Terdengar suara pintu ruang tamu diketuk. Entah siapa malam-malam begini bertamu. Pak Ahmad melirik ke jam dinding yang tergantung. Jam 20.00. Hening sunyi di kampung ini. Dibukanya pintu, terlihat beberapa anak muda dengan pakaian rapi. Tersenyum sambil mencium tangan Pak Ahmad.
“Assalaamu ‘alaikum Pak. Maaf kami mengganggu istirahat Bapak,” salah seorang di antara mereka memberi salam dengan santun.
“Wa ‘alaikum salam. Eeh… Anto, Udin, Johan. Mari masuk. Sudah lama kalian tak berkunjung kemari. Bagaimana kabar kalian? Baik-baik saja kan?”
“Alhamdulillah, atas doa Bapak kami tetap dalam lindungan Allah.”
Ketiga anak muda itu masuk dan duduk di bangku ruang tamu yang sudah memudar warnanya. Temaram lampu tak mampu menyembunyikan lubang-lubang yang mulai muncul di sana-sini. Ruang tamu yang sempit makin sesak dengan motor tua yang terparkir di sudut ruangan.
“Ada perlu apa kalian kemari. Bapak pikir kalian telah lupa dengan rumah ini. Kalian kemari saat masih SD dulu kan? O ya… kalian sudah kuliah di mana?”
“Anto di UI, Pak. Kuliah di arsitektur,” Udin mendahului sebelum Anto membuka mulut.
“Iya Pak. Saya sekarang di semester 6,” Anto membenarkan.
“Kalau kamu sendiri kuliah di mana, Din?”
“Saya dagang di kios pakaian di Tenabang, Pak. Saya gak begitu seneng kuliah. Orang tua saya tidak memaksa saya untuk kuliah. Kebetulan Oom saya dagang pakaian di Tenabang. Saya ikut Oom saya dua tahun sambil belajar dagang. Otodidak Pak, belajar sendiri, sambil ngumpulin uang buat modal dagang. Alhamdulillah, dua bulan kemaren saya bisa nyewa kios sendiri. Kebetulan ada kios yang disewain sama yang punya dan letaknya deketan dengan kios Oom saya. Barang dagangan sebagian punya Oom saya yang dititipin ke kios saya,” jelas Udin panjang lebar. Memang dari dulu si Udin banyak omong dan berbakat dagang. Apa saja yang bisa dijual, dia akan jual. Pensil, permen, biji karet cuma segelintir barang dagangan Udin waktu SD.
“Wah bagus itu. Masih muda sudah punya jiwa bisnis. Bapak doakan bisnismu makin lancar dan makin berkembang. Bu, tolong buatkan minum buat Anto, Udin dan Johan. Johan kamu kuliah atau kerja?”
“Saya ambil kuliah D3 komputer Pak. Emang dari dulu saya seneng komputer. Gak cuman seneng gamenya, saya juga seneng utak-atik komputernya. Saya niatnya mau ambil Fasilkom di UI tapi gak tembus pas SPMB-nya. Jadi saya ke D3 aja. Niatnya sih biar langsung bisa kerja.”
“Anak Bapak yang masih SMA, si Hamid, minta dibeliin komputer. Katanya buat bikin tugas sekolah. Tapi Bapak belum bisa ngebeliin. Belum ada duit. Yah… gaji Bapak sebagai guru SD agak kurang sehingga setiap pengeluaran harus dihemat.”
“Silakan diminum, Nak. Wah sekarang sudah besar-besar ya? Gimana kabar kalian?” Bu Siti, istri Pak Ahmad masuk dan meletakkan empat gelas teh manis hangat di meja tamu.
“Alhamdulillah, baik Bu,” serentak Anto, Johan dan Udin menyahut.
“Silakan diminum. Mumpung masih hangat. Ibu tinggal dulu ya?”
“Hamid sekolah di SMA mana Pak?” tanya Johan, kembali teringat dengan pembicaraan sebelumnya.
“Di SMA 2 deket Gedung Balaikota.”
“Wah kebetulan tuh Pak. Saya dengan beberapa teman membuka rental komputer dan internet. Ada temen yang bapaknya punya ruko deket Gedung Balaikota, belum ditempatin. Satu ruko diserahin ke temen saya itu. Dari pada kosong ruko itu kami jadikan rental komputer dan internet. Deket situ kan juga ada kampus Universitas Putra Bangsa. Mahasiswanya cukup banyak. Yah… banyak juga yang dateng untuk internetan. Kalau Hamid butuh make komputer datang aja Pak. Nanti saya bilang ke temen saya biar disediain satu komputer buat dipake Hamid.” Johan menawarkan bantuan.
“Terima kasih, Jo. Nanti Bapak bilang ke Hamid supaya dateng ke rental kamu. Apa namanya?”
“Namanya PUBLIC.NET.”
“Pak, Bapak masih ngajar di SDN 03?” Anto yang sedari tadi diam ikut angkat bicara.
“Masih. Bapak masih senang mengajar. Sambil menjaga ilmu yang Bapak dapet dulu. Bapak masih inget nakalnya kalian bertiga. Banyak guru yang ngeluh ke Bapak. Bapak kan wali kelas kalian waktu di kelas 4. Inget waktu kalian ngerjain Pak Anjas? Kalian taruh bekas permen karet di bangkunya sampai-sampai dia kesulitan untuk melepaskannya? Wuah dia marah besar waktu itu.”
“Ha…ha…ha…! Iya Pak. Kami memang bandel banget waktu itu. Ketika kami minta maaf, dia masih saja memarahi kami. Untungnya nilai matematika kami tidak dimerahin di raport.”
“Sekarang Pak Anjas masih ngajar di situ, Pak?”
“Masih. Yah … sekarang cari kerja makin susah, nak. Kami para guru nasibnya tidak pernah berubah. Bertahun-tahun kami menyaksikan anak didik kami datang dan pergi. Silih berganti. Yang waktu SDnya bebel, susah diajarin, sekarang sudah jadi dosen. Yang dulunya bandel, sekarang jadi bos perusahaan raksasa. Kalo Wati sekarang di mana? Dia pintar, cantik lagi. Selalu rangking 3 besar di kelasnya.”
“Wati sekarang kuliah di Kedokteran UI, Pak. Ngikutin kayak papanya yang juga dokter,” sahut Udin.
“Baguslah. Sebenarnya Bapak iri dengan kalian.”
“Iri kenapa Pak?” Johan penasaran.
“Bapak iri dengan keadaan kalian yang punya harapan cerah. Dengan ilmu yang kalian dapatkan kalian akan maju menjadi orang-orang yang berhasil dan sukses. Kalau Bapak bandingkan dengan keadaan guru-guru, hati Bapak sedih . Nasib rekan-rekan guru dari tahun ke tahun begini-begini saja. Tidak ada kemajuan yang berarti. Apalagi yang masih jadi guru honorer. Bapak sendiri masih mendingan. Bapak sekarang sudah diangkat menjadi pegawai negeri. Jadi ada harapan untuk dapat uang pensiun.”
“Sering Bapak ngobrol dengan guru-guru lain. Anak Pak Anjas terpaksa putus kuliahnya karena tidak sanggup bayar uang semesteran sekitar enam juta rupiah padahal sebentar lagi skripsi. Bu Nur, guru kesenian kalian, masih ingat? Harus merelakan kepergian anaknya ketika anaknya yang paling kecil terkena demam berdarah. Meski sudah mencari utangan ke sana sini tetap belum bisa menutupi biaya pengobatan. Pak Juned, guru bahasa Indonesia, terpaksa narik ojek sepulang ngajar sampai malam sekedar untuk mencukupi uang beli sayur.” Pak Ahmad mulai membicarakan keadaan para guru.
“Bapak bersama teman-teman guru sudah mengadukan nasib kami ke Kepala Sekolah, terus ke Diknas kecamatan. Bahkan sampai ke Diknas Pusat. Kami ingin kesejahteraan kami dapat ditingkatkan agar kami dapat mengajar dengan tenang dan lebih berkualitas. Bagaimana kami dapat mencari tambahan ilmu kalau buku-buku berkualitas harganya tak dapat kami jangkau? Uang gaji kami paling hanya dapat menutupi kebutuhan selama 15 sampai 20 hari. Sisanya mencari tambahan.Tapi entahlah. Sampai sekarang tetap belum ada tanggapan.”
“Beberapa hari yang lalu kami datang ke gedung dewan untuk demo menuntut hal sama. Waktu itu kami memaksa untuk bertemu dengan anggota dewan, tapi gak ada yang mau nemuin kami. Makin sedih hati kami, Nak. Sudah capek-capek teriak, kepanasan, duit abis buat ongkos demo tapi gak ada hasil yang memuaskan.”
“Giliran mau deket-deket pemilu, para caleg rajin ngedeketin para guru. Ngasih bingkisan lah, kaos lah, segala macem dengan tujuan supaya para guru milih dia. Ngomong kesana kemari mau memperjuangkan aspirasi para guru dan meningkatkan kesejahteraan. Eeh… begitu naik jadi anggota dewan, lupa dengan guru yang dulu milih dia. Sakit hati juga Bapak. Apa mereka gak merasa kalau tanpa didikan guru gak bakal mereka seperti itu. Dulu yang bikin mereka bisa baca dan nulis ama ngitung kan para guru. Kalo bukan guru yang ngajarin gak bakal mereka bisa sekolah sampai setinggi itu.”
“Mungkin ini yang menjadi salah satu alasan kenapa tidak banyak yang tertarik untuk menjadi guru. Andaikata menjadi guru, itupun terpaksa karena tidak bisa lulus di jurusan yang bergengi seperti teknik, komputer ataupun kedokteran. Padahal jasa seorang guru sangat luar biasa, terutama guru SD. Guru SD itu guru yang paling berat tantangannya. Anak-anak yang tadinya gak bisa baca, tulis dan berhitung diajari sampai bisa dan pandai. Kalo anaknya pintar, mendingan, gak terlalu sulit ngajarinnya. Tapi kalo anaknya biasa-biasa aja bahkan cenderung o-on dan olot, bandel lagi, para guru harus banyak bersabar.”
“Orang tua juga ikut nyalahin guru kalau anaknya gak naik kelas. Padahal pendidikan pertama dan paling utama berawal dari lingkungan rumah. Di rumah gak pernah diajarin, langsung nyerahin ke sekolah untuk dididik. Kita hukum sedikit karena kekurangajaran si murid, orang tua lapor ke polisi.”
Anto, Johan dan Udin terdiam sambil mendengarkan uneg-uneg dari guru SD mereka yang mereka sayangi. Dalam hati mereka turut merasakan kepedihan yang melanda para guru. Menjelang hari guru*) yang akan jatuh sebentar lagi mereka datang ke rumah Pak Ahmad untuk menyampaikan sedikit hadiah sebagai tanda terima kasih atas jasanya dalam mendidik mereka. Itupun karena anjuran guru ngaji mereka, Ustadz Sholihin.
Baru sekarang mereka tahu betapa berat beban yang harus ditanggung oleh para guru berkaitan dengan penghasilan mereka yang sering tidak mampu menutupi kebutuhan hidup sehari-hari serta pengorbanan yang diberikan dalam mendidik mereka. Rasa sesal meliputi hati mereka karena baru sekarang mereka datang setelah sekian tahun lulus dari sekolah dasar sambil membawa hadiah yang tidak seberapa dibanding kerja keras guru mereka dulu.
*****
Para guru menghantarkan anak didiknya untuk menuju masa depan yang cemerlang. Tapi kecemerlangan masa depan itu bukan milik para guru. Kecemerlangan itu milik anak-anak kecil yang dulu dididik dan diajari tentang ilmu pengetahuan, yang sekarang entah di mana kepeduliannya.
*) Di Indonesia Hari Guru Nasional diperingat setiap tanggal 25 November bersama hari ulang tahun PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Hari Guru Nasional bukan hari libur resmi, dan dirayakan dalam bentuk upacara peringatan di sekolah-sekolah dan pemberian tanda jasa bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Hari_Guru)
0 komentar:
Posting Komentar