Minggu, 08 Maret 2009

Sapaan Lembut Dari-Nya

“Pagi Monaa!”

“KYAAA!”

GUBRAKK!! JDUKK!!

“Aww!” pekik Mona seraya mengelus-elus belakang kepalanya yang terbentur tepi ranjang. Tangan kirinya meraih tiang dipan untuk berpegangan, dan bangkit. Ia mengambil handphone yang bergetar seru di ranjang, kemudian mematikan alarmnya. Sambil meringis, ia keluar kamar. Ringisannya seketika berubah menjadi teriakan nyaring saat ia melihat jarum jam di dinding ruang makan sudah menunjukkan pukul setengah tujuh tepat.

Barisan teman-temannya yang berkostum olahraga menyambut Mona di pinggir lapangan upacara. Ia melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul setengah delapan. Sambil meringis untuk kedua kalinya, ia melesat ke ruang ganti sambil berusaha menghindari tatapan guru olahraganya.

Akhirnya pelajaran hari itu berakhir. Dering bel disambut desahan lega seluruh murid, walaupun bunyinya sangat memekakkan telinga. Mona mengemasi buku-bukunya ke dalam tas, dan bergegas keluar. Di saat itulah Ririn, teman sekelasnya memanggilnya.

“Ada apa?” tanya Mona tak sabar. Ririn mengangsurkan beberapa helai dokumen ke tangan Mona.

“Kuharap bermanfaat. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.” Mona mengamati sekilas lembaran kertas itu, kemudian tersenyum simpul. Ia pun segera melangkahkan kakinya keluar kelas.



“Pagi Monaa.”

“Pagi.” Mona mematikan alarm suara dari handphone-nya. Kali ini ia sudah memastikannya berbunyi lebih pagi.

Pukul setengah tujuh, ia sampai di ruang kelasnya. Di depan pintu ia disambut oleh Fika yang tersenyum ramah.

“Madingmu bagus lho. Aku suka gambarnya,” ujar Fika setelah Mona meletakkan ranselnya dan duduk. Mona tersenyum.

“Hari ini aku sudah membawa artikel yang baru, nanti tinggal ditempel. Kamu temani aku, ya?”

Fika mengangguk semangat.

“Eh, ngomong-ngomong aku boleh melihat artikelnya tidak?” Mona mengangguk, lalu mengulurkan beberapa lembar kertas yang dimaksud.

Beberapa saat kemudian, Fika berkata,

“Isinya bagus. Aku suka ini.” Mona melihat judul artikel yang dipegang Fika.

‘Dingin, menghangatkan. Tahajjudlah hai kawan..’

“Aku juga suka,” balas Mona.

“Kamu suka?” Fika menatapnya penuh arti. Mona bingung.

“Suka. Artikelnya. Apanya sih?”

“Tahajjud. Kamu suka melakukannya?”

“Oh itu, belum.” Mona tertunduk malu. Fika tersenyum.

“Nanti malam kita tahajjud yuuk, aku akan kirim SMS supaya kamu bisa bangun pagi.”

“Eh, aku sedang tidak sholat. Kapan-kapan saja ya.” Fika mendesah kecewa, tapi kemudian mengangguk pelan. Dalam hati, rasa tidak senang Mona muncul. Ia tak suka hal pribadinya diungkit-ungkit.

Seminggu berlalu. Kertas-kertas bertebaran di meja belajar Mona. Semua kewajibannya untuk mengganti mading akan terselesaikan besok pagi. Ia memberesi sisa-sisa guntingan, lalu beranjak ke tempat sampah. Saat itu matanya menangkap sebuah artikel yang terselip di antara tumpukan kertas mading edisi lalu. Judul yang itu. Mona merasa ada sesuatu yang belum dikerjakannya, tapi ia ingin mengabaikannya. Toh itu sunnah. Ia pun memasukkan edisi yang baru ke dalam boks plastik, siap untuk dibawa besok pagi, dan meletakkan edisi yang lama di dalam almari, terkubur bersama puluhan arsip-arsip lain yang terlupakan.

“Mbak Monaa.” Mona menoleh ke belakang. Ia sedang sibuk menyusun artikel di mading ketika dilihatnya Anti, adik kelasnya mendekat. Gadis itu tersenyum dan mengulurkan tangannya.

“Assalamu’alaikum,Mbak. Mau nanya boleh tidak?” tanyanya polos.

“Wa’alaikumsalam. Ya bolehlah. Ada apa?”

“Begini Mbak, boleh tidak sih kalau kita sholat tahajjud karena ingin keinginan kita terkabul? Dan, Anti dengar kalau tahajjud itu bisa membuat wajah kita bercahaya ya, Kak, lalu orang tertentu bisa membedakan wajah orang yang selalu tahajjud dengan yang tidak pernah.”

Mona terdiam.

“Dan satu lagi. Boleh tidak Anti sholat tahajjud karena takut kalau ibadah Anti belum sempurna? Anti takut kalau itu membuat Anti tahajjud bukan karena Allah.”

Dan Mona pun merasa seperti dihempas ke jurang ketika mendengarkan pertanyaan lugu gadis kecil itu.

“Mbak, Mbak Mona, kenapa?”

Mona tertunduk. Satu per satu air matanya menetes. Kemudian tanpa bisa ditahan, air matanya semakin membanjir deras. Mona berlari ke kamar mandi mushola saat itu juga, meninggalkan Anti yang berdiri terpaku di depan kotak mading. Ia menumpahkan segala sesalnya di sana.



Assalamu’alaikum..

Dear Anti, adikku sayang..

Maafin Mbak yang tadi menangis dan meninggalkanmu tanpa sebab. Sebenarnya Mbak tadi hanya merasa khilaf.

Sekarang, Mbak ingin berterima kasih. Kalau bukan karena pertanyaan Anti tadi, mungkin sampai sekarang Mbak belum sadar bahwa selama ini apa yang Mbak lakukan adalah salah. Selama ini Mbak terlalu meremehkan ibadah sunnah, terutama sholat malam. Mbak begitu menyesal telah merasa sempurna, padahal Mbak tahu masih banyak kekurangan dalam beribadah.

Untuk pertanyaan Anti tadi, jawabannya adalah tidak apa-apa. Malah, Mbak bangga kalau Anti rela melakukan sholat tahajjud Itu artinya Anti telah berusaha semaksimal mungkin, dan Mbak harap, setelah keinginan Anti tercapai, ibadah tersebut tetap berlangsung. Doakan Mbak ya Anti, mulai malam ini Insya Allah Mbak ingin meluruskan pemahaman Mbak. Mbak ingin lebih giat berikhtiar. Mbak doakan, semoga cita-cita Anti terkabul. Amin.

Wassalamu’alaikum warahmatullah.

Peace and love from Mona

Mona menekan tombol enter, dan surat elektronik itu pun terkirim. Ia bangkit dari kursinya, dan meraih ponsel yang tergeletak di ranjang. Ia memperbarui alarmnya sehingga akan berbunyi jam tiga pagi. Malam itu, waktu masih menunjukkan pukul delapan. Bukan jam yang biasa baginya untuk beristirahat, namun detik itu ia telah memutuskan untuk melakukan sesuatu yang luar biasa nanti malam. Ia pun meletakkan ponselnya, dan beranjak ke kamar mandi. Setelah berwudhu dan sholat Isya’, ia merebahkan tubuhnya ke kasur, menarik selimutnya hingga ke dada, dan memejamkan mata. Dalam hati, ia berdoa kepada Tuhannya agar dibangunkan oleh malaikat esok dini hari. Dan ia pun menekan saklar lampunya padam.

0 komentar: