Minggu, 08 Maret 2009

Pak Kos

Aku sudah tidak mungkin protes lagi. Bagaimanapun aku sudah terlalu banyak merepotkan Mbak Yani, kakakku. Memang, mencari indekos bulanan sangat sulit saat ini. Entah karena apa, para pemilik indekos lebih memilih menawarkan jasa kamarnya untuk tahunan, atau empat bulanan. Kalau pun ada yang bulanan, harganya sangat melangit.

Ya sudah, Mbak! Tak apa, aku nge-kos di sini saja, toh tempatnya tidak terlalu jauh dari kampus. Yang penting harganya murah.

Sebenarnya aku tidak begitu puas dengan kamar itu. Letaknya di sebelah ruang tamu keluarga pemilik indekos, tidak seperti kamar-kamar yang lain, yang berada di belakang rumah. Rasanya kurang bebas jika berada di tengah-tengah keluarga Pak Kos. Masih mending kalau ada kamar mandi dan tempat jemuran sendiri, tetapi tidak, kamar mandi dan tempat jemuran yang bisa kugunakan sama dengan yang digunakan keluarga Pak Kos. Ya sudah, dapat kos-kosan yang sebulan hanya seratus limapuluh ribu saja sudah untung.

“Kamu harus berusaha menjadi bagian dari keluarga Pak Kos, setidaknya berusaha akrab,” kata Mbak Yani sebelum meninggalkan kamar baruku.

Sore itu aku ingin merebahkan tubuhku yang capek karena mengangkut barang-barang dari kontrakan lama dan menatanya di kamar baru. Kunyalakan musik slowrock di komputer. Tiba-tiba aku teringat kampung halaman. Aku menjadi sangat rindu dengan kampungku, rindu dengan keluargaku, Ayah-Ibu di Sumatera, kangen dengan teman-teman di kampung, terutama dengan Anni Sa’diyah, putri Haji Rafles. Sudah hampir dua tahun semenjak aku menerima surat terakhir dari Anni. Surat yang menghancurkan semua harapan dan cintaku. Surat yang benar-benar selalu kutakutkan dan akhirnya menjadi kenyataan. Anni menikah dengan orang lain. Aku ingat, saat itu, ketika aku membaca suratnya, aku menangis dan seharian mengunci diri di kamar, bahkan seminggu tidak masuk kuliah, tidak ingin ke mana-mana, tidak ingin bertemu siapa-siapa. Hanya ingin menangis, menangis saja. Huh! Dasar cengeng!

**

Suara pintu diketok, membuyarkan lamunanku, aku bergerak ke arah pintu, membukanya. Wajah ramah Pak Kos menyembul dari balik pintu.

“Lagi nganggur, Mas?” tanya Pak Kos

“Ya, Pak. Lagi santai.”

“Bisa main catur?”

“Bisa sih, Pak. Sedikit.”

Tidak seperti yang kubayangkan, ternyata tidak sulit untuk akrab dengan keluarga Pak Kos. Sore itu aku menghabiskan waktu dengan main catur, isteri Pak Kos membuatkan kami kopi dan bakwan goreng. Anom, anak lelakinya yang masih SD kelas lima ikut melihat permainan catur kami, sekali-dua kali ikut komentar. Sedang Hanung, anak keduanya yang masih berumur tiga tahun bermain puzzle yang berserakan di lantai.

Kumandang adzan Maghrib terdengar dari kejauhan, disusul sesaat kemudian suara suara adzan dari masjid-masjid sekitar, bersaut-sautan. Lampu ruang tamu sudah menyala. Isteri Pak Kos menyuapi Hanung makan. Anom masuk ke kamarnya, kemudian keluar lagi sudah membawa sarung kotak-kotak berwarna hijau. Sarung itu dilipat memanjang dan dikalungkan di leher.

“Anom ke Masjid dulu, Bu! Salamualaikum…!” pamitnya sambil mencomot bakwan goreng di atas meja, di samping papan catur.

Pak Kos tidak menjawab, dia terlihat serius menatap bidak-bidak catur. Sebenarnya aku ingin segera menyudahi permainan, break dulu untuk Shalat, tapi melihat wajah Pak Kos yang serius begitu, aku jadi tak enak.

Ah, mungkin sebentar lagi Pak Kos dulu yang mengajak break, pikirku dalam hati.

Seperempat jam berlalu, Pak Kos masih serius menatap bidak catur. Aku semakin gelisah, sebentar lagi waktu Maghrib habis. Kutatap isteri Pak Kos yang dari tadi duduk di depan televisi bersama Hanung. Aku berharap isterinya itu yang akan mengingatkan kami untuk Shalat dulu. Tetapi tidak! Sampai setengah jam berlalu dari kumandang adzan tadi. Mungkin Bu Kos sedang berhalangan sehingga lupa mengingatkan kami. Aku semakin gelisah, aku sudah berusaha mengalah, meletakkan bidak-bidak catur pada posisi yang mudah diserang, tetapi memang dasarnya Pak Kos saja yang berpikir lamban.

“Skak mat! Kali ini saya menang lagi, Mas. Bagaimana? Lanjut?” kata Pak Kos dengan bangga sambil menyalakan sebatang rokok yang sudah dari tadi dipegang.

“Istirahat dulu, Pak! Kapan-kapan kita lanjutkan. Saya sudah capek kalah tiga kali.”

“Hahaha… kalah menang sudah biasa. Ini sebatas permainan, yang luar biasa itu belajar bermain dengan cantik, betul kan?” Pak Kos menyodorkan rokok, tapi aku menolak.

***

Sudah tiga minggu aku tinggal bersama keluarga Pak Kos, di tengah-tengah keluarga kecil itu. Semua berjalan baik-baik saja. Mungkin hanya beberapa hal yang cukup menggangguku. Yang tak seberapa adalah tangis Hanung di pagi hari. Hampir setiap pagi, sekitar jam setengah lima, Hanung selalu menangis tak tahu karena apa. Ibunya memang selalu ada untuk menenangkannya, tapi butuh waktu cukup lama. Tak jarang malah Bu Kos sendiri yang kuwalahan sehingga dia sendiri marah-marah dan mengomel. Meski terganggu, diam-diam aku berterimakasih karena ada yang membangunkanku pagi-pagi. Alarm tak pernah ampuh untuk membangunkan. Berbunyi sih berbunyi, tapi aku hanya bangun untuk mematikan alarm. Niatnya tidur sebentar lagi, tapi nyatanya keterusan sampai siang.

Yang paling mengganggu sekaligus membuatku khawatir adalah kebiasaan Pak Kos dan teman-teman Pak Kos. Jika malam, mereka sering mabuk di ruang tamu. Main poker dan berisik sekali. Anehnya, suara berisik mereka tidak mengganggu tidur Hanung, mungkin karena sudah terbiasa. Memang beberapa kali Bu Kos pernah mengingatkan agar mereka jangan terlalau berisik atau pindah ke teras rumah.

Suatu malam, Pak Kos yang mabuk itu mengetok pintu kamarku, sedikit berteriak.

“Mas Malik! Sudah tidur belum?”

Aku memang belum tidur, tapi aku diam saja, berharap Pak Kos mengira aku sudah tidur pulas. Pintu diketok lebih keras. Aku tetap diam. Suara ketokan menjadi semakin keras dan berubah menjadi gedoran, aku segera mematikan komputer dan mengacak-acak rambutku, bertingkah seperti bangun tidur kemudian membuka pintu.

“Ada apa?”

“Bergabung, Mas! Malam ini ada lima botol, kita minum sampai puas, gimana?” Pak Kos memegang pintu dengan sedikit terhuyung.

“Iya, Mas. Sekali-kali mbok gabung, jangan di kamar terus!” sahut lelaki berambut gondrong di ruang tamu. Dadaku berdebar keras, tapi aku berusaha tenang. Menghadapi orang-orang seperti itu bukanlah hal asing bagiku.

“Maaf, Pak! Saya tidak minum, saya terkena penyakit dalam yang sudah akut, tidak boleh minum alkohol.”

“Penyakit yang sudah akut?” tanya Pak Kos menyodorkan mukanya. Aku sedikit menepis karena bau minuman keras.

“Iya, Pak. Bahkan aromanya saja bisa memicu jantung saya berdetak kencang. Jadi saya tidak bisa menemani bapak-bapak sekalian. Maaf, ya!”

Untunglah, meski merepotkan, mereka akhirnya mengerti dan tidak memaksaku bergabung dalam pesta minuman keras itu. Di dalam kamar, aku menghela nafas, lega, meski di hatiku masih tersisa rasa khawatir. Masalah penyakit itu aku berbohong. Yang lebih mengkhawatirkan adalah aku tidak tahu sama sekali penyakit apa yang tidak boleh meminum alkohol. Jantungkah? Liver? Paru-paru? Ah, sudahlah, toh tadi mereka tidak bertanya penyakit apa. Ngomong dengan orang mabuk sih tak perlu ilmiah, asal bisa meyakinkan saja.

Malam berikutnya, Pak Kos mengajakku main catur lagi. Karena hari Sabtu aku tak ada kuliah, aku tidak keberatan. Sampai pagi juga tak apa-apa. Kurang lebih jam duabelas lebih tiga puluh menit, dua orang teman Pak Kos datang dan mengajak Pak Kos pergi.

“Besok kita main lagi, Mas Malik. Saya suka gaya permainan Mas Malik.” Kemudian Pak Kos pergi bersama kedua temannya. Aku kembali ke kamar dan langsung tidur.

Paginya, seperti biasa aku bangun karena suara tangis, tapi bukan tangis Hanung, melainkan suara tangis ibunya, meraung-raung. Aku segera keluar dari kamar dan melihat Bu Kos sedang maratapi sesosok tubuh yang berlumur darah, tergeletak di ruang tamu. Ya, Allah! Itu tubuh Pak Kos! Aku berteriak minta tolong dan sesaat kemudian orang-orang berdatangan….

0 komentar: