Diandra, aku sengaja datang hari ini untuk menemuimu. Tapi kenapa kamu tak ada? Kamu ada di mana, Diandra? Lalu aku melongok ke kamarmu. Hm, kamar kita, tempat di mana kita selalu habiskan malam berdua, bercerita tentang indahnya hari, bercinta demi hadirnya sang buah hati. Tapi tetap tak kulihat kau di sana. Tak ada kau di pembaringan yang selalu menyambutku dengan senyum mesra dan tatapan hangat. Kamar itu kosong, bahkan selembar kain spreipun tak terlihat menempel di singgasana cinta kita itu. Kuhela nafasku panjang, merasakan perihnya dadaku.
Diandra, aku kembali ke sini, hanya ingin utarakan sepotong maaf yang nyatanya selalu kelu berhenti di ujung lidahku. Tapi sepertinya kini telah terlambat, kau telah pergi meninggalkan aku. Dan airmataku pun menetes di antara penyesalanku.
Lalu aku pun melangkah ke luar dari rumah, dan aku melihatmu Diandra. Tapi kamu tak sendiri. Seorang pria menemanimu. Siapa dia, Diandra? Begitu marahkah kamu sehingga kamu meninggalkan aku dengan cara begini? Yah, kuakui aku memang keterlaluan! Tak pernah mau mendengarkan nasehatmu untuk berhenti meracuni diriku dengan kekasih lamaku, lintingan ganja, yang dulu pernah kujanjikan padamu untuk berhenti kuhisap. Parahnya aku bahkan rela pergi menjauh darimu karenanya. Tapi setidaknya aku kini kembali, dan berharap kamu memberi aku kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki semuanya. Aku menyesal dan sungguh ingin berubah, Diandra! Tapi masih adakah aku di hatimu, masih adakah ruangnya yang lega untuk memaafkan aku? Karena jujur aku akui, bahwa ternyata aku lebih tak bisa hidup tanpamu dibanding tanpanya.
Dan apa yang terjadi ketika aku mendatangimu, Diandra?
Kudengar kamu berkata pada pria itu, “Rumah ini saya jual, karena saya tak ingin terus hanyut dalam kesedihan setelah suami saya tiada, kira-kira berapa tawaran anda?”
Ternyata maaf itu hanya akan berada di ujung lidahku saja. Selamanya.
0 komentar:
Posting Komentar