Minggu, 08 Maret 2009

Perjuanganku

Aku adalah anak keempat dari lima bersaudara di keluargaku. Aku terlahir dari keluarga yang dapat dibilang cukup berada. Kedua orang tuaku adalah pengusaha batik yang cukup sukses dan terkenal di kotaku, Yogyakarta. Usaha batik yang dijalani oleh kedua orang tuaku tidak diperoleh karena warisan dari orang tua mereka tetapi mereka peroleh dari kerja keras dan ketekunan mereka selama bertahun-tahun menjadi buruh batik di tempat seorang pengusaha batik lokal. Setelah cukup lama menjadi buruh batik, kedua orang tuaku mulai memberanikan diri membuka usaha batik sendiri dengan modal pengetahuan yang telah mereka miliki dan diperolehnya sebagai buruh batik. Dengan penuh keyakinan dan percaya diri yang kuat akhirnya usaha batik mereka mulai berkembang sampai sekarang. Dan saat ini usahanya sudah merambah ke luar negeri.

Latar belakang pendidikan kedua orang tuaku tidak sehebat anak-anaknya, mereka hanya lulusan bangku SMA. Tetapi walaupun mereka hanya lulusan SMA, mereka tetap berkeinginan kelak suatu hari nanti anak-anaknya dapat duduk di bangku perguruan tinggi. Keinginan dan doa mereka yang kuat menjadi kenyataan, kakak tertuaku, Sandra kuliah semester akhir fakultas kedokteran di perguruan tinggi negeri yang cukup terkenal di kotaku, kakak kedua dan ketigaku, Vero dan Rike, kuliah di perguruan tinggi yang sama dengan kakakku Sandra, hanya saja beda fakultas, Kak Vero kuliah di fakultas Ekonomi sementara Kak Rike kuliah di fakultas Sastra. Sementara aku, Rina, kuliah di perguruan tinggi swasta fakultas Teknik Informatika dan adikku, Andri duduk di kelas 3 SMA. Walaupun aku tidak dapat mengikuti jejak ketiga kakak-kakakku, aku tidak bersedih dan berkecil hati karena ayahku selalu memberiku semangat dan dorongan agar aku dapat lebih baik dari kakak-kakakku yang kuliah di perguruan tinggi negeri.

Aku sangat dekat dengan ayahku, tetapi ayahku tidak pernah membeda-bedakan anak-anaknya, berbeda dengan ibuku yang sangat penuh perhatian dengan adikku. Ya maklumlah, adikku adalah anak laki-laki satu-satunya di keluargaku yang menurut mereka akan menjadi penerus usaha mereka kelak. Walaupun ibuku sangat sayang dan perhatian terhadap adikku tetapi kami tidak kurang kasih sayang dan perhatian dari mereka. Kesibukan mereka berdua di usaha batik tersebut tidak membuat mereka lupa akan tanggung jawabnya sebagai orang tua, sehingga kami sebagai anak-anaknya merasa bangga dengan mereka berdua.

Empat tahun kemudian, tanpa penyebab yang jelas ayahku meninggal dunia di usia 55 tahun. Menurut dokter, ayahku meninggal karena terkena serangan jantung. Kami sekeluarga tidak percaya semua ini, karena selama ini ayah kami selalu terlihat sehat-sehat saja. Kami sekeluarga sangat kehilangan beliau karena tidak akan ada lagi figur seorang ayah yang sangat bijaksana dan bertanggungjawab terhadap keluarga ini. Kepergian beliau membuat aku benar-benar terpukul dan tak kuasa menghadapi semua ini tetapi aku harus berusaha keras untuk dapat menerima semua ini dan mencoba untuk mengikhlaskan kepergiannya, mungkin ayahku akan senang di alam sana dan mendoakan kami di sini.

Setahun kepergian ayahku, kakak ketigaku, Rike, pergi menyusul ayahku. Kami sekeluarga benar-benar terpukul terutama ibuku. Karena kehilangan suami dan anak tercintanya ibuku jatuh sakit, beliau terkena stroke sehingga dokter menyarankan agar Ibu diberikan perawatan intensif untuk dapat sembuh total. Untuk dapat menyembuhkan ibuku yang sedang sakit kami terpaksa menjual semua barang-barang berharga yang dimiliki oleh orang tuaku. Tetapi kami tidak menjual rumah yang kami huni selama belasan tahun ini. Karena Ibu sakit, usaha batik yang ditekuni bersama almarhum ayahku mulai goyang sampai akhirnya kami harus menutup usaha tersebut untuk membiayai pengobatan ibuku dan untuk dapat memulai kembali usaha tersebut sepertinya kami anak-anaknya tidak memiliki kemampuan untuk itu. Saat ini yang terpenting adalah kesembuhan ibuku.

Kedua kakakku sudah bekerja, penghasilan yang mereka dapat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan diri mereka dan biaya pengobatan ibu, sementara aku baru lulus kuliah dan ingin sekali mencari pekerjaan untuk membantu kakak-kakakku membiayai pengobatan ibuku yang sedang sakit, sementara adikku Andri baru tingkat dua di sebuah perguruan tinggi negeri. Berbulan-bulan aku mencari kerja, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan sebagai seorang sekretaris di suatu perusahaan swasta, tetapi pekerjaan yang kudapat tidak sesuai dengan latar belakang pendidikanku yang sarjana informatika. Walaupun demikian, aku tetap menjalani pekerjaanku tersebut dengan iklas dan penuh tanggung jawab karena aku terdesak oleh kebutuhan ekonomi untuk membiayai pengobatan ibuku yang sakit.

Karena niat, kerja keras dan perjuangan kami bekerja untuk membiayai ibuku yang sakit, akhirnya ibuku berangsur-angsur dapat pulih dari sakitnya. Kami sekeluarga sangat bersyukur kepada Tuhan karena telah memberikan kesembuhan untuk ibu kami tercinta. Kesembuhan ibuku memberikan dorongan dan semangat bagiku untuk meneruskan kembali usaha batik orang tuaku. Dan ternyata kakak-kakaku dan adikku merespon baik keinginanku untuk membuka kembali usaha orang tuaku tersebut. Setelah tiga tahun aku bekerja, aku memutuskan untuk berhenti bekerja dan berencana untuk membuka kembali usaha batik orang tuaku yang sudah hancur tersebut. Dengan modal keyakinan dan percaya diri yang kuat serta bantuan pengetahuan yang dimiliki oleh ibuku aku membuka usaha batik kembali dibantu oleh ibu, kakak-kakakku, dan adikku, tetapi hanya aku dan ibuku yang terjun langsung ke usaha batik ini. Tahun pertama, kedua dan ketiga usaha batikku belum menunjukkan kemajuan bahkan usahaku selalu mengalami kerugian. Aku sempat putus asa menjalani usahaku ini karena aku benar-benar tidak pandai dan mahir untuk menjalani usaha ini tetapi ibu, kakak-kakakku, dan adikku selalu memberikan dorongan dan semangat kepadaku untuk terus bersabar dan berusaha dengan keras.

Aku berharap di tahun keempat usahaku, aku akan berhasil setidaknya usahaku jangan mengalami kerugian berkelanjutan, tetapi apa yang aku dapat, usahaku terus mengalami kerugian di tambah musibah yang menimpa keluarga kami. Kami mendapat musibah yang paling memilukan dan menyedihkan hati kami sekeluarga yaitu kepergian adikku menyusul ayah dan kakak ketigaku. Adikku meninggal dunia akibat tertembak peluru nyasar aparat polisi yang hendak melerai perkelahian teman adikku di jalan raya. Kepergian adikku membuat ibuku shock dan beliau menderita sakit kembali, beliau merasa terguncang dan tidak percaya akan semua ini. Setelah diperiksa ke rumah sakit, dokter mengatakan beliau terkena stroke berulang dan ditambah penyakit baru yaitu serangan jantung. Dokter menyarankan agar ibuku diberikan perhatian dan perawatan yang lebih intensif agar beliau dapat sembuh seperti sediakala. Aku dan kakak-kakakku merasa sangat bingung harus berbuat apa dan harus bagaimana.

Kedua kakakku menyarankan agar aku menghentikan usaha batikku yang tidak menghasilkan itu dan menyuruh aku untuk mengurus ibuku yang sedang sakit ketika mereka sedang bekerja karena, jika aku juga bekerja ibuku tidak ada yang merawatnya. Di sini terjadi konflik batin. Aku merasa kakak-kakakku tidak adil kenapa harus aku yang merawat ibu kenapa bukan mereka atau kenapa mereka tidak memanggil perawat saja untuk merawat ibu yang sedang sakit. Setelah kurenungi itu semua dan sebagai baktiku terhadap ibuku, aku terima saran kakak-kakakku walaupun dengan berat hati yaitu menutup usaha batikku tersebut. Setahun sudah aku merawat ibu dengan penuh kesabaran tetapi Tuhan masih belum memberikan ibuku kesembuhan. Kami sekeluarga tetap bersabar dan masih berharap Ibu dapat sembuh seperti sedia kala.

Setahun kemudian kakak tertuaku, Sandra, menikah dengan seorang pemuda asal kota lain, ia juga seorang dokter yang bekerja di rumah sakit swasta terkenal di kotanya, Jakarta. Pernikahan kakak tertuaku membuat kami sekeluarga senang dan bahagia. Setelah menikah, kakak tertuaku tidak lagi tinggal bersama kami, ia tinggal bersama suaminya di kota suaminya tinggal. Aku merasa kesal dan sakit hati dengan kakak tertuaku, kenapa ia tidak membawa ibu yang sedang sakit untuk tinggal bersama mereka. Mereka berdua kan dokter, mereka lebih mengetahui bagaimana merawat orang sakit daripada aku yang hanya sarjana informatika.

Kakak tertuaku tidak lagi membantu ekonomi keluarga kami lagi termasuk biaya pengobatan ibu, terpaksa kami menjual rumah yang telah kami huni selama belasan tahun ini. Setelah mendapat ijin dari semua, Ibu dan kakak-kakakku, kami akhirnya menjual rumah itu dan membelikanny sebuah rumah yang kecil di kota Solo dan untuk biaya pengobatan Ibu. Di rumah kecil dan mungil itu tinggal aku, kakak keduaku, Vero, dan ibuku yang sedang sakit. Aku masih beruntung aku masih mempunyai satu kakak lagi, yaitu kakak keduaku. Verolah yang mencukupi semua kebutuhan hidup kami sekeluarga, mulai dari pengeluaran rutin bulanan rumah sampai biaya pengobatan ibu yang sakit. Aku sedih melihat Kak Vero yang bekerja keras membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup kami sekeluarga.

Aku masih kesal dan benci akan sifat kakak tertuaku yang tidak mau membantu lagi ekonomi keluarganya sendiri. Setelah aku bermusyawarah dengan kakak keduaku, Vero akhrnya aku memutuskan untuk mencari pekerjaaan, tetapi saat ini dunia sedang mengalami krisis global banyak perusahaan-perusahaan yang mem-PHK karyawannya pasti akan sangat sulit bagiku untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan yang sesuai dengan apa yang aku mau. Hari demi hari aku mencoba untuk melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan dari satu tempat ke tempat lain, tetapi aku belum juga mendapatkannya.

Tidak jauh dari rumah ku ada sebuah rumah yang membuka home industri batik, walau hanya usaha home industri tetapi produk-produknya sudah dikenal di beberapa kota besar di negara ini. Aku datangi saja tempat tersebut dan mencoba meminta kepada sang pemilik untuk bekerja di sana, akhirnya aku diijinkan untuk bekerja di sana tetapi sang pemilik tidak dapat membayar aku dengan gaji yang besar. Walaupun dengan gaji yang kecil aku coba untuk menjalani pekerjaan tersebut dengan tekun dan penuh tanggung jawab.

Aku bangga aku dapat membantu kakak keduaku, Vero, membiayai kebutuhan rumah dan biaya pengobatan Ibu. Walau dengan gaji yang kecil, aku bangga dan senang karena aku dapat menghasilkan uang dari jerih payahku sendiri. Aku tidak mengabari kakak tertuaku kalau aku sudah bekerja, percuma saja menurutku jika aku kabari Kak Sandra, pasti beliau akan marah karena aku tidak merawat ibuku yang sedang sakit.

Di tempat ku bekerja saat ini, aku mendapat banyak pengetahuan mengenai bagaimana teknik membuat batik yang baik dan bagaimana strategi memasarkan produk-produk yang telah dihasilkan tersebut. Dua tahun aku bekerja di home industri tersebut aku diberi kepercayaan oleh sang pemilik untuk mengurus usahanya di luar kota karena menurut sang pemilik aku sudah menguasai mengenai batik dan aku dinilai memiliki jiwa berwirausaha yang baik. Tetapi aku tidak dapat menerima kepercayaan yang diberikan sang pemilik karena aku tidak mau meninggalkan kakak keduaku, Vero, dan ibuku yang belum pulih dari sakitnya. Sang pemilik marah dan kecewa akan keputusanku tersebut akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja.

Setelah aku berhenti bekerja aku pun kembali merawat ibuku yang belum pulih dari sakitnya. Perlahan-lahan Ibu sudah mulai berangsur sembuh, beliau sudah dapat mengerakan kedua tangannya dan sudah dapat berjalan walaupun masih terbata-bata. Melihat itu aku pun bersemangat untuk membuat ibuku sembuh seperti sedia kala. Kabar baik ini aku sampaikan ke kakak tertuaku, Sandra. Aku berharap beliau dapat datang menengok Ibu walaupun tidak harus menginap di rumah kami yang sangat kecil dan sederhana ini. Tetapi harapanku tak kunjung terwujud, kakak tertuaku tidak juga datang menengok Ibu di rumah, kakak tertuaku ingin kami yang datang mengunjungi beliau di sana. Kebencianku sangat memuncak mendengar beliau mengucapkan kata-kata itu. Akhirnya aku berniat dan bertekad dalam hati, suatu saat nanti jika ibu sudah sembuh dan dapat berjalan seperti sedia kala dan aku mempunyai uang yang cukup, aku akan datang menemui beliau di rumahnya. Aku tidak mengatakan niatku ini ke Ibu maupun ke kakak keduaku, Vero. Niatku ini akan kusimpan baik-baik di dalam hatiku.

Kakak keduaku, Vero, akhirnya menikah dengan seorang pengusaha terkenal dari kota sebrang, Makasar. Di pernikahan kakakku Vero, kakak tertuaku datang. Ibu cukup senang melihat kedatangan kakak tertuaku, aku pun cukup senang walaupun masih terbesit sedikit kebencian di hatiku. Seperti kakak tertuaku, Sandra, setelah menikah Kak Vero tidak tinggal bersama kami, beliau tinggal dengan suaminya, jadi di rumah hanya ada aku dan ibuku. Walaupun kami hanya berdua tapi aku bangga dan bahagia karena Ibu sudah sembuh seperti sedia kala. Karena Ibu sudah sembuh aku menyatakan niatku kepada ibuku bahwa aku ingin membuka usaha batikku kembali yang dulu hancur, ditambah aku sudah cukup memiliki kemampuan dan teknik membatik yang baik yang kuperoleh selama dua tahun bekerja di home industri batik di tempat tinggalku.

Ibuku ingin tinggal di kampung halamannya karena ia memiliki rumah yang sudah tidak dihuni lagi. Walaupun berat akhirnya aku ikuti saja kemauan ibuku. Rumah yang kami tinggali kami jual dan kami pindah ke kampung halaman ibuku di Pekalongan. Uang hasil penjualan rumah aku pakai untuk modal usaha batikku. Untuk memulai usaha ini aku tetap meminta doa restu dari Ibu dan kakak-kakakku yang tidak tinggal lagi bersamaku. Walaupun mereka sedikit pesimis dengan usahaku tersebut tetapi aku tetap optimis bahwa aku akan dapat menjalankan usaha batikku ini dengan baik dan sukses.

Tahun demi tahun aku menjalani usaha ini, akhirnya aku dapat merasakan jerih payahku selama ini. Usahaku melesat pesat bak roket yang baru saja diluncurkan dari landasan. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan atas karunia yang diberikanNya kepadaku dan aku sangat berterima kasih kepada ibuku karena beliaulah yang sangat mendorong dan memberi semangat untukku, untuk terus berjuang dan berusaha dengan keras. Terima kasih, Ibu.

0 komentar: