Jumat, 03 April 2009

Sandiwara Hari Ini

“Kamu bener nggak selingkuh?”

“Iya, bener.”

“Berani sumpah?”

“Iya, sumpah.”

“Berani mandul?”

“Iya, berani.”

Dan mereka pun berciuman sesudahnya. Mencoba menghilangkan ketidaknyamanan yang terjadi selepas interogasi dadakan tersebut. Sebenarnya mereka tahu. Sekali kepercayaan terkikis, tak ada kesempatan buatnya untuk kembali utuh. Mereka berdua tahu, ciuman ini adalah bagian dari sandiwara yang mereka berdua mainkan. Sandiwara cinta yang kadaluarsa.

“Kamu cuma cinta padaku kan?’

“Iya, cuma kamu.”

“Cuma aku kan yang ada di mimpimu?”

“Iya, cuma kamu.”

“Cuma aku kan yang ada di imajinasimu?”

“Iya, cuma kamu.”

“Cuma aku kan yang kamu mau?”

“Iya, cuma kamu.”

Dan mereka kembali berciuman, lebih ganas dan tak terkendali. Menyembunyikan ketakutan ketakutan. Takut kebenaran terkuak. Takut kehilangan. Takut dicampakkan. Takut tidak bisa mencintai dan dicintai. Takut menjadi tua dan sia sia. Takut jika ketakutan mereka diketahui masing masing.

“Kamu bohong!”

“Tidak.”

“Kamu tidak cinta lagi padaku!”

“Cinta.”

“Kamu main gila kan sama perempuan lain?”

“Tidak.”

“Kamu bener cinta aku?”

“Cinta.”

Mereka terus berciuman. Saling berpagut dan berpeluh. Saling terengah dan mendesah. Terus menanjak dan menghentak. Hingga hasrat yang bercampur gelisah dimuntahkan. Dituntaskan. Selepas itu entah kenapa kata kata yang bersuara selalu terbunuh. Ruang hanya menyisakan suara nafas yang kian melambat. Dan kata-kata, berpindah ke dalam benak masing-masing. Menjadi monolog dan rahasia hati.

Hasrat memang bisa habis dimuntahkan, tapi tidak dengan gelisah. Selalu saja ada yang tersisa, tertahan. Dan perlahan namun pasti, ia kembali berkembang biak memadati benak.

Si lelaki membatin, “Kenapa istriku bisa tahu? Aku sudah bertindak secermat dan serapi mungkin, tidak mungkin ada yang mengetahui. Ah, dia pasti hanya sedang kesal, dia pasti hanya menduga duga. Bukankah perempuan selalu menduga duga?”

Dan siapa pula yang bisa mengerti hati perempuan?

“Kamu pembohong. Aku tahu kamu selingkuh. Aku yakin itu. Aku memang tidak punya bukti apapun. Aku hanya tahu. Dan aku yakin aku benar. Kamu telah menghianatiku.”

Mereka berdua memejamkan mata, tapi jauh dari tidur. Bagaimana bisa tidur jika gelisah menodongmu dengan pertanyaan pertanyaan?

“Tapi bagaimana seandainya jika dia memang tahu? Mungkin saja ada kawannya yang melihat lalu melaporkan padanya. Mungkin saja aku sedang lalai saat itu. Dalih apa yang harus kupersiapkan? Aku harus membuat seribu satu alasan. Aku harus tetap tenang. Semuanya normal, semua terkendali seperti biasa. Dia tidak punya bukti apapun dan aku adalah seorang suami yang baik, seorang ayah yang baik,” lelaki itu coba meredam gelisah dengan menghibur diri, mencoba terus menerus merasa berarti.

Si perempuan juga sama sibuknya, sibuk bertanya dan menduga-duga.

“Tapi bagaimana jika aku nanti memiliki bukti perselingkuhannya? Bagaimana jika suatu ketika aku memergokinya dengan mata kepalaku sendiri? Bagaimana jika ada orang lain yang memergokinya? Apakah aku harus meninggalkannya? Selama ini dia adalah seorang suami yang baik, seorang ayah yang baik, sanggupkah aku kehilangan dia?”

Dan mereka memejamkan mata sepanjang malam, tapi jauh dari tidur. Bagaimana bisa terlelap jika ketakutan ketakutan datang menyelinap?

…………………………….

“Mas kamu sayang aku gak sih?”

“Ya sayang lah, Sayangku.”

“Kok mas gak menceraikan istri Mas kalo sayang sama aku?”

“Aku kan sudah bilang berkali kali, Sayang, aku gak bisa. Aku gak mau nyakitin banyak pihak. Aku gak mau menyakiti istriku, anak-anakku, mertuaku, keluarganya, orang tuaku, juga keluargaku. Perkawinan bukan hanya mengikat dua individu sayang, ia mengikat dua kelompok kekerabatan. Perkawinan selalu bersifat sosial.”

‘Tapi bukankah Mas gak cinta lagi sama dia? Apakah Mas bahagia hidup dengan orang yang tidak lagi Mas cintai? Bukankah yang paling penting dalam hidup adalah kebahagian kita sendiri?”

Lelaki beristri itu mencium dahi wanita itu. Lembut dan berirama.

“Aku bahagia jika melihat mereka semua bahagia. Aku adalah seorang suami yang baik, seorang ayah yang baik. Selamanya akan begitu.”

“Suami yang baik kok selingkuh, piye tho Mas ini?”

Lelaki beristri itu hanya tersenyum. Dan mereka pun berciuman. Lembut dan berirama. Yang satu menumpahkan cinta, yang lain penikmat cinta yang ditumpahkan.

Wanita itu tahu betapa lelaki beristri ini begitu mencintai dirinya. Ia tak tahu mengapa. Ia hanya tahu betapa lelaki ini amat pandai menyembunyikan perasaan terdalamnya. Ia juga tahu lelaki ini tidak bahagia. Ia amat tahu. Tapi ia tidak pernah benar benar peduli. Ia tidak pernah bisa mencintai lelaki ini. Bukan karena ia sudah memiliki seorang istri. Entah kenapa. Seperti ia juga tidak tahu mengapa lelaki ini bisa begitu mencintainya. Namun ia tidak ingin kehilangan cinta yang ditumpahkan laki laki ini. Cintanya begitu hangat, murni dan deras. Ia menikmati setiap tetes cinta yang ditumpahkannya. Ia kecanduan.

Lelaki beristri tersebut tahu jika wanita selingkuhannya tidak pernah bisa mencintainya. Ia tahu cintanya bertepuk sebelah tangan, Ia tahu wanita itu hanya kecanduan cinta yang ia berikan. Ia teramat tahu. Tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin mencintai wanita selingkuhannya dengan sepenuh hati. Ia hanya ingin mengguyur wanita itu dengan cintanya. Tapi ia tidak ingin menyakiti siapapun. Ia tidak bisa dan tidak mau berbuat demikian. Bukankah ia seorang suami yang baik, seorang ayah yang baik?

Dan mereka terus berciuman. Tetap lembut dan tidak kehilangan irama. Di luar hujan tumpah dengan deras, sederas rasa cinta yang ditumpahkan lelaki beristri pada perempuan selingkuhannya. Hujan merubah romantisme menjadi kesenduan. Selain petir, hujan juga membawa melankoli-melankoli. Hujan selalu mengingatkan manusia akan fana.

Dalam deras cinta yang ditumpahkan, lelaki beristri selalu takut jika skandalnya diketahui orang banyak, ia takut istrinya memiliki bukti jika ia berselingkuh. Ia selalu takut tidak disebut lagi sebagai suami yang baik, seorang ayah yang baik.

Wanita selingkuhan, dalam ekstasenya juga tidak kalah takut . Ia takut cinta lelaki beristri itu akan kering, takut jika dicampakkan, takut tidak bisa lepas dari kecanduan cintanya. Ia takut menjadi tidak berarti karena tidak ada lagi yang mencintainya

Di luar hujan bertambah deras. Memadamkan ketakutan ketakutan dan menggantinya dengan api gairah. Dan mereka pun terus berciuman, dengan tidak lembut dan tidak lagi berirama. Ah, hujan memang selalu ambivalen.

………………………………….

“Kamu bener masih cinta sama aku?”

“Aku selalu mencintai kamu.”

Istri lelaki itu tahu jika suaminya bohong. Ia tahu suaminya tidak mencintainya lagi. Ia tahu suaminya mencintai wanita lain. Tapi ia tidak memiliki bukti dan tidak pernah benar benar peduli. Mengapa ia harus benar benar peduli? Bukankah ia juga tidak lagi mencintai suaminya? Benarkah ita tidak mencintai suaminya lagi? Tapi kenapa ia takut kehilangan dirinya?

Istri lelaki itu terus bertanya apakah suaminya masih mencintainya. Ia terus bertanya meski selalu tahu jawaban yang akan diberikan dan kenyataan sebenarnya. Mungkin ia tidak pernah benar benar peduli jika suaminya tidak mencintainya lagi, tapi ia merasa takut. Takut jika suaminya tidak lagi menjadi suaminya. Bukankah selama ini dia adalah seorang suami yang baik, seorang ayah yang baik?

Foto besar di ruang keluarga itu bukankah amat membanggakan? Seorang lelaki tampan bertubuh gagah yang memeluk erat seorang wanita cantik dan tampak cerdas. Mereka amat serasi dan terlihat begitu mencintai satu sama lain. Di samping mereka berpose pula dua orang bocah yang terlihat begitu riang. Mereka anak-anak yang manis, cukup gizi, dan menggemaskan. Semua orang yang melihat tentu akan berkomentar, betapa bahagianya keluarga ini, betapa cemerlang, dan berkelimpahan berkah Tuhan.

Mereka berdua adalah pasangan suami istri teladan bagi lingkungan. Mereka adalah figur ideal bagaimana sebuah perkawinan mesti dirumuskan. Mereka adalah cermin para tetangga dan sanak saudara untuk berkaca melihat gambaran keluarga bahagia.

Sebagai istri bersuamikan seorang suami dan ayah yang baik, tentu ia resah. Betapa foto mereka dan anak anak mereka, yang terpasang mentereng di ruang keluarga, adalah sumber kebahagiaan banyak orang. Bagaimana jika perkawinan mereka hancur karena perselingkuhan suaminya? Bukankah banyak harapan yang turut hancur?

“Mengapa aku tidak mencintainya lagi? Bukankah ia suami yang baik, juga seorang ayah yang baik? Apakah ini yang membuatnya berselingkuh? Salahkah aku jika tidak lagi mencintainya ?”

Perempuan itu terkenang kembali saat saat bersama suaminya. O, Sungguh sebuah hari hari yang membuat iri perempuan lain. Sejauh yang diingatnya, suaminya selalu memperlakukan dirinya bak seorang putri dari kahyangan. Semenjak menikah, tak pernah sekalipun suaminya membuatnya sakit hati, dalam sikap maupun tutur kata Membentak saja dia tak pernah. Jika sedang marah, suaminya hanya diam lalu menulis surat protes. Dan semua masalah selalu dapat terselesaikan dengan baik. Tanpa saling mengumpat dan menegangkan urat.

Lelaki itu memang seorang suami yang baik. Perempuan itu selalu ingat bagaimana suaminya tidak pernah melupakan hari ulang tahunnya dan ulang tahun perkawinan mereka. Pada momen-momen itu, suaminya pasti selalu memberi kejutan kecil. Ia selalu menyukai kejutan kejutannya.

Selain itu, yang membuat perempuan itu terharu, suaminya tidak pernah mengeluh jika ia meminta tolong melakukan sebuah pekerjaan rumah. Lelaki itu tidak akan malu untuk berbelanja di pasar ataupun mencuci piring. Suaminya selalu bisa membuatnya merasa menjadi perempuan paling istimewa di dunia

Namun, yang paling membanggakan, suaminya adalah seorang ayah yang selalu dicintai anak anaknya. Tak pernah absen ia menyapa putra-putrinya sebelum mereka terlelap tidur. Dengan ciuman hangat ataupun sekedar usapan. Begitu lembut, begitu penuh cinta.

Jika anak lelakinya menangis tersedu karena berduka, dengan kasih sayang seorang ayah, suaminya akan memeluknya sambil berbisik di telinga kecil itu, “Tegarlah, Nak, tegarlah. Engkau lelaki kebanggaan keluarga. Hatimu harus kuat, harus kuat.”

Jika putrinya yang meraung karena terluka ia akan datang membelainya mesra, seraya mendongengkan kisah pangeran tampan berkuda putih,” Jangan bersedih, Putriku, pangeran berkuda putih itu suatu saat akan datang hanya untukmu, hanya untukmu.”

Dan ini selalu membuat perempuan itu menjadi seorang istri paling beruntung di dunia. Suaminya adalah suami yang didambakan setiap perempuan. Ibu-ibu tetangga mereka selalu berharap suami mereka dapat seperti suami perempuan itu. Menjadi seorang suami yang baik, juga seorang ayah yang baik.

Suaminya memang seorang suami yang baik juga seorang ayah yang baik. Tapi, mengapa ia berselingkuh? Perempuan itu tidak pernah menyangka suaminya akan berbuat demikian. Ia memang tidak memiliki bukti, tapi ia tahu. Ia tahu suaminya main gila dengan perempuan lain. Apakah ini karena ia tidak mencintainya lagi? Benarkah ia tidak mencintainya lagi? Benarkah suaminya juga tidak mencintainya lagi?. Ia tidak tahu. Ia hanya merasa takut luar biasa. Takut jika suaminya meninggalkan dirinya. Takut jika perkawinan mereka hancur. Takut jika semua orang mengetahui perselingkuhan suaminya.

“Papa ke kantor dulu ya.”

Lelaki itu mencium kening istrinya dengan mesra. Lalu mencium pipi kedua anaknya dengan kehangatan seorang ayah.

“Hati-hati di jalan. Cepat pulang ya, Pa,” perempuan itu berkata layaknya seorang istri yang baik.

Kedua anaknya hanya diam menyaksikan semua itu. Mata mereka, mata kanak kanak yang polos melihat dua orang yang hidup dalam ketakutan masing masing tapi sibuk menyembunyikannya di depan orang-orang. Mereka tidak mengerti mengapa ayah dan ibu mereka mesti bersandiwara satu sama lain. Bukankah mereka keluarga yang bahagia?

0 komentar: