Bagai katak di ujung tanduk. Itu adalah keadaanku sekarang. Berjuta pikiran melayang dalam angan tanpa bayang. Antara racun, obat, caci maki, dan duri-duri tajam yang menyerang. Entah kapan ini akan berakhir. Atau akankah memang bisa berakhir. Tapi mungkin saja akan segera berakhir jika aku mengakhirinya sekarang. Haruskah ada strategi utama dan paling berbahaya? Sungguh, hari panjang yang melelahkan. Aku harus memutuskan satu hal yang akan merubah seluruh kehidupan. Hari ini ulang tahunku ke-13. Tapi siapa peduli. Jangankan kado, ucapan selamat saja tertutup rapat dari mulut orang-orang yang mengenalku. Bukan hal aneh bila itu terjadi. Mana ada orang dengan ikhlas memberikan hadiah, meski sebenarnya sangat kuharapakan, begitu saja melemparkannya ke arahku. ”Anak cacat tak pantas mendapatkannya ”, bisa jadi mereka akan mengatakan itu.
Lagi-lagi suara menggelegar, ”To, mbok ya ngamen sana! Cari duit yang banyak! Jangan jadi anak males!”
Seperti biasa sambil membawa sapu lidi, ibu menakutiku, mungkin juga siap memukulku jika aku membantah. Bahkan, untuk menatapnya saja aku malas. Malas karena bosan dengan segala ocehan yang menyurutkan setiap langkahku.
”Iya Bu, tapi aku lagi cape. Tadi kan habis potong kayu.”
”Eh… ga usah alesan.”
Kalau sudah begini aku, suasana rumah seperti kayu yang sedang dibakar. Panas. Hingga penghuninya ingin keluar mencari angin. Tentu saja angin segar.
”Bu, saya bener-bener cape.”
”Kamu tu ya, disuruh gitu aja ngga mau.”
”Bu, kapan Ibu ngerti keadaanku.”
”Dah ga usah jadi anak manja. Mau pergi ngga!” Ibu mengangkat sapu dengan tatapan penuh amarah.
Tak pantas aku menyebutnya Nenek Lampir. Bagaimanapun dia seorang wanita yang telah rela mengadungku sembilan bulan, melahirkanku dengan bertaruh nyawa, dan kini harus membesarkan anak cacat.
”Kenapa kalo Adi atau Tani yang sakit, Ibu pasti cemas. Ibu akan pergi ke warung cari obat. Tapi kalo aku yang sakit, jangankan tanya kenapa, malah ngomel-ngomel ngga dapet uang. Bukannya aku juga anak Ibu.”
”Mau kamu tu apa ? Hidup kita itu lagi susah. Apalagi kamu kayak gini. Emang apa kata orang nanti. Udah miskin, punya anak cacat lagi.”
” Jadi ibu nyesel punya anak sepertiku.”
”Mana ayahmu yang penggangguran itu. Dia ngga pernah datang.”
Aku menunduk sejenak. Apa yang dikatakan Ibu memang benar. Ayah tidak peduli lagi denganku. Semua tampak asing. Mereka orang tuaku, tapi nampak makhluk dari planet lain.
”Ya, aku ngerti semuanya sekarang. Aku pergi!”
Aku berlalu meninggalkan Ibu yang masih mengangkat sapu. Ingin sekali aku berlari sekencang kilat. Tapi apa dayaku. Aku hanya punya satu kaki. Akibat kecelakaan itu. Ketika aku berlari karena dimarahi ibu, aku tertabrak mobil. Kaki kiriku diamputasi. Kini, hanya tongkat kecil sebagai teman membantuku berjalan. Melangkah, menapaki setiap kehidupan.
Teriakan ibu membuatku berpikir lebih dalam tentang arti hidup. Aku pernah melihat jurang sedalam tiga ratus meter. Begitu mengerikan, tapi lebih mengerikan lagi di dalam rumah. Dengan gitar kecil pemberian sahabatku, Eri, sebelum ia pergi melanjutkan sekolah di tanah kelahirannya, Bukittinggi, Sumatra Barat, aku menjadi pengamen remaja yang malang. Anak cacat yang tak pernah diurus orang tuanya.
” Oh….kapan teriakan itu terhenti. Akankah Ibu sadar bahwa aku butuh kasih sayang bukan makian atau perintah setiap hari. Bukan aku benci Ibu, hanya saja aku sadar Ibu tak suka padaku. Kecacatanku ini terlalu membuat Ibu susah,” pikirku.
Aku menelusuri jalan-jalan. Menerobos keramaian kota Yogyakarta. Dengan lagak pengamen, aku bernyanyi lagu tentang keceriaan seorang anak bersama orang tuanya. Aneh, semua lagu bertemakan dunia bahagia. Sedangkan keadaanku sebaliknya. Ini bukan pekerjaan. Tapi derita keseharian. Lihat saja penampilanku. Baju kumal yang jarang dicuci. Kalau pun sampai dicuci, tidak dengan air kran atau air sumur. Air sungai keruh telah menjadi tempat laundry bagiku dan teman-teman seperjuangan. Memang bajuku dicuci, tapi malah semakin kumal akibat lumpur sungai yang melekat menutupi pori-pori kain. Lain lagi dengan tubuhku. Badan kurus kering bagaikan anak kekurangan gizi. Tak khayal, banyak julukan untukku akibat bentuk tubuh ini. Kadang teman-teman memanggilku Cungkring, Garing, atau Krempeng. Aku menerima saja. Kalau dibilang marah. Aku sungguh terhina dengan julukan itu. Akan tetapi, jika dilihat dari keadaanku, memang begitu keadaannya.
Temanku banyak mengamen di bus-bus yang lewat. Berbeda denganku. Aku hanya keliling sehingga uang yang kudapat lebih sedikit. Bagaimana mungkin aku akan naik bus. Berjalan saja sudah sulit apalagi pakai tangga segala. Aku tahu pasti ada orang yang membantu. Tapi apakah kita harus selamanya bergantung pada pertolongan orang lain. Padahal, kita masih sanggup mengerjakannya sendiri. Sepreman-premannya orang pasti mereka punya rasa kemanusiaan bagi sesama. Apalagi untuk anak sepertiku.
Tibalah aku di depan rumah mewah. Menyanyi semerdu mungkin agar orang yang mendengarnya merasakan apa yang ingin kusampaikan. Meski sebenarnya lagu itu hanya untuk menyemangati hidupku yang sedang galau.
Hidupmu indah
bila kau tahu,
jalan mana yang bena…ar
harapan ada
harapan ada
bila kau percaya
Seorang pembantu rumah tangga yang sudah kukenal, keluar lewat samping rumah. Ia memberiku dua keping lima ratusan dan sebungkus nasi.
”Terima kasih, Bi”
”Iya, Bibi tahu kamu belum makan. Cuma ada tempe sama sambal.”
”Ini sudah lebih dari cukup, Bi. Dari baunya saja, hemmm…….. pasti lezat. Ya udah Bi, saya pergi dulu.”
”Hati-hati. Jaga kesehatan. Kalau kamu lapar, bilang saja ke Bibi.”
”Ya Bi. Assalamu’alaikum.”
”Wa’alaikumusssalam.”
Aku jadi bahagia setelah bertemu Bi Minah. Bukan karena aku dapat uang dan makanan, tapi aku bisa bertemu dengan orang yang sangat menyayangiku. Bi Minah punya tiga anak di desa. Semuanya sudah bekerja sebagai buruh pabrik. Saat teristimewa baginya adalah berkumpul dengan semua anggota keluarga. Namun malangnya, ia harus berjuang sendiri setelah suaminya meninggal akibat kecelakaan tujuh tahun yang lalu ketika mengantarkan Bi Minah ke pasar. Peristiwa itu selamanya tak bisa dilupakan. Sama halnya dengan kejadianku saat itu. Bedanya, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk tetap hidup.Walau kaki kiriku harus diamputasi. Makanya, Bi Minah sangat sayang padaku.
* * *
Sambil makan, aku mengkhayal tentang dunia impian. Menjelajahi naluri seorang manusia. Berimajinasi setinggi mungkin. Adakalanya, mimpiku terlampau tinggi. Ini membuatku tersenyum sesaat. Lalu kembali ke dunia nyata. Aku sadar bahwa itu bukan duniaku sekarang.
”Seandainya ibuku mengerti persaanku, pasti aku akan betah tinggal di rumah. Sekolah, bukan ngamen. Cukup belajar dan belajar,” khayalku mulai bergerak cepat.
Tiba-tiba, ”Wei, To, dari mana aja lu! Dapet duwit berape? Wah, makan siang nih!” kata Olen, membuyarkan semua lamunanku.
Khayalanku hilang seketika. Gertakan Olen membuat suasana sepi menjadi ramai. Olen langsung saja menyantap makanan. Ia memang seperti itu. Walau kelakuannya kadang kurang mengenakkan, tetapi hatinya sangat mulia. Apalagi dengan temannya yang sedang tertimpa musibah. Jika ia seorang prajurit, pasti ia sudah berada di barisan paling depan. Dia berbeda nasib denganku. Hubungan dengan orang tuanya sangat dekat. Sekarang Olen berumur 18 tahun. Ia duduk di kelas 2 SMA Nusa Bakti. Olen mengamen hanya untuk bermain. Sedangkan bagiku, mengamen adalah mata pencaharian. Kalau sedang malas ngamen, aku jualan koran atau jadi tukang bersih kaca mobil di jalan.
” Dari Bi Minah lagi. Besok minta dua ya? ” kata Olen.
”Ah lu, malu dong. Dikasih aja ngga enak, apalagi minta. Bi Minah kan juga susah kayak kita. Nih buat lu aja, gue dah kenyang.”
”Beneran ? Gue makan ya.”
”Yoi!”
Tanpa cuci tangan, Olen langsung menyantap semua makanan. Tak peduli ada kotoran atau tidak yang menempel. Padahal, ia selalu bermain di jalanan. Entah berapa kali ia sakit perut gara-gara ulahnya ini. Walau mulutnya penuh dengan nasi, tetap saja ia menyempatkan diri untuk ngobrol.
”Lu lom jawab pertanyaan gue. Dapet berapa jute gini hari?”
”Dikit, nih cuma lima ribu.”
Tangan Olen menyodorkan uang lima ribu untukku. Kebisaannya ini paling kubenci. Aku tahu, aku memang sangat butuh uang, tapi tidak mungkin aku tega mengambil hasil jerih payahnya seharian.
”Buat lu.”
”Apaan ni. Ngga usah.”
”Gue marah ni kalo lu ngga mau.”
”Len, lu lebih butuh ini buat sekolah.”
”Bokap gue ngga bakalan buat gue kelaperan.”
”Ah masa. Ko makannya lahap gitu. Jangan-jangan lu ngga dikasih makan ama ortu lu.”
”Sapa bilang? Gue emang lom makan tadi pagi. Tapi bukan karna gue ngga dikasih makan. Gue tadi bangun kesiangan jadi ngga sempet sarapan.”
”Trus napa ngga langsung pulang? Malah ikut ngamen segala.”
”Buat ketemu elu-elu pade. Emang ngga kangen, kalo gue ngga ada.”
”Kangen ama nenek moyang lo!”
”Ni ambil !” Olen menyodorka uang lima ribu ke arahku.
”Lain kali aja Len , kalo gue butuh uang. Lu tabung aja dulu.”
”Ya udah deh. Gue ngga maksa. Tapi kalo lu butuh, ngomong gue aja ye.”
“Okelah. Wei, dah sore, gue cabut dulu ya.”
“Hati-hati.”
”Da…”
Aku pun meninggalkan Olen yang masih makan. Sebenarnya aku ingin menceritakan masalahku dengannnya. Namun, aku berusaha hidup lebih dewasa dalam masalahku sendiri. Tak tahu kapan badai ini surut. Aku hanya yakin, aku bisa hadapi semua.
* * *
Rumahku cukup mungil. Kami tinggal berlima. Ibu, dua adik, dan ayah tiriku. Saat aku berumur 7 tahun. Ibu minta cerai dari ayah kandungku. Alasannya karena Ayah sering mabuk dan main judi. Utangnya pun melimpah. Akhirnya Ibu minta cerai. Setelah itu, jarang sekali Ayah mengunjungiku. Tidak pernah tanya kabar. Apalagi saat kecelakaan, Ayah seperti menghilang. Aku sempat menanyakan keberadaan Ayah pada beberapa anggota keluarga. Namun, mereka tidak ada yang tahu Benarkah Ayah tak mau lagi melihatku. Apakah ia sangat menyesal dengan kondisiku yang cacat. Mungkin aku memang memalukan.
Aku pulang dengan berjuta perasaan. Antara marah, lelah, dan lapar. Semua membuatku tak nyaman masuk rumah. Apalagi kalau Ibu marah lagi.
” Mana uangnya ?” tanya Ibu saat aku baru tiba di depan pintu.
” Ini,” kataku sambil mengeluarkan uang dari saku.
”Segini!”
” Aku cape, Bu.”
”Bilang aja males. Ngga usah buat alesan.”
”Masa cuma lima ribu. Jatah makan siang kamu terpaksa diundur jadi makan malem.”
Tanpa pikir panjang aku segera masuk kamar. Ruangan kecil ukuran 3 meter x 3 meter. Dulu kamarku ini adalah gudang. Setelah Adi dan Tani, adik tiriku semakin besar, kamarku diberikan untuk mereka sehingga aku harus membersihkan gudang sebelum menempatinya menjadi kamar. Atapnya berlubanng dengan diameter dua sepuluh centimeter. Makanya, kalau hujan aku harus siapkan ember. Lantainya beralaskan tikar bambu. Tanpa bantal dan selimut. Hanya sarung robek yang setia melindungiku dari dingin sekaligus kain untuk solat walaupun itu jarang kulakukan. Bukan karena aku tidak mau mengerjakan perintah Tuhan. Aku sadar Tuhan pasti selalu melihatku. Akan tetapi, aku tidak tahu bagaimana caranya solat apalagi baca Al Quran yang benar. Orang tuaku belum pernah mengajari. Aku belajar agama dari buku-buku bekas di pasar loakan, kertas-kertas yang beterbangan di jalan atau tanya teman yang lebih pintar.
Pintu kututup rapat-rapat. Lalu tidur dengan mata terbuka dan perut keroncongan. Aku mencoba mencari cara untuk lepas dari teriakan ibu. Bagaimanapun juga aku adalah anaknya, bukan musuhnya. Ya, meskipun Ibu telah mempunyai anak dari laki-laki lain yang telah menjadi ayah tiriku. Ayah baruku ini sama dengan Ibu. Bahkan lebih ganas. Penderitaanku bertambah karena Adi dan Tani sangat manja. Mereka selalu minta barang-barang mewah. Hidup boros layaknya orang kaya yang serba ada. Padahal, ayah tiriku hanya supir angkot. Aku pernah minta uang padanya. Dan itu untuk pertama sekaligus terakhir. Karena ia marah-marah. Katanya, aku hanya bisa menyusahkan orang saja. Perkataannya itu membuat ceriaku luluh lantak. Hentakan hebat berhasil merobohkan tiang-tiang ketegaranku. Sejak saat itu, aku tak lagi minta uang. Aku berusaha mencari pekerjaan. Tapi untuk seorang anak cacat sepertiku, adakah pekerjaan yang bisa kulakukan layaknya orang normal? Hanya mengamen yang ada dalam otak. Meski hasilnya tidak seberapa, aku masih punya banyak teman yang bisa membantu. Betapa tersiksa dengan keadaanku sekarang. Hidup satu rumah bersama monster-monster yang setiap saat bisa mematahkan sel-sel tubuh tawamu.
Jam dinding menunnjukkan pukul 9 malam.
”Prakk..!” Ibu membuka pintu kamar dengan keras.
” Ni jatahmu! Habis makan cuci semua alat dapur yang masih kotor.”
” Lo kok aku lagi.”
”Kamu mau dipukul, ha !”
”Iya Bu.” Tiga detik. Aku menyesal mengatakan itu.
”Ingat harus bersih. Jangan sampe sabun berceceran kayak kemaren.”
Aku cemberut. Marah. Kesalnya bukan main.
”Mau dipukul lagi!”
”Ya. Pukul aja. Aku dah kebal dengan pukulan itu. Ngga mempan!”
”Dasar anak kurang ajar! Pokoknya kalo nanti belum bersih semua, kamu tahu akibatnya,” ancam Ibu.
Keadaan ini membuat hidupku seakan tak berharga. Ibu pergi meninggalkan aku yang masih pusing. Tak ada senyum.Yang ada hanya wajah penuh geram. Aku duduk di pojok kamar. Nasi itu tak sempat kusentuh. Pikiranku menjurus satu cara.
”Aku harus pergi sekarang. Ngga mungkin aku hidup seperti ini selamanya. Jalanku masih panjang.”
Kuputuskan untuk pergi. Semua baju aku masukan dalam sarung, lalu kuikat keempat sudutnya. Aku melihat situasi. Suasana sepi. Kamarku memang terletak paling belakang. Itulah kenapa walaupun aku berteriak belum tentu mereka dengar. Orang-orang sedang nonton TV. Aku keluar lewat jendela dapur. Bebaslah jiwa dari penjara kegelapan. Dunia tersenyum bangga padaku.
”Selamat datang kebebasan. Benar apa kata Soekarno bahwa cintailah perdamaian tapi lebih cintailah kemerdekaan. Aku tahu ini pilihan hidup yang sangat sulit. Namun, aku rasa masih banyak orang-orang yang lebih suram hidupnya daripada aku.”
Jam dinding selalu kubawa kalau pergi jauh. Walau anak jalanan tapi aku kenal waktu. Setiap detik hidup harus bernilai bagiku. Hidup hanya sekali. Tak peduli apa kata orang tentangku. Aku harus tetap melangkahkan kaki. Mungkin saat ini aku gagal dalam mencari kebahagiaan. Namun, tidak untuk besok karena aku yakin bahagia akan datang menghampiri. Aku akan memenangkan pertempuran ini.
Hari mulai cerah. Secerah senyum yang kupaparkan pada dunia. Tidur di pinggir jalanan ternyata tidak enak. Selain banyak nyamuk.Udara dingin membuatku sakit kepala. Setelah mencuci muka di sungai, aku melanjutkan perjalanan. Sampai di sebuah masjid aku disambut seorang kakek berjenggot putih. Walau sudah tua, senyumnya seperti masih muda. Ia heran melihat kedatanganku.
”Dari mana Nak ? Kau mau ke mana?”
”Saya dari sana,” tanganku menunjuk arahku datang.
”Sekarang masih jam 3 pagi, di mana rumahmu? Sepertinya kamu bukan anak sini,” Kakek melirik jam dinding yang kubawa.
”Saya….saya dari sana,” tanganku kembali menunjuk arah yang sama.
”Dari sana? Sananya mana ?”
”Anu, saya….saya sendiri Kek.”
Akhirnya kami duduk di mimbar masjid. Serangkaian kisahku terukir. Kakek itu terlihat sangat antusias mendengarkan ceritaku. Beberapa kali ia bertanya. Aneh, meski baru kenal kami sudah sangat akrab. Ia jelmaan orang yang selama ini aku tunggu. Orang yang bersedia mendengarkan keluh kesah hidupku. Tak pernah kutemui orang seperti kakek ini. Begitu bijak ia memberi nasehat.
”Siapa namamu?”
”Saya Toto Iskandar.”
”Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang ?” tanya Kakek.
”Aku tidak mau menjadi air yang mengalir. Aku ingin menjadi arus. Hidup dengan kemauan sendiri. Tanpa paksaan. Tanpa teriakan orang-orang yang menyuruhku ini itu. Bolehkah aku bertanya Kek, apa arti hidup itu?”
”Hidup. Hidup adalah tentang bagaimana kita menghargai pemberian orang lain, mencintai apa yang menjadi milik kita, proses bagaimana kita menyelesaikan tugas di dunia, mencari bekal untuk nanti di akhirat, menerbangkan imajinasi kita untuk terus berkarya, dan masih banyak arti hidup yang lain. Semua itu akan kau temukan ketika kau menjalani kehidupan. Jangan biarkan dirimu dipermainkan oleh hidup, tapi kau harus bisa merasakan hidup.”
”Lalu apa itu bahagia ?”
”Kakek rasa, kau pernah merasakannya. Bahagia. Sulit dijelaskan. Bahagia akan datang karena kau merasa bahwa sekaya-kayanya, semiskin-miskinnya, sesukses-suksesnya, sehancur-hancurnya, sebodoh-bodohnya, sehebat-hebatnya orang itu, mereka MEMERLUKANMU.”
Aku mencoba menyerap ucapannya. Meski bingung, aku mulai mengerti.
” Terima kasih atas jawaban Kakek.”
”Lebih baik kamu pulang dulu dan selesaikan masalahmu dengan Ibu. Atau perlu Kakek bantu.”
”Tidak usah Kek. Mungkin saya bisa sendiri.”
”Kamu yakin ?”
Aku mengangguk. Anggukanku itu penuh tanda tanya. Apakah aku bisa hadapi semua sendiri atau tidak.
”Kalo begitu, ayo solat sama Kakek!”
”Saya belum hafal doanya, Kek. Lagi pula saya tidak tahu bagaimana caranya solat yang benar. ”
”Solat tahajud namanya. Tidak apa-apa, kamu sering-sering saja ke sini. Nanti Kakek ajarin. Kamu boleh menggunakan bahasa apa pun yang kamu bisa. Tuhan Maha Mendengar.”
Sebelum masuk masjid aku berkata, ”Kakek, aku punya dua permintaan.”
”Apa itu?” langkah Kakek terhenti.
”Bolehkah aku memeluk Kakek? Aku tidak punya Kakek selama ini.”
”Tentu, kau juga akan punya banyak Kakek suatu hari nanti.”
Aku segera memeluknya. Merasakan kedamaian yang selama ini belum aku temukan. Kasih sayang.
Inikah bahagia itu Tuhan? Aku berhasil menemukannya. Aku telah menang.
Kupeluk kakek itu sangat erat. Tak ingin aku melepaskannya. Hingga tangisku pun meledak.
”Lalu apa permintaanmu yang kedua ?” tanya Kakek sambil membalas pelukanku.
”Bolehkah aku tinggal sehari saja di rumah Kakek.”
Aku melepaskan pelukannya untuk menatap mata yang sudah keriput.
”Iya, kamu boleh tinggal bersama Kakek kapanpun yang kamu mau.”
Banjir bandang meluap. Membasahi pipi. Kupeluk lagi tubuh yang sudah renta itu dengan sangat erat. Erat sekali. Kemudian Kakek mengusap rambutku. Seandainya tadi aku keramas pakai sampo, pasti aku takkan malu karena rambutku yang berminyak dan bau ini. Tangan yang selalu kurindukan. Kedamaian terus mengalir dalam kalbu. Laksana tanah gersang yang tersiram air hujan. Termasuk amarahku pada Ibu. Tak ingin aku berpisah darinya. Ternyata Tuhan masih menyayangiku meski aku semakin jauh dari-Nya.
Kami pun masuk masjid. Mengambil air wudhu dan solat bersama. Kakek mengajariku banyak hal. Ilmu yang selama ini belum pernah aku dapatkan, dalam waktu singkat telah berada di dekatku. Aku sangat bersyukur. Ini adalah keajaiban Tuhan untukku. Aku memang cacat. Namun, di balik kekuranganku, ada banyak kebahagiaan yang jauh lebih berharga. Mengapa selama ini aku selalu mengeluh? Betapa bodohnya aku. Ini bukan Toto Iskandar. Aku harus berubah. Aku masih punya kaki satu untuk berjalan, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan kedua tangan ini masih bisa kugerakkan.
Selama dua hari di rumah Kakek, aku sangat senang. Aku pun tahu kalau nama kakek itu adalah Kakek Soleh. Kakek pernah bercerita bahwa sebelum istrinya meninggal, ia berpesan jika suatu hari Kakek bertemu dengan orang yang sedang susah, ia harus sebisa mungkin membantunya. Karena ingat pesan itulah, Kakek berusaha membantuku. Kakek punya dua anak perempuan. Karena sudah menikah, mereka hidup bersama keluarga sang suami. Kakek juga pernah diajak untuk ikut, tapi ia tidak mau sebab baginya rumah ini adalah tempat terindah. Banyak kenangan manis yang harus ia jaga. Sebisa mungkin aku berusaha membantu Kakek. Pergi ke ladang. Mencabuti rumput dan menanam palawija. Hasil panennya sebagian dijual untuk membiayai hidup. Kakek juga sering membuat makanan kecil seperti singkong rebus dan lalaban untuk dibawa ke masjid. Biasanya saat kajian rutin. Aku belajar bagaimana ia menjalani hidup.
Lima hari yang indah itu akan menjadi pengalamanku paling berharga. Setelah berpamitan dengan kakek, aku memutuskan untuk pulang. Kembali ke rumah yang dulu kuanggap neraka. Entah kekuatan apa yang mendorongku ke sana. Tiba di gang menuju rumah, aku tampak ragu. Aku ingat bagaimana Ibu menungguku di pintu sambil berdiri dan bersiap memarahi. Kutarik nafas dalam-dalam. Lalu kukeluarkan perlahan. Tekad bulat masih tetap kokoh. Langkahku maju. Ingin aku membuka pintu yang telah lama kutinggalkan. Pintu yang sering Ibu pukul-pukul saat marah. Dengan perasaan was-was aku menapaki setiap turbin halaman rumah. Suasana sepi. Tiba-tiba ada tiga orang tetangga keluar dari dalam. Terlihat juga Adi dan Tani yang sedang merapikan baju yang keluar dari tas yang dibawa mereka. Aku langsung mendekati mereka menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
”Eh, ada apa, Di?”
”Elu To. Masih inget rumah ini juga.”
”Ibu jatuh dari tangga. Dan sekarang ada di rumah sakit.”
”Apa ! Ibu…….. Aku ikut kalian.”
”Terserahlah, ikut juga boleh asal ngga nyusahin aja,” jawab Tani.
Aku tahu mereka tak menyukaiku sejak dulu. Hal itu wajar karena memang aku bukan kakak kandung mereka. Meski begitu, sebagai kakak aku tetap mecoba bersabar. Menunggu saat mereka mau memanggilku ” Kakak”.
* * *
Sampai di rumah sakit kulihat Ibu yang terbaring lemah. Wajahnya pucat. Matanya tertutup rapat. Ayah, Adi, Tani, dan beberapa tetangga menatapku. Arah pandangan penuh keheranan dan kebencian. Namun, aku tak peduli dengan reaksi itu. Yang kupedulikan hanya keadaan Ibu sekarang.
”Ibu, maaf. Memang anak durhaka sepertiku ini, tidak pantas untukmu. Tapi asal Ibu tahu, aku sangat menyayangi Ibu.”
Senyumku melebar. Ternyata Ibu membuka mata. Ada suara kecil. Kudekati.
Aku mendengar ia bercerita, ”To, kamu harus tahu, kalau…..kalau sebenarnya, kamu bukan anak kandung Ibu. Dulu ayahmu pernah menikah dengan wanita lain. Lalu ibumu pergi meninggalkan kalian karena ayahmu bangkrut. Saat itu, kamu baru berumur enam bulan. Dan akhirnya…..ayahmu menikah lagi dengan Ibu.”
”DEG”
”Apa. Apa ini. Lelucon seperti apa yang baru aku dengar barusan.”
Kalimat ibu terhenti karena oleh iask tangis. Aku pun larut dalam nuansa yang sama. Ibu juga tampak menahan rasa sakit.
”Betulkah cerita ini?” Hatiku mulai bimbang.
”Ibu juga sayang kamu. Maafkan kesalahan Ibu ya,” Ibu melanjutkan ucapannya.
”Ibu, kau tetap Ibuku.”
Menangis. Menangis lagi. Kenapa Ibu terlalu banyak menangis. Air matanya semakin deras. Lalu segera kupeluk Ibu.
Jantungku terasa berhenti berdetak. Petir yang menyambar membuatku sejenak tak sadar bahwa aku masih hidup. Apa yang terjadi? Aku tak paham satupun. Atau aku sudah sangat paham. Sekarang aku tahu mengapa Ibu lebih sayang Adi dan Tani yang merupakan anak kandungnya sendiri.
Tiba-tiba Ibu berteriak kesakitan. Orang-orang di sekitarku panik. Tak tahan dengan keadaan ini, aku keluar menuju ruangan dokter dengan susah payah karena kakiku yang cacat.
”Dokter! Tolong ibuku!” teriakku sambil berlari kencang.
Walau hanya dengan sebuah tongkat, tapi benda ini sangat membantuku berlari semakin kencang. Beberapa kali aku jatuh, tetapi kembali berdiri. Seluruh orang di rumah sakit ikut panik. Aku langsung menarik tangan seorang dokter yang baru kulihat.
”Ada apa ini. Tunggu dulu!”
”Cepat Dok!”
Tanpa peduli permintaanya aku tarik kuat-kuat tangan itu.
”Tolong Ibu, kumohon,” kataku sambil terus berlari menuju kamar ibu terbaring.
Betapa kagetnya aku. Tubuh Ibu telah tertutup kain putih. Semua orang di sekitarnya menangis.
”Tuhan, kenapa Kau ambil ibuku sekarang.”
Dunia tampak gelap. Aku pun jatuh dan tak tahu apa yang terajadi selanjutnya.
Pemakaman berlangsung lambat. Selambat langkahku meninggalkan makam yang masih merah itu. Tak ada keceriaan lagi. Aku kehilangan semua. Lemas. Terlalu sakit untuk menyadari bahwa Ibu telah menghilang. Dia pergi ke dunia asing. Tapi, suatu hari nanti aku juga akan ke sana. Dunia abadi yang sebenarnya. Akhirnya aku kembali ke rumah Kakek. Tinggal bersama orang yang menyayangiku. Mencari ilmu setinggi-tingginya tentang arti hidup.