Kamis, 18 Februari 2010

PEMBANGUNAN MASYARAKAT


A. Pendahuluan

Paradigma pembangunan nasional Indonesia dewasa ini sudah semakin berorientasi pada upaya penanggulangan kemiskinan, dengan sasaran penyelesaian masalahnya dalam. 10 tahun. Ini antara lain dapat dibuktikan dengan masuknya program khusus penanggulangan kemiskinan dan penyediaan anggaran yang relatif besar untuk mencapai sasaran yang ditetapkan. Misalnya, program IDT yang menyediakan anggaran hampir Rp 2 triliun selama 3 tahun sejak 1994/1995. Namun, sudah diterimanya paradigma pembangunan yang berorientasi pada penanggulangan kemiskinan, tidak berarti bahwa semua pihak, termasuk para ilmuwan dari berbagai bidang sudah ikhlas menerima dan sungguh sungguh berusaha mengamalkannya.

Namun, masalahnya bukanlah bahwa paradigma pembangunan ekonomi harus atau perlu berubah, karena sebenarnya memang sudah berubah. Konsep konsep dasar (atau teori-teori) yang berasal dari Barat tidak usah terlalu kita “puja-puja”, tetapi sebaliknya kita harus terus mencari konsep/teori yang lebih realistik dan lebih relevan, yang dapat membantu para penentu kebijaksanaan menghasilkan rumusan rumusan kebijaksanaan dan program yang dapat menghindarkan kita dari masalah masalah kesenjangan sosial ekonomi nasional seperti yang kita hadapi dewasa ini.

B. Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadilan

Tujuan akhir pembangunan nasional adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena ini merupakan sila terakhir Pancasila, maka kita tekankan bahwa pembangunan harus selalu merupakan pengamalan Pancasila. Mengamalkan Pancasila sebagai ideologi bangsa berarti setiap sila harus dapat kita amalkan, yaitu sila pertama dan kedua sebagai landasan moralnya, sila ketiga dan keempat sebagai cara atau metode kerjanya, dan sila kelima sebagai tujuan akhirnya.

Jalan menuju terwujudnya keadilan sosial bukanlah merupakan jalan yang mudah dan lurus, tetapi melalui berbagai tahap. Pertama, jalan/tahap ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran materil. Kedua, jalan/tahap kesejahteraan sosial. Ketiga, tahap keadilan sosial.

Dalam Bab XIV UUD 1945 yang berjudul “Kesejahteraan Sosial, ditegaskan bahwa (sistem) perekonomian berdasar atas asas kekeluargaan, di mana sumber daya alam sebagai “pokok-pokok kemakmuran rakyat dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya apabila kemakmuran bagi seluruh rakyat belum tercapai, maka Pasal 34 UUD 1945 menegaskan bahwa fakir miskin dan anak anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

C. Negara dan Sistem Ekonomi

Para ahli ekonomi yang tergabung dalarn ISEI pernah secara eksplisit diminta menjabarkan pengertian demokrasi ekonomi. Sejumlah seminar kemudian digelar di pusat pemikiran oleh anggotaanggota ISEI, yang kemudian melahirkan konsep tentang “ekonomi terkendali”, dan selanjutnya pada kongres Medan, Oktober 1996 dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep “ekonomi terkelola”.
Baik dalam konsep “ekonomi terkendali” maupun “ekonomi terkelola” arah pemikiran para ekonom selalu berkisar pada dikotomi antara peranan ekonomi pemerintah atau negara yang besar (ekonomi komando sosialistis) dengan yang sebaliknya di mana peranan pemerintah bersifat sangat minimal, yang untuk mudahnya disebut sebagai ekonomi yang “liberal kapitalistis”. Karena diskusi diskusi antar para ahli ini lebih sering dilakukan secara umum, dan jarang yang disertai atau menunjuk pada hasil penelitian empirik yang khusus dilakukan untuk tujuantujuan ini, maka kesimpulan kesimpulannya juga jarang meyakinkan, terutama bagi ahli-ahli disiplin lain yang terkait.

D. Ekonomi Rakyat

Paradigma pembangunan ekonomi Indonesia dewasa ini adalah pembangunan yang bertumpu pada kekuatan ekonomi rakyat, yaitu pembangunan yang semakin memperkuatnya dan memberdayakannya. Paradigma pembangunan ekonomi yang demikian sudah terkandung jelas dalam suara hati nurani rakyat Indonesia sebagaimana dimuat dalam. GBHN 1993.

Pengertian ekonomi rakyat adalah pengertian/konsep asli bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pengertian ekonomi kekeluargaan dan ekonomi kerakyatan. Pengertian ekonomi kekeluargaan tidak dilawankan dengan pengertian ekonomi konglomerat, tetapi menunjuk pada konsep-konsep ilmu penyuluhan pertanian yang membedakan pengertian pertanian rakyat dengan sistem pertanian dan perkebunan besar yang dikembangkan oleh para pemodal asing dengan modal besar dan teknologi modern pada abad XIX. Maka “ekonomi rakyat” adalah satu kata (konsep) bukan sekadar rangkaian dari kata ekonomi dan rakyat.

E. Penutup

Visi kita menghadapi Era Pembangunan Awal abad XXI cukup jelas, yaitu globalisasi tetapi dengan bertumpu pada kekuatan ekonomi rakyat. Ini tidak berarti meremehkan kekuatan ekonomi para pengusaha besar yang sudah “menjagat” yang dapat diandalkan. Namun, kedua kekuatan ekonomi nasional ini, konglomerat dan ekonomi rakyat tidak mungkin berjalan sendiri-sendiri, lebih-lebih bersaing dan saling mematikan. Bahkan tidak diragukan sama sekali bahwa ketangguhan, keandalan, dan kemandirian ekonomi nasional kita amat ditentukan oleh kemanunggalan keduanya, baik ke luar maupun terutama ke dalam. Di dalam negeri stabilitas perekonomian nasional hanya dapat digalang apabila kedua “sektor” ekonomi ini bermitra, saling mendukung, dan saling menghidupi. Artinya, ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang kini tampak menganga lebar harus benar-benar ditutup dan diciutkan, atau dicegah jangan sampai melebar, jika kita tidak menginginkan berlanjutnya keresahan-keresahan sosial yang bisa berkembang menjadi kerusuhan-kerusuhan yang sudah banyak terjadi. Kesenjangan ekonomi-sosial, perlu kita atasi dengan mengenali sumber-sumber permasalahannya.

0 komentar: