Rabu, 17 Maret 2010

KINERJA BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH


Abstrak :
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsure penyelenggara desa. Keberadaan BPD dalam pemerintahan desa adalah bukti pelibatan masyarakat dalam bidang penyelengaaraan pemerintahan. Pada masa orde baru pelibatan masyarakat di dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di laksanakan melalui pembentukan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Namun lembaga tersebut kurang berfungsi secara proporsional, hanya berfungsi sebagai tangan kanan dari Kepala Desa. Pada sisi lainnya, hegemoni penguasa desa sangat dominan dalam segala hal. Akibatnya masyarakat kurang bisa belajar berdemokrasi. Hal ini dibuktikan dengan kekuasaan Kepala Desa yang dapat dikatakan analog dengan kekuasaan dictator atau raja absolute, sehingga masyarakat kurang dapat secara leluasa menyalurkan aspirasinya.
Kata Kunci: Kinerja, Badan Permusyawaratan Desa (BPD)


Otonomi daerah telah memberikan ruang gerak bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yang menjadikan masyarakat tidak hanya sebagai objek pembangunan tetapi juga subjek pembangunan dan dengan tingkat partisipasi tersebut diharapkan akselerasi hasil-hasil pembangunan dapat segera diwujudkan dan berdayaguna dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
Partisipasi masyarakat tersebut disamping dilaksanakan oleh lembaga-lembaga non formal seperti keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok-kelompok kepentingan lain melalui tuntutan-tuntutan terhadap pemerintah atau bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah, juga dilaksanakan oleh lembaga-lembaga formal pada tingkat daerah melalui kewenangan lebih besar pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan di tingkat desa dengan pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Ruang gerak bagi demokratisasi dan peran serta masyarakat tersebut dalam perjalanan belum berpihak secara sungguh-sungguh terhadap kepentingan masyarakat. disadari bersama bahwa mengubah suatu sistem sosial politik ekonomi serta kelembagaan dan budaya tidak dapat terjadi dalam waktu relatif singkat (berlakunya sebuah UU tidak berarti secara otomatis mengubah sistem, politik, dan budaya masyarakat). Diperlukan adanya konsistensi, kemauan baik dari pelaksanaan UU, Kebijakan Pemerintah, kesiapan dari masyarakat dan birokrasi pemerintah serta lembaga swadaya masyarakat. Dengan kata lain ide-ide tentang otonomi daerah, demokratisasi dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia dalam pembangunan memiliki dinamika sendiri dalam implementasinya baik dipusat, daerah, dan desa. Paradigma pembangunan yang sentralistik terbukti telah gagal dan perlu dikembangkan paradigma baru yaitu paradigma pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat secara lebih luas melalui peningkatan civil society sehingga pembangunan adalah dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang pada akhirnya adalah Pembangunan Bangsa secara keseluruhan, dan itu hanya dapat terjadi apabila pembangunan dimulai dari “pembangunan masyarakat desa”.
Saat ini, upaya untuk membangun dan mengembangkan kehidupan masyarakat desa dirasakan semakin penting. Hal ini disebabkan disamping karena sebagian besar penduduk tinggal di pedesaan, kini partisipasi masyarakat di dalam kegiatan pembangunan juga sangat diharapkan, sebagaimana tercantum dalam UU nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah sangat mensyaratkan keadaan sumber daya manusia yang mumpuni, karena mereka inilah yang kelak akan lebih banyak menentukan bergerak atau tidaknya suatu daerah di dalam menjalankan kegiatan pembangunan dan pemerintahan pada umumnya.
Daerah yang otonom sangat mensyaratkan keberadaan masyarakat yang otonom pula. Masyarakat yang otonom adalah masyarakat yang berdaya, yang antara lain ditandai dengan besarnya partisipasi mereka di dalam kegiatan pembangunan. Karena itulah, dalam era otonomi daerah yang kini mulai dilaksanakan, peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan dan pemerintahan pada umumnya sangat penting.
Menurut Muchsan (dalam Suko Wiyono 2006: 48-59) Secara teoritis dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat sendi-sendi sebagai pilar penyangga otonomi, sendi-sendi tersebut meliputi: (1) sharing of power (pembagian kewenangan); (2) distribution of income (pembagian pendapatan); (3) empowering (kemandirian/pemberdayaan pemerintah daerah).
Ketiga sendi tersebut sangat berpengaruh dalam pelaksanaan otonomi daerah, apabila sendi tersebut semakin kuat, maka pelaksanaan otonomi daerah semakin kuat pula, dan sebaliknya apabila sendi-sendi tersebut lemah, maka pelaksanaan otonomi semakin lemah pula. Ketiga sendi-sendi ini sebagai pilar-pilar otonomi telah dijabarkan dalam prinsip-prinsip otonomi yang tertuang dalam UU No.22 Th.1999 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah maupun dalam Undang-Undang penggantinya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah telah dijabarkan tentang ketiga sendi tersebut yaitu dalam prinsip-prinsip otonomi.
Upaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat daerah sebenarnya telah banyak dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai program pembangunan, antara lain: Dana Pembangunan Desa, Bantuan Inpres Desa Tertinggal, bantuan bibit dan pupuk bagi petani, Kredit Usaha Tani, Kukesra, Takesra, bantuan bergulir ternak sapi dan lain sebagainya. Namun demikian berbagai program tersebut gagal memberikan kesejahteraan warga masyarakat di daerah (desa).
Upaya perwujudan kesejahteraan melalui peningkatan peran serta masyarakat yang dilaksanakan dengan melibatkan LSM, seperti dalam program jaring pengaman sosial, dan berbagai macam program pengentasan kemiskinan telah dilaksanakan pada masa pemerintahan reformasi. Namun hasilnya masih belum terealisasikan bahkan ada dugaan adanya penimpangan penggunaan dana untuk program-program pengentasan kemiskinan, bahkan laporan pertanggungjawaban kepala daerah isinya hanya menginformasikan penyelenggaraan pemerintahan daerah tanpa menyinggung laporan penggunaan Dana Alokasi Umum (DAU) yang dipergunakan untuk membiayai berbagai program peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pelibatan masyarakat tidak hanya dalam bidang peningkatan kesejahteraan tetapi juga dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pemerintahan desa adalah bukti pelibatan masyarakat tersebut.
Badan Permusyawaratan Desa yang disingkat BPD pada dasarnya adalah penjelmaan dari segenap warga masyarakat dan merupakan lembaga tertinggi Desa. BPD juga merupakan pemegang dan pelaksanan sepenuhnya kedaulatan masyarakat desa. Lembaga ini memiliki urgensi yang tidak jauh berbeda dengan DPR. Karenanya agar otonomi di desa dapat berjalan secara proporsional.

A. Teori kinerja Organisasi
Konsep kinerja selalu dikaitkan dengan akuntabilitas yang berkenaan dengan check and balance kelembagaan dalam suatu administrasi.
Istilah kinerja merupakan terjemahan dari performance yang sering diartikan sebagai penampilan unjuk kerja atau prestasi. Prawirosentono (dalam Sinambela, 2006:136) mengemukakan
”bahwa secara etimologi kinerja berasal dari kata performance, performace berasal dari kata to perform yang mempunyai beberapa masukan (entry) yaitu: (1)Memasukkan, menjalankan, melaksanakan; (2)Memenuhi atau menjalankan kewajiban suatu nazar; (3)Menggambarkan suatu karakter dalam suatu pemainan; (4)Menggambarkannya dengan suara atau alat musik; (5)Melaksanakan atau menyempurnakan dengan tanggungjawab; (6)Melakukan suatu kegiatan dalam suatu permainan; (7)Memainkan alat musik; (8)Melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin. Tidaklah semua masukan tersebut relevan dengan kinerja, disini hanya empat saja yakni: (1)Melakukan; (2)Memenuhi atau menjalankan; (3)Melaksanakan tanggungjawab; dan (4)Melakukan sesuatu yang diharapkan orang lain”

Pamungkas (dalam Juliantara, 2005: 38) menyatakan bahwa Kinerja adalah penampilan cara-cara untuk menghasilkan sesuatu hasil yang diperoleh denga aktivitas yang dicapai dengan suatu unjuk kerja.
Mahsun (2006: 25) mendefinisikan kinerja (performance) sebagai suatu gambaran mengenai tingkat pelaksanaan suatu kegiatan atau program atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi.
Kinerja organisasi didefinisikan Rue & Byars (dalam Keban, 1995: 1), sebagai tingkat pencapaian hasil (“the degree of accomplisment”), karena itu kinerja organisasi dapat dipandang sebagai tingkat pencapaian tujuan organisasi (Keban, 1995 : 1). Definisi lain, yang juga memandang kinerja secara internal, hanya membandingkannya dengan tujuan organisasi, dikemukakan Gordon (1993: 332) bahwa “permormance ferers specifically to performing and reaching group throught fast work speed; outcomes of high quality, accuracy and quantity; observation of rules”.
Definisi kinerja dari pemahaman secara eksternal, yang membandingkan dengan keseluruhan status organisasi dengan pesaing, pemilik dan standart eksternal dikemukakan Holloway, Lewis dan Mallory (1995 : 1) yang merumuskan konsep kinerja secara multidimensional, yaitu sebagai “the overall status of and organizaitionin relation to competitors, or aganst its own or external standar”. Cara pandang terhadap kinerja baik secara internal maupun eksternal, pada dasarnya menunjukkan perlunya suatu perhatian terhadap penggunaan standard internal dan eksternal dalam pengukuran kinerja suatu organisasi pelayanan publik.
Kinerja organisasi menurut Perry (1989 : 619-626) akan menunjuk pada efektivitas organisasi, dimana hal itu akan menyangkut pengharapan untuk mencapai hasil yang terbaik sesuai dengan tujuan kebijakan. Isu efektivitas organisasi dalam kaitannya dengan kinerja organisasi, menurut Hodge, Anthony dan Gales (1996) mencakup how well the organization is doing, bagaimana suatu organisasi mencapai profit/tujuannya dan tingkat kepuasan dari para pelanggan/penguna jasa pelayanannya. Efektivitas organisasi secara internal mencakup efisiensi dalam penggunaan sumberdaya dan faktor-faktor hubungan manusia (conflic, happy, satisfied) yang akan mempengaruhi produktivitas. Kinerja organisasi sebagaimana yang dikemukakan Boyatzis (dalam Perry, 1989: 619-626) dilakukan untuk mencapai specific result (outcomes).
Kinerja organisasi mempertanyakan apakah tujuan dan misi suatu organisasi telah sesuai dengan kenyataan kondisi atau faktor ekonomi, politik dan budaya yang ada. Apakah memiliki kepemimpinanan modal dan infrastruktur dalam mencapai misinya. Apakah kebijakan, budaya dan sistem insentifnya mendukung pencapaian kinerja yang diinginkan dan apakah organisasi tersebut menciptakan dan memelihara kebijakan-kebijakan seleksi, pelatihan dan sumberdayanya.
Enyclopedi of publik Administration and Publi Policy tahun 2003 (dalam Keban, 2005:193) menjelaskan bahwa kinerja menggambarkan sampai seberapa jauh Organisasi tersebut mencapai hasil ketikadibandingkan dengan kinerja terdahulu (Previous Performance), dan sampai seberapa jauh pencapaian tujuan dan target yang telah ditetapkan.
Berbagai definisi kinerja diatas, jika ditinjau dari bentuk rumusannya terdapat perbedaan, akan tetapi jika ditinjau secara mendalam terdapat persamaan konsep yaitu pada hakekatnya kinerja adalah gambaran dalam melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakan pekerjaan tersebut sesuai dengan tanggung jawabnya, sehingga dapat mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan. Hakekat ini merupakan suatu pemahaman bahwa ruang lingkup kinerja meliputi perencanaan, proses, dan hasil yang dicapai.
Perencanaan merupakan rencana pengolahan masukan (input) yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan berjalan dengan baik untuk menghasilkan keluaran (output). Perencanaan diantaranya meliputi perencanaan tujuan, visi dan misi, dan sumber daya (resource) yang dimiliki.
Proses merupakan pelaksanaan kegiatan yang berkaiatan dengan ukuran kegiatan, baik segi kecepatan, ketepatan, maupun tingkat akurasi pelaksanaan kegiatan, rambu-rambu yang paling dominant dalam proses adalah tingkat efektivitas, efisiensi, dan ekonomis.
Hasil (output) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan, dapat berupa benda fisik atau non fisik. Aspek hasil menurut (Mahsun, 2006: 78) berupa outcomes yaitu tingkat pencapaian hasil yang diperoleh dalam bentuk output. Apakah output dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan memberikan kegunaan besar bagi masyarakat. Benefit terkait dengan manfaat dari tujuan akhir pelaksanaan kegiatan. Impact yaitu pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif.



B. Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja (Petformance Measurenment) adalah suatu metode atau alat yang digunakan untuk mencatat dan menilai pencapaian pelaksanaan kegiatan berdasarkan tujuan, sasaran dan strategi, sehingga dapat diketahui kemajuan organisasi, serta meningkatakan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas (Mahsun, 2006:26).
Pengukuran kinerja merupakan penilaian terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah terhadap masyarakat. Kurniawan (2005:52) mengemukakan bahwa untuk dapat menilai sejauh mana kualitas pelayanan publik yang diberikan aparatur pemerintah, perlu adanya kriteria yang menunjukkan apakah mutu pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk.
Indikator atau kriteria yang digunakan untuk mengukur kinerja bersifat variatif artinya terdapat berbagai indikator sesuai dengan fokus dan konteks penelitian.
Karakteristik good governance dapat pula dijadikan indikator pengukuran kinerja yang meliputi participation, rule of law,transparancy, responsiveness, consesus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, dan stategic vision.
Lenvine dkk. (dalam Dwiyanto, 1995: 7-8)menawarkan tiga konsep indikator dalam pengukuran kinerja organisasi pelayanan publik, yaitu : responsiveness, responsibility, dan accountability. Responsiveness (responsivitas) adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas merupakan daya tanggap organisasi publik terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayaninya. Birokrasi dalam memberikan pelayanan publik tidak dapat dilepaskan dari kemampuannya dalam mengidentifikasi dan mengakomodir berbagai kepentingan dari berbagi kelompok yang ada di masyarakat (Herring, 1987: 74).
Responsibility, (responsibilitas), merupakan suatu konsep yang menjelaskan persesuaian pelaksanaan kegiatan organisasi publik dengan prinsip-prinsip administasi yang benar atau dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Dan dalam fungsi pelayanan publik memerlukan birokrasi yang profesional dengan dipadukan otoritas dan kemampuan diskresi, koordinasi serta responsibilitas (Herring, 1987: 78).
Accountability (akuntabilitas) merujuk pada pertanggungjawaban eksternal organisasi, yaitu apakah kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk kepada para stakeholder-nya. Harmon dan Mayer (1986: 384) mengemukakan bahwa efektivitas pelayanan merupakan ukuran accountability dari suatu kebijakan organisasi publik sebagai standar kinerja pelayanan (provide standart of correct action).
Berpijak dari adanya perbedaan dari tujuan pada organisasi publik, Hughes (1994: 207) memilahkan indiktor ukuran kinerja organisasi pada tiga pusat perhatian, yaitu: (1) apabila perhatian utamanya pada efisiensi penggunaan sumberdaya, dipergunakan adalah pendekatan ekonomis dengan penekanannya pada indiktor keluaran, dan apabila memungkinkan pada hasil (outcome); (2) apabila perhatian utamanya pada akuntabilitas, penekanannya pada indikator pelayanan publik; dan (3) apabila pusat perhatiannya pada kompetisi manajerial, tekanannya pada pencapaian target.
Hatry (1989) mengemukakan bahwa pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan berpedoman pada sumber data dari (1) analysis of agency records, (2) trained observer procedures, (3) citizen/client surveys. Tujuan pengukuran kinerja disebutkan Hatry adalah untuk: (1) mengetahui efisiensi dan kualitas layanan, (2) memotivasi birokrasi publik guna meningkatkan kualitas layanan, (3) pengawasan pelaksana kebijakan, (4) menentukan dan menyesuaikan anggaran, (5) mendorong birokrasi publik untuk memusatkan perhatian pada kebutuhan masyarakat, dan (6) memperbaiki kualitas layanan.
Parameter dalam indikator responsivitas organisasi, yang meliputi: kemampuan mengenali kebutuhan dan aspirasi masyarakat, khususnya pengguna layanan; dan daya tanggap serta kemampuan organisasi mengembangkan program-program pelayanan sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayaninya. Dalam indikator akuntabilitas organisasi, parameter yang dipakai adalah: persesuaian layanan yang diberikan dengan yang diharapkan pengguna jasa layanan; dan persesuaian kinerja dan pelayanan dengan sikap politik Pemerintah. Responsibilitas organisasi merujuk pada persesuaian pelaksana kerja organisasi dengan prosedur dan tatakerja yang berlaku. Sedangkan ukuran efektivitas organisasi akan mencakup : persesuaian pelaksanaan kegiatan kerja organisasi dengan tujuan; dan tingkat produktivitas organisasi atau kemampuan pencapaian hasil dibandingkan dengan target.
Pendapat steers (1980), bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pencapaian tujuan organisasi meliputi: karakteristik organisasi, karakteristik lingkungan, karakteristik pekerja, serta kebijakan dan praktek manajemen.

C. Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah penjabaran penting dari tuntutan demokrasi di segala bidang. Daerah otonomi mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya Nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dalam penjelasan UU No.32 Tahun 2004,menjelaskan tentang penyelenggaraan otonomi daerah yang dilaksanakan dengan menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya,dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab,prinsip otonomi yang nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannnya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama daritujuan nasional.
Pelaksanaan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah adanya ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan Negara.
Menurut Muchsan (dalam Suko Wiyono, 2006:48-59), Secara teoritis dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat sendi-sendi sebagai pilar penyangga otonomi. Sendi-sendi tersebut meliputi:
(1) sharing of power (pembagian kewenangan);
Pembagian kewenangan (sharing of power) antara pusat dan daerah ini menurut Oentarto dalam Suko Wiyono (2006: 49):
“Secara teoritis ada 3 (tiga) urusan pusat yang tidak dapat diserahkan kepada Daerah yaitu: pertahanan keamanan, urusan diplomasi atau politik luar negeri, dan urusan moneter dalam pengertian mencetak dan memberi nilai mata uang”

Berdasarkan pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Th.2004 yang isinya Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau Wakil Pemerintahdi daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan Desa.
(2) distribution of income (pembagian pendapatan);
Pembagian pendapatan (distribution of income) diatur berdasarkan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. Landasan Filosofis dan landasan Konstitusionalnya adalah pasal 18 A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan. Pasal ini mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah di atur dan dilaksanakn secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.
Menurut Suko Wiyono (2006:50) ada Delapan (8) model pembagian pendapatan, yakni :
a. 90% untuk Pemerintah Daerah dan 10% untuk Pemerintah Pusat. Ini berlaku untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan seluruh biaya yang berkaitan dengan tanah;
b. 80% untuk Pemerintah Daerah dan 20% untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);
c. 20% untuk Pemerintah Daerah dan 80% untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk Pajak Penghasilan (PPh);
d. 80% untuk Pemerintah Daerah penghasil dan 20% untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi sumberdaya Hutan (PSDH), Penerimaan Pertambangan Umum, Pertambangan Panas Bumi;
e. 80% untuk seluruh kabupaten/kota dan 20% untuk Pemrintah Pusat berlaku untuk Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional;
f. 40% untuk Pemerintah Daerah dan 60% untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk Penerimaaan Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi;
g. 15.5% untuk Pemerintah Daerah dan 84.5% untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai peraturan perundangan;
h. 30.5% untuk Pemerintah Daerah dan 69.5% untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundangan.
(3) empowering (kemandirian/pemberdayaan pemerintah daerah).
Pemberdayaan (empowering) harus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan demokratisasi dalam kehidupan masyarakat Daerah.upaya mewujudkan demokrasi dan demokratisasi dapat dilakukan dengan adanya perubahan fundamental yaitu pemisahan antara lembaga eksekutif yaitu kepala daerah beserta perangkatnya yang kemudian disebut dengan Pemerintah Daerah, dan lembaga legislatif Daerah yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam pasal 41 UU No.32 Th.2004 tentang Pemerintahan Daerah DPRD memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah Daerah. Sedangkan Pemerintahan Desa memiliki Badan Permusyawaratan Desa.
Perubahan sistem Pemerintahan Daerah ini sasarannya adalah: (1)Pembangunan sistem, iklim dan Kehidupan politik yang demokratis, (2)Penciptaan Pemerintahan Daerah yang bersih dan berwibawa serta bernuansa desentralisasi, (3)Pemberdayaan masyarakat agar mampu berperan secara optimal dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, (4)Penegakan supremasi hukum.
Fungsi DPRD menurut pasal 41 UU No. 32 tahun 2004 yaitu : (1)Fungsi Legislasi; (2)Fungsi Anggaran; (3)Fungsi Pengawasan (kontrol)
Dalam mewujudkan sasaran tersebut, DPRD selain memiliki fungsi juga memiliki tugas, wewenang dan hak-hak secara luas. Sehingga dalam perwujudannya diperlukan langkah konkrit yang mampu mendorong agar DPRD dapar berperan secara optimal dalam Pemerintahan Daerah.
Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh DPRD menurut pasal 42 UU No. 32 Tahun 2004 adalah (1)Membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama; (2)Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala Daerah; (3)Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama Internasional di daerah; (4)Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepda Presiden melalui Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota; (5)Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah; (6)Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian Internasional di daerah; (7)Memberikan persetujuan terhadap rencana perjanjian Internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah; (8)Meminta laporan keterangan pertanggung-jawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; (9)Membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah; (10)Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah; dan (11)Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
Hasil dari perubahan tersebut dapat menyuburkan proses reformasi pada tingkat lokal dan memberi ruang gerak pada bidang politik, pengelolaan keuangan daerah dan pemanfaatan sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal sehingga tercipta corak pembangunan baru di daerah.
Peluang untuk mendorong perubahan antara lain, yaitu:
a. Menguatkan keyakinan publik bahwa demokrasi merupakan jalan yang paling baik untuk mencapai sebuah kehidupan baru yang lebih baik dan bermakna.
b. Adanya perubahan konfigurasi kekuatan dan kekuasaan politik. Perubahan konfigurasi ini sudah tentu membuka kemungkinan untuk memasukkan ide-ide baru termasuk kritik atas skema lama yang sangat merugikan rakyat.
c. Adanya pembaharuan struktur kekuasaan, termasuk ide mengenai otonomi yang sedikit banyak telah mengubah struktur lama yang hirarkis.

D. Badan Permusyawaratan Desa
Badan Permusyawaratan desa yang selanjutnya disebut BPD adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. BPD berfungsi untuk menetapkan Peraturan Desa bersama kepala Desa, dan menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk Desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk I (satu) kali masa jabatan berikutnya, pimpinan dan anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap sebagai kepala desa dan perangkatnya.
Sesuai dengan Perda Kabupaten Malang No: 14 Tahun 2006 Tentang Badan Permusyawaratan Desa, menjelaskan tentang kedudukan BPD berdasarkan pasal 10 yakni; BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Desa.
Sedangkan fungsi BPD diatur dalam Pasal 11 yaitu;(1)Menetapkan Peraturan Desa bersama kepala Desa; (2)Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Sedangkan Pasal 12, menyatakan tentang wewenang BPD yaitu: (1)Membahas rancangan Peraturan Desa bersama kepala Desa;(2)Melaksanakan Pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa san Peraturan Kepala Desa;(3)Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa; (4)Membentuk panitia dan memproses pemilihan kepala Desa;(5)Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat; dan (6)Menyusun tata tertib BPD.
Dalam Pasal 13 berisi tentang hak-hak yang dimiliki BPD antara lain: (1)Meminta keterangan kapada pemerintah Desa; (2)Menyatakan pendapat. Sedangkan kewajiban BPD diatur dalam Pasal 14 yakni: (1)BPD berkewajiban menyampaikan informasi hasil kinerjanya kepada masyarakat; (2)Penyampaian hasil kinerja BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun; (3)Penyampaian hasil kinerja BPD dapat dilakukan melalui pertemuan atau media cetak/elektronik.
Anggota BPD juga memiliki hak-hak yang diatur dalam pasal 15 ayat 1 yakni: (1)Mengajukan Rancangan Peraturan Desa; (2)Mengajukan Pertanyaan; (3)Menyampaikan usul dan Pendapat; (4)Memilih dan dipilih; dan (5)Memperoleh tunjangan. Sedangkan kewajiban anggota BPD diatur dalam pasal 15 ayat 2 yakni: (1)Mengamalkan pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan; (2)Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa; (3)Mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (4)Menyerap, menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; (5)Mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan; (6)Menghormati nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat dan norma-norma agama; (7)Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan; (8)Memproses pemilihan Kepala Desa.
Pasal 16 berisi tentang larangan bagi pimpinan dan anggota BPD antara lain: (1)Merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa; (2)Sebagai Pelaksana proyek desa; (3)Merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain; (4)Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang, barang dan/jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; (5)Menyalah gunakan wewenang; dan (6)Melanggar sumpah/janji jabatan.
1. Kedudukan BPD dalam pemerintahan Desa
BPD dengan Kepala Desa mempunyai kedudukan setara, karena kedua belah pihak sama-sama dipilih oleh anggota masyarakat desa tetapi kalau dilihat dari proses pemberhentian, terkesan BPD berkedudukan lebih tinggi, dimana BPD mempunyai kewenangan mengusulkan pemberhentian Kepala Desa kepada Bupati. Sementara Kepala Desa tidak lebih dari pada itu, dalam proses penetapan perangkat desa, Kepala Desa harus meminta persetujuan kepada BPD. Namun, demikian kedua belah pihak tidak saling menjatuhkan karena sama-sama dilihat oleh masyarakat dan mengemban amanah dari masyarakat.
Kedudukan BPD dan pemerintah desa sejajar, artinya Kepala Desa dan BPD sama posisinya dan tidak ada yang berada lebih tinggi atau lebih rendah. Keduanya dipilih oleh masyarakat dan mengemban amanah dari masyarakat.

2. Hubungan BPD dengan Pemerintah Desa
Hubungan antara BPD dengan pemerintah desa adalah mitra, artinya antara BPD dan kepala Desa harus bisa bekerja sama dalam penetapan peraturan desa dan APBDes. BPD mempunyai tugas konsultatif dengan kepala desa untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan desa, selain itu BPD juga berkewajiban untuk membantu memperlancar pelaksanaan tugas kepala desa.
Mengingat bahwa BPD dan Kepala desa itu kedudukannya setara maka antara BPD dan kepala desa tidak boleh saling menjatuhkan tetapi harus dapat meningkatkan pelaksanaan koordinasi guna mewujudkan kerjasama yang mantap dalam proses pelaksanaan pembangunan yang merupakan perwujudan dari peraturan desa.

E. Kinerja BPD
Berdasarkan Perda Kabupaten Malang No.14 tahun.2006 tentang Badan Permusyawaratan Desa yang dikatakan sebagai kinerja BPD tak lain meliputi tugas dan wewenang BPD sendiri, adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan Peraturan Desa (perdes) bersama Kepala Desa
2. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
3. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa
4. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala desa
Invancevich, lorenzi, Skinner, dan Crosby (dalam Ratminto dan Winarsih, 2005: 120) mendefinisikan budaya kinerja sebagai suatu situasi kerja yang memungkinkan semua karyawan dapat melakukan semua pekerjaan dengan cara terbaik.

Penutup
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dititikberatkan pada proses penyelenggaraan Pemerintah Desa yang reponsivitas, responsibilitas dan akuntabilitas. Sehingga diharapkan terjadinya penyelenggaraan pemerintah yang mengedepankan pemerintah yang aspiratif dan bertanggungjawab demi kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Kinerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diwujudkan dengan adanya pembentukan tata tertib BPD, Pembuatan Perdes bersama dengan Pemerintah Desa, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Kinerja BPD dalam pelaksanaan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Beratha, N. 1992. Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa. Jakarta : Ghalia
Indonesia.

Gie, Kwik, Kian. 2003. Reformasi Birokrasi dalam mengefektifkan Kinerja Pegawai Pemerinta. (Online), (http:// www. Bappenas. Go.id Index. Php_Module = file manager & Func =download & pathext =Content Express & view =167 Reformasi % 20 Kinerja. Pdf.)
Hamid, Edi Suandi, et, al. 2004. Memperkokoh Otonomi Daerah. Yogyakarta :
UII Press
Kurniawan, Agung. 2005. Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta : Gava Media.
Mahsun, Mohammad. 2006. Pengukuran Kinerja sektor Pelayanan Publik. Yogyakarta : BPTE.
Moleong, Lexy J. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Terjemahan oleh Tjun
Surjaman. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Pambudi, Himawan S dkk. 2003. Politik Pemberdayaan Dalam Mewujudkan
Otonomi Desa. Yogyakarta : Pondok Pustaka.
Peraturan Daerah kabupaten Malang No 14 tahun 2006 tentang Badan Permusyawaratan Desa
Rozaki, Abdur, dkk. 2004. Memperkuat Kapasitas Desa Dalam Membangun
Otonomi. Yogyakarta : IRE Pres
Sinambela, Lijan, Poltak. 2006. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta: Bumi aksara.
Soetrisno, L. 1995. Menuju masyarakat Partisipatif. Yogyakarta : Konisius.
Soesanto, Astrid. S. 1995 Sosiologi Pembangunan. Bandung : Bina Cipta.
Sumardjo, U.1984. Pemerintahan Desa dan Kelurahan. Bandung : Tarsito.
Susianingrat, B. 1985. Pemerintahan Administrasi Desa dan Kelurahan. Jakarta :
Aksara Baru.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Desa.
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Widodo, joko. 2007. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Malang: Bayu Media.3.
Wignyosubroto, dkk,2005. Pasang Surut Otonomi Daerah Sketsa Perjalanan 100
Tahun. Jakarta : Institute For Local Development.
Wiyono, Suko. 2006. Otonomi Daerah Dalam Negara Hukum Indonesia. Jakarta: Faza Media

0 komentar: