirikan koperasi. Pada tahun 1939, jumlah koperasi yang ada di Indonesia adalah 574, sedangkan pada tahun 1958, jumlah ini sudah mencapai 11.863 koperasi. Koperasi tumbuh dengan keinginan masyarakat setempat dalam upayanya meningkatkan kesejahteraan. Koperasi yang didirikan termasuk, koperasi pertanian, perikanan, unggas, konsumsi dan juga koperasi desa. Akan tetapi, dengan fenomena liberalisme yang ada di Indonesia pada waktu menjelang zaman orde baru, tidak ada jalan lancar untuk koperasi oleh karena gerakan politik yang makin lama makin kuat. Di antara tahun 1959 sampi 1965 ada banyak penyalahgunaan oleh pengelola di koperasi Indonesia. Kenyataannya, koperasi Indonesia makin lama makin kehilangan sifatnya sebagai koperasi yang sebenarnya. Bisa dikatakan bahwa koperasi dijadikan alat distribusi sebagai propaganda politik.
2.2.4. Zaman Orde Baru
Di bawah pemerintahan Presiden Suharto, koperasi Indonesia mengalami pembersihan untuk mengembalikan fungsi yang hakiki dari gerakan koperasi Indonesia, agar dapat berjalan sesuai dengan pasal 33 UUD tahun 1945. Jadi dirumuskan kebijaksanaan baru. Ini diwujudkan dengan PELITA I, tahun 1969-1973. Keberhasilannya bisa dilihat di tabel berikut.
Tabel 1.1 Pertumbuhan banyaknya koperasi dan anggota pada tahun 1969-1973
Tahun Jumlah Koperasi Jumlah Anggota
1969 13 349 2 723 056
1970 16 263 2 931 340
1971 16 755 2 750 193
1972 18 054 2 791 076
1973 18 850 2 921 750
Sumber: Dra. Ninik Widiyanti & Y.W Sunindhia, S.H., Koperasi dan Perekonomian Indonesia, 2003, PT Rineka Cipta & PT Bina Adiaksara, Jakarta, hlm., 95.
Sejak Orde Baru, gerakan koperasi di Indonesia makin lama makin besar, hal ini terbukti dengan banyaknya koperasi baru yang didirikan di seluruh daerah di Indonesia.
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH
SUB BIDANG SUB – SUB BIDANG
PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
1. Kelembagaan Koperasi
1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi.
2.a. Pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi.
b. —
3. Pengesahan dan perubahan Anggaran Dasar (AD) yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang koperasi.
4. Penetapan pembubaran koperasi.
5.a. Pembinaan dan Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi di tingkat nasional.
1. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi.
2.a. Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta penetapan pembubaran koperasi lintas kabupaten/kota.
(Tugas Pembantuan)
b. Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi lintas kabupaten/kota.
3. Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi lintas kabupaten/kota.
4. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat provinsi.
5.a. Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat provinsi.
b. Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat provinsi (Tugas Pembantuan).
1. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi.
2.a. Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
(Tugas Pembantuan)
b. Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
3. Fasilitasi pelaksanaan pengesahan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
4. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan pedoman pemerintah di tingkat kabupaten/kota.
5. Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat kabupaten/kota.
b. Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat kabupaten/kota
(Tugas Pembantuan).
2. Pemberdayaan Koperasi
1. Penetapan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:
a. Prinsip kesehatan dan prinsip kehati-hatian usaha KSP dan USP;
b. Tata cara penyampaian laporan tahunan bagi KSP dan USP;
c. Tata cara pembinaan KSP dan USP;
d. Pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP;
e. Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP yang tidak melaksanakan kewajibannya;
2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi.
3. Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi.
4. Perlindungan kepada koperasi.
1. Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:
a. Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat provinsi sesuai dengan kebijakan pemerintah;
b. Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP lintas kabupaten/kota;
c. Pembinaan KSP dan USP lintas kabupaten/kota;
d. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP lintas kabupaten/kota;
e. Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP lintas kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya;
2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah provinsi.
3. Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi lintas kabupaten/kota.
4. Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah provinsi.
1. Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:
a. Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan pemerintah;
b. Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;
c. Pembinaan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;
d. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;
e. Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya;
2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
3. Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
4. Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
3. Pemberdayaan UKM
1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional meliputi:
a. Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;
b. Persaingan;
c. Prasarana;
d. Informasi;
e. Kemitraan;
f. Perijinan;
g. Perlindungan.
2. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat nasional meliputi:
a. Produksi;
b. Pemasaran;
c. Sumber daya manusia;
d. Teknologi.
3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat nasional meliputi:
a. Kredit perbankan;
b. Penjaminan lembaga bukan bank;
c. Modal ventura;
d. Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;
e. Hibah;
f. Jenis pembiayaan lain. 1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional meliputi:
a. Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;
b. Persaingan;
c. Prasarana;
d. Informasi;
e. Kemitraan;
f. Perijinan;
g. Perlindungan.
2. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat nasional meliputi:
a. Produksi;
b. Pemasaran;
c. Sumber daya manusia;
d. Teknologi.
3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat nasional meliputi:
a. Kredit perbankan;
b. Penjaminan lembaga bukan bank;
c. Modal ventura;
d. Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;
e. Hibah;
f. Jenis pembiayaan lain. 1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional meliputi:
a. Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;
b. Persaingan;
c. Prasarana;
d. Informasi;
e. Kemitraan;
f. Perijinan;
g. Perlindungan.
2. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat nasional meliputi:
a. Produksi;
b. Pemasaran;
c. Sumber daya manusia;
d. Teknologi.
3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat nasional meliputi:
a. Kredit perbankan;
b. Penjaminan lembaga bukan bank;
c. Modal ventura;
d. Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;
e. Hibah;
f. Jenis pembiayaan lain.
4. Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi
1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan koperasi dan UKM.
1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM lintas kabupaten/kota.
1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam wilayah kabupaten/kota.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 KESIMPULAN
Koperasi simpan pinjam memperjuang hal tersebut dan sangat berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat masing-masing. Uang pasti penting, tetapi yang ingin disampaikan melalui laporan ini adalah kepentingan pembinaan yang jauh lebih tinggi. Tanpa pimbinaan tidak bisa berkembang, dan koperasi simpan pinjam di Indonesia sekarang memperjuangkan haknya untuk mencapai pembinaan dan perkembangan menuju kemandirian.
3.2 SARAN
Mengacu pada pembahasan makalah dan kesimpulan di atas maka berikut ini disampaikan beberapa saran yang diharapkan dapat bermanfaat dalam upaya memperkuat dan mengembangkan koperasi simpan pinjam.
1. Koperasi simpan pinjam harus berusaha untuk menjadi lebih berhasil di semua kegiatan. Harus ada tujuan dan harapan untuk masa depan dan selalu harus berfokus kepada mengatasi masalah dan mengembangkan pelayanan baru yang lebih baik.
2. Koperasi simpan pinjam merupakan kunci besar dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Koperasi simpan pinjam menyediakan pelayanan sederhana yang diperlukan oleh kelas bawah dalam mencari jalan keluar dari keadaan yang susah. Koperasi simpan pinjam sudah membantu ribuan orang Indonesia. Dengan keterlibatan pemerintah dan koperasi secara tegas dan berkelanjutan, tidak menutup kemungkinan bahwa perekonomian Indonesia menjadi lebih baik.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

datanya sangat membantu dan bermanfaat,,
terima kasih..^^

Ulfah Alfiana FIAI UII